Sabtu, 27 Desember 2014

Namanya Cinta



Tak ada yang pernah mengerti akan kehendak waktu. Tak ada yang pernah memahami apa yang sebenarnya direncanakan oleh waktu. Mengerucut lagi, tak ada yang pernah melihat waktu akan kemana dia membawa setiap manusia di alam semesta ini. Dan saat ini waktu telah membawaku kembali ke pangkuan rahim ibu, yang telah lama kutinggalkan.


Perjalananku menuju Bogor, tempat dimana kedua orang tuaku mendirikan rumah dan telah menjadi tempat tinggal mereka. Sementara aku masih bergelut dengan hal-hal menarik di desa dimana aku besar sampai 21 tahun sekarang ini. Namun kembali lagi waktu mengantarkanku kembali pada mereka. Kembali berkumpul dengan keluarga besar. Kembali bertemu dengan adik-adik yang masih mengenalku meskipun aku tak pernah bersama mereka. Mungkin hanya setahun sekali bisa bertemu. Dan hari itu, Sabtu siang dengan suasana basah menghiasi kota Lasem, aku kembali berangkat menuju Bogor.

Sebelum keberangkatanku, datang seorang perempuan yang telah lama kukenal. 2 tahun yang lalu sebelum aku meninggalkan Lasem, sosok Laili Indana Zulfa telah kukenal sebagai tenaga pengajar di salah satu SD swasta di Lasem. Seorang perempuan berperawakan mini, cantik, manis, dan yang tak bisa dihilangkan dari sosoknya adalah dia belum menikah untuk saat ini.

Kedekatanku dengannya terjadi saat aku menjadi salah satu staf di SD tempat dia mengajar. Aku, bukan sebagai tenaga pengajar hanya sebagai tata usaha. Seperti kebanyakan orang dan memang wajar, pertama kali bertemu hanya sepata dua kata yang terlintas di bibir masing-masing. Aku yang notabene dikenal pendiam, memang jarang bicara apalagi untuk orang yang baru dikenal. Dan kukira setiap orang juga demikian. Seiring berjalannya waktu, aku pun masih sedikit bahkan banyak canggung ketika harus bertatap muka dengan Bu Leli (panggilan yang sering aku dan guru yang lain gunakan). Entah kenapa aku sendiri juga tak tahu. Padahal dengan guru yang lainnya aku merasa biasa saja. Bincang-bincang bahkan bercanda juga sudah luwes. Hanya dengan satu mahkluk dari golongan hawa ini saja yang aku sadari aku masih canggung untuk sekedar bercengkerama hangat.

Kembali lagi aku membicarakan waktu dan mengkambing hitamkan waktu. Waktu telah membuatku dan Bu Leli semakin akrab. Ya, meskipun hanya sekedar lewat jejaring sosial, kami sering menceritakan kejadian yang kami alami. Mungkin juga hanya lewat jejaring sosial-lah aku berani bercengkerama hangat dengannya. Kalaupun harus bertatap muka, saat itu aku masih belum memiliki keberanian. Sampai suatu waktu, aku mencapai puncak keberanianku. Bercengkerama dengannya secara langsung. Tapi tetap saja sering kali aku memalingkan wajah karena malu.


Dan kembali lagi waktu mempertemukanku dengannya. Bahkan kali ini lebih ekstrem lagi. Kuajak Bu Leli keluar dari suasana hangat rumah sekedar untuk menepati janji yang pernah aku buat padanya, makan bersama. Oke, malam itu dengan keadaan sudah akrab, aku berhasil untuk ke-3 kalinya bermain ke kediaman orang tuanya. Dan berhasil mengajaknya keluar.

Diperjalanan mencari tempat makan untuk menebus janjiku, sedikit bercanda dan tawa keluar dari bibirnya. Suaranya yang kecil dan tak terlalu merdu serta memang dianya yang pemalu [mungkin], suasana malam itu sedikit horror. Hampir semua tempat makan yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumahnya telah tertutup rapat. Ya, aku tahu waktu itu jam di Hp sudah menunjukkan pukul 20.30 yang artinya aku terlalu malam untuk mengajak keluar seorang perempuan yang di mataku sebagai perempuan yang baik. Jadilah kami harus menempuh jarak yang lumayan jauh bahkan mungkin memang jauh hanya sekedar mencari tempat makan. Sisi positifnya, aku pun bisa sedikit lebih lama bercengkerama dengannya tanpa harus memandangnya. Waktu itu kami naik motor dan Bu Leli otomatis harus manatap punggungku.

30 menit, akhirnya aku memilih warung sate ayam yang dulu sewaktu pulang kuliah sering kuhampiri dengan seseorang. Kali ini warung sate itu kembali kuhampiri dengan Bu Leli. Cukup adil. Aku pun memesan 2 porsi sate dengan nasi. Makanlah kami berdua. – skip –


Peristiwa itu menjadi titik balik perasaanku padanya. Bahkan setiap kami bercengkerama via WhatsApp, kami sering mengutarakan perasaan masing-masing. Meskipun sebelumnya harus ada obrolan ringan terlebih dahulu.

Masalah umur yang terbentuk antara dia dan aku, sebenarnya tak begitu kuperdulikan. Bahkan Bu Leli dengan ukuran tubuhnya yang mungil, sama sekali tak menandakan kalau dia sebenarnya lebih tua ketimbang aku. Hanya masalah klasik yang pernah aku alami sebelumnya. Bahkan masalah klasik yang sering terjadi, jarak. Aku sekarang berada di Bogor sedangkan dia di Lasem. Dan harus kuakui, aku pernah gagal ketika harus berhubungan jika ada jarak yang terbentuk. Pertemuan terakhir yang terjadi adalah saat dia mengantar keberangkatanku. Ada kejadian dimana aku memegang tangannya cukup lama.

Bus yang akan membawaku menuju Bogor telah datang. Saat itu, secara teori ketika ada seseorang yang ikut mengantar keberangkatan, kita harus berpamitan dengannya dan mengatakan terima kasih. Dan itulah yang kulakukan saat itu. Tapi bukan aku kalau melakukan hal itu tanpa pikir panjang. Jauh sebelumnya aku berfikir, apakah harus kulakukan atau tidak. Kata apa yang harus kuucapkan. Pokoknya aku berfikir. Bahkan aku merangkai kata demi kata yang hendak kuucapkan padanya. Sumpah, ini terjadi padaku waktu itu. Finally, kujabat tangan kecilnya agak lama dan kukatakan terima kasih yang banyak bahkan hampir mendekati alay. Meskipun sesekali cengengesanku keluar dan mataku sesekali memandang ke arahnya dengan tatapan kosong. Tapi itu kulakukan. Aku pun meninggalkannya seorang diri di tengah suasana Lasem yang basah dan tergenang air selepas hujan sesaat sebelumnya. *end


Dari semua yang terjadi padaku, sejak aku masih di Lasem sampai aku harus kembali ke pangkuan orang tuaku. Semua sikap dan tingkah laku yang aku alami, akupun bisa menyimpulkannya. Bahwa yang sebenarnya terjadi adalah cinta. [] masupik

Jonggol,  27 Desember 2014

Selasa, 23 Desember 2014

Sama-Sama Sudah Besar


Apa yang ada di otak kalian ketika kalian tanpa disengaja sedang berbicara dengan orang yang bisanya hanya membicarakan mengenai seks? Kalian merasa jijik, merasa kalau orang tersebut tak pantas disandingkan dengan kita, atau kalian merasa bahwa orang seperti ini seharusnya tak perlu ada di kehidupan? Itu terserah kalian mau berfikir seperti apa jika bertemu dengan orang yang seperti itu. Tapi bagi kita yang masih belajar dan kita telah dewasa, seharusnya bisa berfikir matang terhadap sesuatu hal. Bukan malah menilainya hanya dari apa yang bisa kalian lihat dengan pendidikan yang ada di otak kalian. Mungkin itu saranku.

Kembali lagi aku membawa sahabatku Zaenal dalam monolog kali ini. Tapi semisal dia tak kuikutkan, aku akan merasa bersalah, soalnya saat kejadian aku memang bersama dia, dan sebenarnya dialah yang banyak memberikan inspirasi untukku. Jadi jangan bosan-bosan kalau aku juga membawa Zaenal dalam setiap monologku.

Seperti biasa, aku bersama Zen ditempat tongkrongan pinggir sawah. Kupesan 2 cangkir kopi hitam untuk menemani kami berdua. Serta sebagai pelumas untuk tenggorokkan ketika kering kerontang.
“Zen, namamu kutulis sebagai salah satu judul monologku.” Aku memulai obrolan malam itu.
“Ah, kamu bercanda kan Pik?”
“Beneran! Kalau gak percaya nanti mampir rumahku, lihat sendiri di laptopku.”
“Kamu ada-ada saja Pik.” Zaenal masih bersih kukuh tak percaya dengan apa yang aku katakana, kalau namanya kupakai sebagai judul monologku. “Aku ini siapa kok kamu jadiin judul itu?”
“Lho kamu kan sahabatku. Hampir selama ramadhan, setiap malam aku nongkrong sama kamu. Ibaratnya hidup mati sama kamu.” Kataku.
“HAHAHA.” Zaenal dan aku tertawa setan setelah aku ngomong seperti itu.
“Mbledus,  PIk.” Zen masih tidak percaya dengan ucapanku.
“Pokoknya nanti lihat sendiri di laptop.” Karena membicarakan laptop, aku jadi teringat dengan flashdisk yang pernah dipinjam oleh Zen untuk meng-copy film. “Zen, gimana flashdisk nya?”
“Film di flashdisk kamu malah ditonton sama masku Pik!” katanya menjelaskan keberadaan flashdisk ku.
“Ya bagus kalau gitu.”
“Lha, salah satu film yang kamu copy kan ada adegan mesum Pik. malah dikira istrinya masku, aku lagi nonton film porno.” Cerita Zaenal padaku.
“Lantas gimana Zen?”
“Ya, gak apa-apa. Istrinya masku memaklumi. Dia dulu pernah muda seperti kita. Dia tahu kalau aku cowok normal, jadinya ya biasa saja.”
“Enak Zen kalau kayak gitu!” sahutku.
“Lha kemarin pas pertama kali aku pulang dari Jakarta. Bangun tidur aku lihat maskusambil menunjuk masnya yang lainsedang pesta minuman keras Pik. Aku bangun tidur masih belum sadar kan? Eh, malah ditawari minum. Ya akhirnya pesta minuman keras berdua.” Zen melanjutkan, “sudah pada sadar Pik. aku cowok dia cowok.”
“Itu yang susah Zen.” Ucapku mengagetkan Zen.
“Susah gimana Pik?”
“Susah, soalnya gak semua orang berfikir demikian Zen.” Aku memulai penjelasanku. “Masih banyak orang yang berfikiran kalau sesuatu yang berbau seks, porno, dan teman-temannya itu masih dianggap tabu, tak pantas dibicarakan ke muka umum, bahkan mungkin tak seharusnya orang lain mengetahui.”
“Memang semua orang itu memiliki cara berfikir dan cara pandang beda-beda Pik, gak bisa disama ratakan.” Sahut Zen.
“Aku bukan mau menyama ratakan pemikiran seseorang Zen. Kalau aku berniat menyama ratakan, aku sangat berdosa dan sangat tak pantas.”Aku berhenti sejenak meminum kopi hangat yang sepertinya kami anggurkan dari tadi. “Aku hanya ingin kalau kita semua itu tidak ada kemunafikan. Semua bicara dengan bebas dan tak dianggap tabu lagi ketika semisal membicarakan mengenai seks di muka umum. Meskipun dalam membicarakannya tetap harus mengikuti norma yang ada. Toh, kita juga butuh pendidikan seks kan?” tambahku.
Zen hanya menerawang ke atas langit. Mungkin mencari pemahaman mengenai apa yang aku katakana barusan. Belum sempat Zen mengutarakan ucapannya aku sudah menambahkan obrolanku. “Apalagi kalau yang membicarakan seks itu seorang perempuan. Pasti di otak masyarakat langsung menjudge kalau perempuan itu bukan perempuan baik-baik. Toh, bisa saja si perempuan itu belajar di perkuliahannya seperti itu. Atau dia belajar dari sumber lainnya. Lagian jaman sekarang akses untuk mencari sesuatu yang belum kita ketahui kan mudah sekali. tinggal buka internet ketik “google.com” sudah beres.” Tutupku.
“Tapi gak tahu juga Pik.” jawab Zen singkat.
“Padahal, banyak perempuan yang tidak tahu kalau dia sebenarnya memiliki 3 lobang Zen!”
“Lobang apa saja Pik?” Zen kembali bersemangat setelah mendengar kata lobang.
“Semangat banget Zen, hahaha.”
“Lho namanya juga cowok normal Pik. Hahaha.”
“Jadi banyak yang tak tahu kalau sebenarnya perempuan itu memiliki 3 lobang. 1. Lobang kemaluan, 2. Lobang anus, dan 3. Lobang anal. Untuk penjelasannya lain waktu saja Zen.” Kataku menggoda Zen.
“HAHAHA.” Keheningan pinggir sawah terpecah belah dengan tawa kami berdua.
“Tapi semisal aku mengatakan hal ini di depan perempuan, pastinya mereka (perempuan) mengira pikiranku kotor, jorok, hina, semuanya yang jelek-jelek pasti ditempelkan padaku. Padahal aku hanya memberi informasi.” Ucapku dengan nada menggebu-gebu.
“Tapi kalau kamu ngomonginnya di hadapan orang banyak, ya jelas salah toh Pik. mereka (perempuan) ya malu. Kamu ini kok aneh!”
“Maksudku ya gak di hadapan orang banyak Zen. Kamu ini lebay malahan.”
“HAHAHA.” Suasana kembali cair dengan helak tawa kami.

Pembicaraan mengenai persoalan tabu yang selama ini melekat erat di masyarakat dan merupakan sudah menjadi rahasia umum, tak terselesaikan malam ini. Kami harus kembali pulang, karena besok Zen harus bekerja. Dan aku harus kembali terjaga sampai shubuh seperti biasanya.

Pesan moral : memang persoalan pendidikan seks yang ada sekarang belum bisa merakyat. Apalagi di kalangan masyarakat desa yang kental dengan adat serta peradaban nenek moyang. Tapi jangan pernah berfikir dangkal. Jangan pernah berfikir kalau orang yang mengatakan mengenai seks, lantas dia langsung dicap sebagai orang yang pernah melakukannya. Analoginya seperti ini. Ketika seorang pemuka agama memberikan tausiyah mengenai neraka dan seluk beluknya, lantas apakah seorang pemuka agama tersebut harus merasakan terlebih dahulu suasana neraka? Tentu tidak bukan. Maka dari itu, seseorang yang membicarakan seks apalagi perempuan. Dia juga tidak harus dan belum tentu kalau dia pernah melakukannya. Lagian, kita sudah sama-sama besar. Harusnya kalian mengerti hal itu. Dan menerimanya sebagai pelajaran, bukan malah memberikan cap yang salah. *buka “.3gp”, HAHAHA*



Kamis, 11 Desember 2014

Rambut Dan Mata

Hujan di sore hari itu membawa sedikit kelembutan sang Maha untuk manusia. Semuanya menjadi basah tak terkecuali yang seharusnya keringpun menjadi basah. Di jalan kecil terlihat aliran air keluar dari saluran air yang seharusnya. Air berwarna hitam pekat dengan berbagai bentuk dan macam sampah juga ikut menambah basah. Di sisi lain segerombolan anak-anak sedang asyik memainkan papan kayu yang diperumpamakan kapal-kapalan. Tertawa riang, tak berdosa, dan sesuka hatinya. Namun di emper sebuah rumah yang berdiri tegak tinggi dengan 2 lantai yang tertata megah, seorang lelaki mengistirahatkan badan dan motor rongsokkannya. Terdiam tak melakukan apa-apa. Hanya melihat anak kecil itu berlarian penuh canda tawa dan basah.

Di lain sisi terdapat sekumpulan orang sedang menikmati berselancar di dunia maya. Terlihat pula seorang anak perempuan telah kelar dan hendak pulang namun terjegal dan hanya bisa menunggu. Berdiri di pintu warnet berwarna biru. Menatap kosong ke seseorang yang saat itu sedang membersihkan jalanan depan rumah karena sampah. Hanya berpakaian handuk hijau yang saat itu terlihat menutupi tubuh bawahnya. Seorang pria gondrong bertubuh semampai. Pria itu melihat jelas anak perempuan itu sedang mengamatinya. Sesekali pengendara motor lewat dan melihat dirinya. Acuh, tak peduli dengan handuk yang sudah sepenuhnya basah air hujan. Sesekali pria itu membasahi rambut kepalanya lewat air yang terjun deras dari genteng tetangga. Tak ada malu yang terlihat. Anak kecil yang asyik bermain pun ikut memperhatikannya. Semua serba tanpa ada rasa malu. Hanya sebuah kesenangan dan sikap hidup.

Tak ada yang tahu setelah hujan sore reda. Mungkin gerombolan anak itu akan kena marah besar sesampainya orang tua mereka tahu. Atau mungkin bagi mereka yang memiliki orang tua penyayang akan segera memberikan handuk hangat untuk mengeringkan badannya. Sementara lelaki yang mengistirahatkan motornya, kini telah berani mengambil langkah pasti. Meninggalkan emper rumah megah yang memang bukan miliknya. Berjalan lambat dengan rintik air yang masih terasa deras. Mungkin dialah satu-satunya tulang punggung keluarganya. Sedang keluarganya berharap banyak ketika sesampainya dia di rumah. Semoga membawa banyak harta. Kalian tahu yang dilakukan anak perempuan di pintu warnet? Dia tetap menunggu sampai hujan benar-benar reda. Atau menunggu orang dari rumah membawakan payung untuknya. Tak ada yang tahu siapa dia, status sosialnya. Si pria berhanduk hanya tahu kalau pandangan mata si anak perempuan itu mengarah padanya. Pria berhanduk masih sesekali membasahi kembali rambutnya. Mengibas-ibaskan rambut basahnya. Tanpa malu, telanjang dada, dan melakukan apa yang seharusnya.

Satu kejadian acak yang sering kita lewati tanpa memperhatikan dan memikirkan ulang. Terjadi begitu saja tanpa sebuah kesengajaan. Mengalir, dijalani, tanpa malu, dan selesai.

Sejatinya itu adalah sebuah kehidupan. Tak ada yang tahu apa dan siapa kita. Tanpa malu dan tetap menjalani segala sesuatunya adalah dua hal yang orang sekarang tak memilikinya. Harus ada dasar melakukan sesuatu. Harus ada hasil ketika telah dilakukan. Bukankah sesuatu yang baik itu memang selayaknya dilakukan tanpa pikir panjang? Bukankah mata kita hanya bisa melihat apa yang sedang terjadi saat itu ketika memandang? Baik terlihat baik. Buruk terlihat buruk, tapi akan menjadi baik jika diperbaiki. Bukankah mata ketika melihat rambut bibir akan berkata rambut? Tragis memang. Namun itulah yang terjadi. []masupik

Sabtu, 06 Desember 2014

Tangan-Tangan

Di suatu jalan setapak terlihat jelas seorang lelaki mendorong gerobak yang penuh dengan barang olahan dari ikan. Pagi masih belum sempurna, lelaki kecil dengan bidang dada yang tak terlalu kekar dibandingkan dengan badan seorang olah ragawan. Dari kejauhan terlihat samar perempuan-perempuan perkasa yang juga sibuk berjalan cepat menuju pusat perbelanjaan. Dimana setiap barang kebutuhan dengan harga terjangkau bisa dibeli di sana. Sementata lelaki tadi hanya bisa mendorong dengan tergopoh-gopoh dengan berat gerobaknya. Dan jalan yang sedikit miring inilah yang setiap pagi membantunya.

Di pertigaan jalan terlihat jelas orang-orang dengan peci putih khas seorang haji melalu-lalang pulang menuju rumah. Tak ada saling sapa antara mereka. Hanya ada sedikit senyum tak hangat terlihat temaram. Senyum yang menandakan adanya rasa menghormati. Sementara di masjid yang tak penuh oleh orang untuk memenuhi kewajibannya sembahyang, masih berdiri kesepian seorang diri dengan kubah yang sudah tak bersinar karena karat yang diderita.  Tampak ada seorang yang menuruni anak tangga berjumlah 4 menuju parkiran sendal-sendal mereka. Sendal yang tak tertata rapi dan saling berserakan tergeletak terlepas begitu saja dari kaki orang-orang yang melangkahkan kaki mereka masuk ke masjid.

Sebuah kejadian sporadis yang tak kita sadari karena keterbatasan mata memandang dan keterbatasan kata untuk menyimpulkan yang sebenarnya terjadi. Apapun bisa terjadi. Orang yang mendorong gerobaknya mungkin saja dia sebenarnya malas melakukan kesibukannya setiap pagi menjelang karena tidur malam yang terlalu larut. Atau perempuan yang berjalan tergopoh sebenarnya dia hanya ingin keluar dari rumah karena pertengkaran dengan suaminya. Atau orang berpeci putih itu sebenarnya alasan perempuan tadi berjalan tergopoh dan senyuman kecil itu hanya menutupi aib-nya? Semua serba mungkin terjadi dan tak terjadi. Semua hanya karena mata yang masih terbatas menafsirkan segala sesuatu hal yang terlihat. Semua tampak baik kalau kita memikirkan hal baik. Juga semua tampak tak karuan dan membingungkan. Semua itu hanya bukti adanya tangan-tangan yang memgatur semua ini agar terlihat sedemikian rupa. Terlihat agar kita mencari rahasia apa yang sebenarnya terjadi dan dari mana itu terjadi. Alangkah baiknya jika kita mengetahui asal kita sehingga kita bisa berjalan menuju tujuan kita yang sebenarnya.

Entahlah!!

Apakah ini semua hanya sebuah pemikiran yang terbentuk karena tangan itu. Ataukah pemikiran ini berdiri sendiri, tunggal dan memiliki tujuan sendiri dari apa yang sebenarnya terjadi. [] masupik

Did You Know?

Selamat siang...selamat menikmati makan siang bagi yang makan. (Gue nggak makan siang, soalnya gue makan nasi). Nah di siang yang basah ini, gue bakal ngasih tahu kenapa banyak postingan gue nggak ada visualisasi gambar ataupun video.

Emang sih...nggak pernah ada yang komentar atau seenggaknya memberikan saran agar di setiap postingan ada gambar atau visualisasi lainnya. Tapi gue sendiri ngerasa kalo memang gue gak pernah nyangkutin gambar. Alasannya hanya satu: Selama ini setiap kali gue nulis postingan, selalu pake smartphone. Yang artinya gue ngetik sebegitu banyaknya hanya via smartphone dengan layar 4 inch. Seharusnya kan bisa jiga upload foto lewat smartphone!? Iya bener bisa. Kendalanya sekarang sama konekso serta spek dari smartphone gue ini. Smartphone yang gue pake adalah produk bangsa mata sipit (baca : hp Cina). Jadi, kalian tahu sendirilah bakal susah buat nyematin foto atau gambar di setiap postingan.

Nah, jika ada gambar atau media pendukung lainnya, berarti gue nulis postingan tersebut pake tanktop. Eh laptop maksud gue. So, nikmati saja setiap postingan yang penuh dengan kata-kata tak bertuan. Selain itu, postingan tanpa gambar akan meningkatkan daya imajinasi kalian. (Penelitian menurut Dr. Upiiil, S. Ag). Terima kasih telah berkunjung dan selamat menikmati. :)) [] masupik

Follow me : @up11k

Rabu, 03 Desember 2014

Kelinci[ku] Ucul

Ngubengi kutho..,
Sakteruse, neng ndeso ndeso..
Mergo aku anggolek-i,
Sing tak tresnani, kelinciku ucul..
Lungo mangetan,
Suroboyo, terus nyang bali..
Mangulon lungo nyang bandung ora ketemu..
Terus aku nyang jakarta..
Jebul ora ketemu.,
Aduh klinciku, ojo mbedo aku..
Terus bali nyang semarang,
Klinciku uwus ono kandang..
La jebulane..,
Grusa grusu, keburu nafsu..
Wekasane montang-manting, ragate akeh
Aku dewe kang kebanting..
Jebul ora ketemu.,
Aduh klinciku, ojo mbedo aku..
Terus bali nyang semarang,
Klinciku uwus ono kandang..

Terdengar semilir merdu nada-nada diatonis menggetarkan gendang telinga lembut ini. Terpatrih alunan nada tinggi yang mengiang-iang jauh ke atas. Sedikit nyeri tapi syahdu. Dan itulah ciri khas tembang jawa yang sekarang, tak ada yang memperdulikannya. Apalagi kaum muda. Ada tapi tak banyak dan tak semeriah dulu di jaman keemasannya.

Gue sebenarnya lupa dengan lagu Kelinci Uculnya Ki Napto Sabdo itu. Namun entah kenapa setelah nonton acara budaya di salah satu televisi swasta, sedang memutarkan lagu itu. Bibir gue pun ikut berkomat-kamit tak jelas sedang otak ini berusaha keras mengingat lirik lagu tersebut. Lagu yang pernah membawaku berpetualang mengisi acara on air di sebuah radio di kabupaten Rembang. Dan gue udah 2 kali dipanggil ke radio yang sama bersama tim karawitan SMAN 1 Lasem.

Panggilan pertama waktu itu gue cuma sekedar memukul balungan. Balungan adalah instrumen nada jawa yang terdiri dari Slenthem, Demung, Saron. (Seinget gue). Ya meskipun hanya seorang pemukul balungan tapi rasanya bangga dan penuh pengetahuan yang belum pernah gue alami. Salah satunya ya on air itu sendiri. Kemudian panggilan kedua, gue waktu itu sudah naik pangkat. Bukan jadi pemukul balungan lagi tapi sekarang jadi bowo. Bowo sendiri itu yang menembangkan alunan nada-nada. Simpelnya bowo itu penyanyinya. Pasti kalian nggak bisa bayangin, sosok manusia seperti gue nyanyi! Nyanyi tembang jawa men. Duh rasanya seperti kembali ke jaman penjajahan dulu sewaktu melantunkan bait-bait lagu jawa. Merdu, syahdu, mengalir indah, penuh makna tersurat dan tersirat, dan yang pasti cocok sebagai musik pengantar tidur.

Nah waktu itu lagu yang paling gue suka ya...Klinci Ucul ini. Lagu dengan nada diatonis yang berbeda dari kebanyakan lagu jawa lainnya. Memiliki makna yang dalam sebagai seorang pecinta. Suara klentang-klentingnya balungan yang acak dan tak karuan, adalah ciri lagu Klinci Ucul ini. Berbeda tapi merdunya sama. Kasarnya, amburadul tapi nikmat tak terhingga. Itu baru bicara mengenai musiknya, belum lagi maknanya dan hubungannya dengan kehidupan. Duh, hati jadi tentrem, adem, ayem dah pokoknya.

Selain itu, lagu ini juga mengingaatkan gue pada sosok Angirha. Sosok perempuan jawa tulen dengan perawakan sedang namun yang pasti montok. Anak kedua dari 2 bersaudara yang banyak mengajarkanku arti kehidupan yang sebenarnya. (Kalau yang ini gue lebay). Angirha memiliki tanggal kelahiran yang sama dengan gue, hanya berbeda waktu dan tempat pembrojolannya saja. Dia selalu dapat ranking 1 di kelas, terpilih sebagai wakil dari sekolah dalam ajang olimpiade biologi. Tidak hanya itu, suara merdunya jika dibandingkan dengan penyanyi seriosa (kalau gak salah), sebelas dua belas lah. Indah, merdu, sexy, emmh...gue nggak bisa bayangin kalo pas dia mendesah. Rambut yang lurus rapi khas permakan salon, memahkotai dan melengkapi parasnya. Kalo gue boleh ngasih penilaian, dia itu ibarat es blewah dengan pemanis alami. Seger, manisnya pas, dan yang pasti nikmat dipandang dan dimiliki. Asseeekkkk

Gue dulu pernah berduet tuh ceritanya. Tergabung satu tim karawitan, dan saat itu adalah hari pergantian kepala sekolah kami. Nah tim karawitan yang gue ada di dalamnya, ditunjuk untuk mengisi acara itu. Jadilah gue dan Angirha berduet menyanyikan lagu Klinci Ucul. Alunan Bonang yang selaras bersamaan berirama dengan tabuhan gendang jawa yang tak beraturan tapi asik, ditambah suara menggaungnya gong sebagai pembuka serta penutup setiap tembang jawa. Memenuhi tempat dan otak setiap tamu undangan yang ada. Dan tak lupa suara Angirha yang sayup-sayup basah berkolaborasi dengan suara gue yang seadanya tapi penuh gairah. Komposisi yang pas tapi tak istimewah. Mungkin itulah penilaian saat itu.
*end

Lantunan tembang Klinci Ucul telah usai. Gue tersadar kalau kelinci gue juga ucul (lepas) entah kemana. Kemanapun dia dan dimanapun dia, gue hanya bisa mendoakan semoga yang terbaik yang selalu dia dapatkan. "Duh kelinci, ingin sekali gue bakar dan kupotong seukuran balok dadu agar pas ketika dibakar sebagai sate." Gumamku sendu. [] masupik