Sumber : Google.co.id |
Udara dingin masih menyelimuti Rembang. Sore tadi memang
sempat hujan turun cukup deras. meski hanya sebentar, genangan air berhasil
terbentuk di sepanjang jalan dari toko menuju kos-kosan.
Sampai di gang, seperti biasanya banyak orang tengah
menikmati kopi buatan mak Sri. Siapa mak Sri? Nanti kuceritakan. Aku menyapa
mak Sri dan Kung (suami mak Sri). Sapaanaku tak berarti apa-apa, hanya sebatas
formalitas kesopanan saja.
Sampai di depan kamar, samping kamarku yang beberapa minggu
ini dihuni oleh seorang perempuan bersuami, di depan kamarnya penuh dengan
sendal. Aku berani jamin, kalau perempuan itu ada di dalam. Sore itu kamarnya
tertutup rapat. Ada sepasang sendal cowok yang tergeletak berantakan di depan
pintu kamar. Kabar yang sering kudengar dari ibu kos tentang perempuan itu
sedikit membuatku tak nyaman. Pasalnya, hampir setiap hari dia dikunjungi oleh
cowok yang berbeda.
Selepas adzan magrib, aku keluar membeli makan malam. Tak
ada suara apapun dari kamar sebelah. “Mungkin sedang keluar,” pikirku. Tapi ternyata
tidak, sendal yang setadi sore tergeletak begitu saja masih sama. Sendal cowok
yang kulihat tadi sore juga masih ada. Mereka berdua masih di dalam.
Seporsi nasi gudeg berbungkus kertas minyak telah kubawa
dengan hanya 8 ribu rupiah saja. Saat melewati kamarnya, terdengar suara,
sepertinya pertengkaran terjadi di antara mereka. Aku tak peduli. Masuk kamar
dan menikmati nasi gudeg yang kupesan.
Suara teriakan kecil, amukan, juga sesekali sumpah serapah
terdengar dari kamar sebelah. Aku masih tak peduli. Usai menikmati gudeg,
kuambil hp dan kukirimkan pesan pada seseorang, ‘samping kamar lagi
berantem, rame banget.’ Tak menunggu lama, balasan datang, ‘katanya mau
diusir sama ibu kos?’ Beberapa pesan berikutnya, kami masih membicarakan
tetangga kosku itu.
Sampai selanjutnya aku sadar, bahwa aku tengah dalam kondisi
mengalah dari sebuah percakapan pesan singkat dengan seseorang. Sering sekali
terjadi perdebatan tentang sesuatu yang tak pentng-penting amat, bahkan bisa
dibilang tak berguna antara aku dengan dia. Dia yang tak mau kalah dengan
segala argumennya dan aku yang tak pernah mau mendengar apapun argumen yang dia
utarakan. Biasanya, untuk mengakhirinya, kulontarkan saja kata-kata pedas
mendekati kejam tak berperi kemanusiaan padanya. Sehingga ujung-ujungnya dia
yang akan diam. Tapi ini tak biasa, aku yang langsung diam dengan tak membalas
pesan darinya. Aku mengalah dan kalah. Kalah karena aku terbawa emosi.
Aku mengalah karena ada hal lain yang kupikirkan. Tentang hubungan
yang telah sedikit ke arah serius juga tentang hubungan serius yang mungkin
benar-benar terjalin antara aku dengan dia esok. Menikah dan menjadi
keluarga.
Saat ini, aku bisa saja tak memperdulikan pesan yang dia
kirim, keluar beli kopi hanya untuk mengusir kepenatan, menghubungi teman
sekedar mencari kesenangan atau juga memainkan permainan di smartphone. Toh,
aku juga masih tinggal jauh dari dia, belum serumah. Untuk saat ini semua opsi
masih bisa kuambil. Tapi setelah menikah dan menjadi keluarga, ketika terjadi
perdebatan yang memungkinkan emosi juga turut serta. Apakah aku lantas keluar
menghubungi teman kemudian bersenang-senang? Lantas, bagaimana jika sudah
bersenang-senang tapi emosi masih ada? Padahal jika sudah berkeluarga, aku
harus tinggal serumah dengannya bahkan sekamar. Tak seperti itu kan? Jalan satu-satunya
hanyalah mengalah dan diam.
Berdamai dengan emosi dan memutuskan untuk diam itu sangat kejam. Mencoba membangun
lagi kasih sayang dan kemesraan tapi di sisi lain rasa jengkel dan marah masih
bergejolak riuh, sungguh kejam. Tapi itu yang seharunya dilakukan, mengapa? Karena
aku yakin, berkeluarga itu bukan hanya bikin anak di ranjang, tapi cek-cok mulut
pasti selalu mendampingi dan berkeliaran di dalamnya. Jika menuruti ego dan
rasa jengkel, pasti ujung dari semua pernikahan adalah perceraian. Dan perceraian
itu tak pernah menyembuhkan luka, sebaliknya, justru memperparah luka. (Oke fix,
paragraf ini adalah paragraf omong kosong)
***
Dua piring yang ditumpuk sepelan dan selemah lembut apapun
caranya, pasti menghasilkan suara. Apalagi dua orang manusia yang memiliki jalan
pemikian dan hati yang berbeda dipertemukan. Untukmu yang di sana tengah terlelap dalam
luka, maafkan aku yang masih bocah. Karena masih mementingkan amarah di setiap
kata. [] mas