Sabtu, 16 Juli 2016

Piring-piring



Sumber : Google.co.id

Udara dingin masih menyelimuti Rembang. Sore tadi memang sempat hujan turun cukup deras. meski hanya sebentar, genangan air berhasil terbentuk di sepanjang jalan dari toko menuju kos-kosan.
Sampai di gang, seperti biasanya banyak orang tengah menikmati kopi buatan mak Sri. Siapa mak Sri? Nanti kuceritakan. Aku menyapa mak Sri dan Kung (suami mak Sri). Sapaanaku tak berarti apa-apa, hanya sebatas formalitas kesopanan saja.

Sampai di depan kamar, samping kamarku yang beberapa minggu ini dihuni oleh seorang perempuan bersuami, di depan kamarnya penuh dengan sendal. Aku berani jamin, kalau perempuan itu ada di dalam. Sore itu kamarnya tertutup rapat. Ada sepasang sendal cowok yang tergeletak berantakan di depan pintu kamar. Kabar yang sering kudengar dari ibu kos tentang perempuan itu sedikit membuatku tak nyaman. Pasalnya, hampir setiap hari dia dikunjungi oleh cowok yang berbeda.


Selepas adzan magrib, aku keluar membeli makan malam. Tak ada suara apapun dari kamar sebelah. “Mungkin sedang keluar,” pikirku. Tapi ternyata tidak, sendal yang setadi sore tergeletak begitu saja masih sama. Sendal cowok yang kulihat tadi sore juga masih ada. Mereka berdua masih di dalam.

Seporsi nasi gudeg berbungkus kertas minyak telah kubawa dengan hanya 8 ribu rupiah saja. Saat melewati kamarnya, terdengar suara, sepertinya pertengkaran terjadi di antara mereka. Aku tak peduli. Masuk kamar dan menikmati nasi gudeg yang kupesan.

Suara teriakan kecil, amukan, juga sesekali sumpah serapah terdengar dari kamar sebelah. Aku masih tak peduli. Usai menikmati gudeg, kuambil hp dan kukirimkan pesan pada seseorang, ‘samping kamar lagi berantem, rame banget.’ Tak menunggu lama, balasan datang, ‘katanya mau diusir sama ibu kos?’ Beberapa pesan berikutnya, kami masih membicarakan tetangga kosku itu.

Sampai selanjutnya aku sadar, bahwa aku tengah dalam kondisi mengalah dari sebuah percakapan pesan singkat dengan seseorang. Sering sekali terjadi perdebatan tentang sesuatu yang tak pentng-penting amat, bahkan bisa dibilang tak berguna antara aku dengan dia. Dia yang tak mau kalah dengan segala argumennya dan aku yang tak pernah mau mendengar apapun argumen yang dia utarakan. Biasanya, untuk mengakhirinya, kulontarkan saja kata-kata pedas mendekati kejam tak berperi kemanusiaan padanya. Sehingga ujung-ujungnya dia yang akan diam. Tapi ini tak biasa, aku yang langsung diam dengan tak membalas pesan darinya. Aku mengalah dan kalah. Kalah karena aku terbawa emosi.

Aku mengalah karena ada hal lain yang kupikirkan. Tentang hubungan yang telah sedikit ke arah serius juga tentang hubungan serius yang mungkin benar-benar terjalin antara aku dengan dia esok. Menikah dan menjadi keluarga.

Saat ini, aku bisa saja tak memperdulikan pesan yang dia kirim, keluar beli kopi hanya untuk mengusir kepenatan, menghubungi teman sekedar mencari kesenangan atau juga memainkan permainan di smartphone. Toh, aku juga masih tinggal jauh dari dia, belum serumah. Untuk saat ini semua opsi masih bisa kuambil. Tapi setelah menikah dan menjadi keluarga, ketika terjadi perdebatan yang memungkinkan emosi juga turut serta. Apakah aku lantas keluar menghubungi teman kemudian bersenang-senang? Lantas, bagaimana jika sudah bersenang-senang tapi emosi masih ada? Padahal jika sudah berkeluarga, aku harus tinggal serumah dengannya bahkan sekamar. Tak seperti itu kan? Jalan satu-satunya hanyalah mengalah dan diam.

Berdamai dengan emosi dan memutuskan untuk diam itu sangat kejam. Mencoba membangun lagi kasih sayang dan kemesraan tapi di sisi lain rasa jengkel dan marah masih bergejolak riuh, sungguh kejam. Tapi itu yang seharunya dilakukan, mengapa? Karena aku yakin, berkeluarga itu bukan hanya bikin anak di ranjang, tapi cek-cok mulut pasti selalu mendampingi dan berkeliaran di dalamnya. Jika menuruti ego dan rasa jengkel, pasti ujung dari semua pernikahan adalah perceraian. Dan perceraian itu tak pernah menyembuhkan luka, sebaliknya, justru memperparah luka. (Oke fix, paragraf ini adalah paragraf omong kosong)

***

Dua piring yang ditumpuk sepelan dan selemah lembut apapun caranya, pasti menghasilkan suara. Apalagi dua orang manusia yang memiliki jalan pemikian dan hati yang berbeda dipertemukan. Untukmu yang di sana tengah terlelap dalam luka, maafkan aku yang masih bocah. Karena masih mementingkan amarah di setiap kata. [] mas