Sabtu, 27 Desember 2014
Namanya Cinta
Selasa, 23 Desember 2014
Sama-Sama Sudah Besar
Apa yang ada di otak kalian ketika kalian tanpa disengaja sedang berbicara dengan orang yang bisanya hanya membicarakan mengenai seks? Kalian merasa jijik, merasa kalau orang tersebut tak pantas disandingkan dengan kita, atau kalian merasa bahwa orang seperti ini seharusnya tak perlu ada di kehidupan? Itu terserah kalian mau berfikir seperti apa jika bertemu dengan orang yang seperti itu. Tapi bagi kita yang masih belajar dan kita telah dewasa, seharusnya bisa berfikir matang terhadap sesuatu hal. Bukan malah menilainya hanya dari apa yang bisa kalian lihat dengan pendidikan yang ada di otak kalian. Mungkin itu saranku.
Kamis, 11 Desember 2014
Rambut Dan Mata
Hujan di sore hari itu membawa sedikit kelembutan sang Maha untuk manusia. Semuanya menjadi basah tak terkecuali yang seharusnya keringpun menjadi basah. Di jalan kecil terlihat aliran air keluar dari saluran air yang seharusnya. Air berwarna hitam pekat dengan berbagai bentuk dan macam sampah juga ikut menambah basah. Di sisi lain segerombolan anak-anak sedang asyik memainkan papan kayu yang diperumpamakan kapal-kapalan. Tertawa riang, tak berdosa, dan sesuka hatinya. Namun di emper sebuah rumah yang berdiri tegak tinggi dengan 2 lantai yang tertata megah, seorang lelaki mengistirahatkan badan dan motor rongsokkannya. Terdiam tak melakukan apa-apa. Hanya melihat anak kecil itu berlarian penuh canda tawa dan basah.
Di lain sisi terdapat sekumpulan orang sedang menikmati berselancar di dunia maya. Terlihat pula seorang anak perempuan telah kelar dan hendak pulang namun terjegal dan hanya bisa menunggu. Berdiri di pintu warnet berwarna biru. Menatap kosong ke seseorang yang saat itu sedang membersihkan jalanan depan rumah karena sampah. Hanya berpakaian handuk hijau yang saat itu terlihat menutupi tubuh bawahnya. Seorang pria gondrong bertubuh semampai. Pria itu melihat jelas anak perempuan itu sedang mengamatinya. Sesekali pengendara motor lewat dan melihat dirinya. Acuh, tak peduli dengan handuk yang sudah sepenuhnya basah air hujan. Sesekali pria itu membasahi rambut kepalanya lewat air yang terjun deras dari genteng tetangga. Tak ada malu yang terlihat. Anak kecil yang asyik bermain pun ikut memperhatikannya. Semua serba tanpa ada rasa malu. Hanya sebuah kesenangan dan sikap hidup.
Tak ada yang tahu setelah hujan sore reda. Mungkin gerombolan anak itu akan kena marah besar sesampainya orang tua mereka tahu. Atau mungkin bagi mereka yang memiliki orang tua penyayang akan segera memberikan handuk hangat untuk mengeringkan badannya. Sementara lelaki yang mengistirahatkan motornya, kini telah berani mengambil langkah pasti. Meninggalkan emper rumah megah yang memang bukan miliknya. Berjalan lambat dengan rintik air yang masih terasa deras. Mungkin dialah satu-satunya tulang punggung keluarganya. Sedang keluarganya berharap banyak ketika sesampainya dia di rumah. Semoga membawa banyak harta. Kalian tahu yang dilakukan anak perempuan di pintu warnet? Dia tetap menunggu sampai hujan benar-benar reda. Atau menunggu orang dari rumah membawakan payung untuknya. Tak ada yang tahu siapa dia, status sosialnya. Si pria berhanduk hanya tahu kalau pandangan mata si anak perempuan itu mengarah padanya. Pria berhanduk masih sesekali membasahi kembali rambutnya. Mengibas-ibaskan rambut basahnya. Tanpa malu, telanjang dada, dan melakukan apa yang seharusnya.
Satu kejadian acak yang sering kita lewati tanpa memperhatikan dan memikirkan ulang. Terjadi begitu saja tanpa sebuah kesengajaan. Mengalir, dijalani, tanpa malu, dan selesai.
Sejatinya itu adalah sebuah kehidupan. Tak ada yang tahu apa dan siapa kita. Tanpa malu dan tetap menjalani segala sesuatunya adalah dua hal yang orang sekarang tak memilikinya. Harus ada dasar melakukan sesuatu. Harus ada hasil ketika telah dilakukan. Bukankah sesuatu yang baik itu memang selayaknya dilakukan tanpa pikir panjang? Bukankah mata kita hanya bisa melihat apa yang sedang terjadi saat itu ketika memandang? Baik terlihat baik. Buruk terlihat buruk, tapi akan menjadi baik jika diperbaiki. Bukankah mata ketika melihat rambut bibir akan berkata rambut? Tragis memang. Namun itulah yang terjadi. []masupik
Sabtu, 06 Desember 2014
Tangan-Tangan
Di suatu jalan setapak terlihat jelas seorang lelaki mendorong gerobak yang penuh dengan barang olahan dari ikan. Pagi masih belum sempurna, lelaki kecil dengan bidang dada yang tak terlalu kekar dibandingkan dengan badan seorang olah ragawan. Dari kejauhan terlihat samar perempuan-perempuan perkasa yang juga sibuk berjalan cepat menuju pusat perbelanjaan. Dimana setiap barang kebutuhan dengan harga terjangkau bisa dibeli di sana. Sementata lelaki tadi hanya bisa mendorong dengan tergopoh-gopoh dengan berat gerobaknya. Dan jalan yang sedikit miring inilah yang setiap pagi membantunya.
Di pertigaan jalan terlihat jelas orang-orang dengan peci putih khas seorang haji melalu-lalang pulang menuju rumah. Tak ada saling sapa antara mereka. Hanya ada sedikit senyum tak hangat terlihat temaram. Senyum yang menandakan adanya rasa menghormati. Sementara di masjid yang tak penuh oleh orang untuk memenuhi kewajibannya sembahyang, masih berdiri kesepian seorang diri dengan kubah yang sudah tak bersinar karena karat yang diderita. Tampak ada seorang yang menuruni anak tangga berjumlah 4 menuju parkiran sendal-sendal mereka. Sendal yang tak tertata rapi dan saling berserakan tergeletak terlepas begitu saja dari kaki orang-orang yang melangkahkan kaki mereka masuk ke masjid.
Sebuah kejadian sporadis yang tak kita sadari karena keterbatasan mata memandang dan keterbatasan kata untuk menyimpulkan yang sebenarnya terjadi. Apapun bisa terjadi. Orang yang mendorong gerobaknya mungkin saja dia sebenarnya malas melakukan kesibukannya setiap pagi menjelang karena tidur malam yang terlalu larut. Atau perempuan yang berjalan tergopoh sebenarnya dia hanya ingin keluar dari rumah karena pertengkaran dengan suaminya. Atau orang berpeci putih itu sebenarnya alasan perempuan tadi berjalan tergopoh dan senyuman kecil itu hanya menutupi aib-nya? Semua serba mungkin terjadi dan tak terjadi. Semua hanya karena mata yang masih terbatas menafsirkan segala sesuatu hal yang terlihat. Semua tampak baik kalau kita memikirkan hal baik. Juga semua tampak tak karuan dan membingungkan. Semua itu hanya bukti adanya tangan-tangan yang memgatur semua ini agar terlihat sedemikian rupa. Terlihat agar kita mencari rahasia apa yang sebenarnya terjadi dan dari mana itu terjadi. Alangkah baiknya jika kita mengetahui asal kita sehingga kita bisa berjalan menuju tujuan kita yang sebenarnya.
Entahlah!!
Apakah ini semua hanya sebuah pemikiran yang terbentuk karena tangan itu. Ataukah pemikiran ini berdiri sendiri, tunggal dan memiliki tujuan sendiri dari apa yang sebenarnya terjadi. [] masupik
Did You Know?
Selamat siang...selamat menikmati makan siang bagi yang makan. (Gue nggak makan siang, soalnya gue makan nasi). Nah di siang yang basah ini, gue bakal ngasih tahu kenapa banyak postingan gue nggak ada visualisasi gambar ataupun video.
Emang sih...nggak pernah ada yang komentar atau seenggaknya memberikan saran agar di setiap postingan ada gambar atau visualisasi lainnya. Tapi gue sendiri ngerasa kalo memang gue gak pernah nyangkutin gambar. Alasannya hanya satu: Selama ini setiap kali gue nulis postingan, selalu pake smartphone. Yang artinya gue ngetik sebegitu banyaknya hanya via smartphone dengan layar 4 inch. Seharusnya kan bisa jiga upload foto lewat smartphone!? Iya bener bisa. Kendalanya sekarang sama konekso serta spek dari smartphone gue ini. Smartphone yang gue pake adalah produk bangsa mata sipit (baca : hp Cina). Jadi, kalian tahu sendirilah bakal susah buat nyematin foto atau gambar di setiap postingan.
Nah, jika ada gambar atau media pendukung lainnya, berarti gue nulis postingan tersebut pake tanktop. Eh laptop maksud gue. So, nikmati saja setiap postingan yang penuh dengan kata-kata tak bertuan. Selain itu, postingan tanpa gambar akan meningkatkan daya imajinasi kalian. (Penelitian menurut Dr. Upiiil, S. Ag). Terima kasih telah berkunjung dan selamat menikmati. :)) [] masupik
Follow me : @up11k
Rabu, 03 Desember 2014
Kelinci[ku] Ucul
Ngubengi kutho..,
Sakteruse, neng ndeso ndeso..
Mergo aku anggolek-i,
Sing tak tresnani, kelinciku ucul..
Lungo mangetan,
Suroboyo, terus nyang bali..
Mangulon lungo nyang bandung ora ketemu..
Terus aku nyang jakarta..
Jebul ora ketemu.,
Aduh klinciku, ojo mbedo aku..
Terus bali nyang semarang,
Klinciku uwus ono kandang..
La jebulane..,
Grusa grusu, keburu nafsu..
Wekasane montang-manting, ragate akeh
Aku dewe kang kebanting..
Jebul ora ketemu.,
Aduh klinciku, ojo mbedo aku..
Terus bali nyang semarang,
Klinciku uwus ono kandang..
Terdengar semilir merdu nada-nada diatonis menggetarkan gendang telinga lembut ini. Terpatrih alunan nada tinggi yang mengiang-iang jauh ke atas. Sedikit nyeri tapi syahdu. Dan itulah ciri khas tembang jawa yang sekarang, tak ada yang memperdulikannya. Apalagi kaum muda. Ada tapi tak banyak dan tak semeriah dulu di jaman keemasannya.
Gue sebenarnya lupa dengan lagu Kelinci Uculnya Ki Napto Sabdo itu. Namun entah kenapa setelah nonton acara budaya di salah satu televisi swasta, sedang memutarkan lagu itu. Bibir gue pun ikut berkomat-kamit tak jelas sedang otak ini berusaha keras mengingat lirik lagu tersebut. Lagu yang pernah membawaku berpetualang mengisi acara on air di sebuah radio di kabupaten Rembang. Dan gue udah 2 kali dipanggil ke radio yang sama bersama tim karawitan SMAN 1 Lasem.
Panggilan pertama waktu itu gue cuma sekedar memukul balungan. Balungan adalah instrumen nada jawa yang terdiri dari Slenthem, Demung, Saron. (Seinget gue). Ya meskipun hanya seorang pemukul balungan tapi rasanya bangga dan penuh pengetahuan yang belum pernah gue alami. Salah satunya ya on air itu sendiri. Kemudian panggilan kedua, gue waktu itu sudah naik pangkat. Bukan jadi pemukul balungan lagi tapi sekarang jadi bowo. Bowo sendiri itu yang menembangkan alunan nada-nada. Simpelnya bowo itu penyanyinya. Pasti kalian nggak bisa bayangin, sosok manusia seperti gue nyanyi! Nyanyi tembang jawa men. Duh rasanya seperti kembali ke jaman penjajahan dulu sewaktu melantunkan bait-bait lagu jawa. Merdu, syahdu, mengalir indah, penuh makna tersurat dan tersirat, dan yang pasti cocok sebagai musik pengantar tidur.
Nah waktu itu lagu yang paling gue suka ya...Klinci Ucul ini. Lagu dengan nada diatonis yang berbeda dari kebanyakan lagu jawa lainnya. Memiliki makna yang dalam sebagai seorang pecinta. Suara klentang-klentingnya balungan yang acak dan tak karuan, adalah ciri lagu Klinci Ucul ini. Berbeda tapi merdunya sama. Kasarnya, amburadul tapi nikmat tak terhingga. Itu baru bicara mengenai musiknya, belum lagi maknanya dan hubungannya dengan kehidupan. Duh, hati jadi tentrem, adem, ayem dah pokoknya.
Selain itu, lagu ini juga mengingaatkan gue pada sosok Angirha. Sosok perempuan jawa tulen dengan perawakan sedang namun yang pasti montok. Anak kedua dari 2 bersaudara yang banyak mengajarkanku arti kehidupan yang sebenarnya. (Kalau yang ini gue lebay). Angirha memiliki tanggal kelahiran yang sama dengan gue, hanya berbeda waktu dan tempat pembrojolannya saja. Dia selalu dapat ranking 1 di kelas, terpilih sebagai wakil dari sekolah dalam ajang olimpiade biologi. Tidak hanya itu, suara merdunya jika dibandingkan dengan penyanyi seriosa (kalau gak salah), sebelas dua belas lah. Indah, merdu, sexy, emmh...gue nggak bisa bayangin kalo pas dia mendesah. Rambut yang lurus rapi khas permakan salon, memahkotai dan melengkapi parasnya. Kalo gue boleh ngasih penilaian, dia itu ibarat es blewah dengan pemanis alami. Seger, manisnya pas, dan yang pasti nikmat dipandang dan dimiliki. Asseeekkkk
Gue dulu pernah berduet tuh ceritanya. Tergabung satu tim karawitan, dan saat itu adalah hari pergantian kepala sekolah kami. Nah tim karawitan yang gue ada di dalamnya, ditunjuk untuk mengisi acara itu. Jadilah gue dan Angirha berduet menyanyikan lagu Klinci Ucul. Alunan Bonang yang selaras bersamaan berirama dengan tabuhan gendang jawa yang tak beraturan tapi asik, ditambah suara menggaungnya gong sebagai pembuka serta penutup setiap tembang jawa. Memenuhi tempat dan otak setiap tamu undangan yang ada. Dan tak lupa suara Angirha yang sayup-sayup basah berkolaborasi dengan suara gue yang seadanya tapi penuh gairah. Komposisi yang pas tapi tak istimewah. Mungkin itulah penilaian saat itu.
*end
Lantunan tembang Klinci Ucul telah usai. Gue tersadar kalau kelinci gue juga ucul (lepas) entah kemana. Kemanapun dia dan dimanapun dia, gue hanya bisa mendoakan semoga yang terbaik yang selalu dia dapatkan. "Duh kelinci, ingin sekali gue bakar dan kupotong seukuran balok dadu agar pas ketika dibakar sebagai sate." Gumamku sendu. [] masupik