Pada Sebuah Foto | Koleksi Pribadi |
Selepas menunaikan kewajiban sholat magrib, aku berbaring di
tempat tidur. Smartphone adalah teman sewaktu sendirian. Meskipun sendirian,
kamu akan bisa tertawa hanya bermodalkan smartphone. Melihat-lihat lagi
foto-foto lama yang tersimpan. Sembari mengingat-ingat saat apa, di mana,
bahkan kenangan apa yang ada di foto tersebut. Sampai aku menyimpulkan, bahwa
waktu bisa terbang. Perasaan baru dua hari yang lalu aku berfoto dengan pose
andalanku—mengacungkan tiga jari. Setelah kulihat tanggal pengambilan foto
tersebut, ternyata sudah lewat tiga bulan.
Masih bernostalgia dengan foto. Kucoba membuka folder yang
lainnya. Kudapati fotoku dengan kawan-kawan tengah naik sepeda motor. Posisiku saat
itu sedang dibonceng. Kami semua tersenyum sadar kamera. Aku ingat foto itu
diambil pada tanggal satu Januari 2016, bertepatan dengan hari Jumat. Saat itu
kami berempat pergi ke sebuah air terjun di desa Gunem kabupaten Rembang. Tapi sayangnya,
karena kemarau, yang ada hanya gemericik air. Bukan air terjun seperti di foto
kawanku yang dipamerkan padaku. Tapi kami bahagia.
Dalam nostalgia, aku terbawa pada kondisiku sekarang. Kini kami
jarang sekali berkumpul bersama. Kesibukan masing-masing membuat celah dalam di
antara kami. Bukan bermusuhan atau kami tak akur lagi. Kukira permusuhan bukan
tipe kawan-kawanku. Sekedar untuk ngopi bersama seperti dulu pun susah. Padahal
dulu, hampir setiap malam ajakan ngopi tak henti-hentinya memenuhi pesan
singkat. ‘Ngopi Jo?’ pertanyaan sekaligus ajakan yang mewarnai malam kami
selepas isya kadang juga selepas magrib. Meskipun sore hari kami sudah ngopi,
tak menyurutkan niat kami untuk kembali meneruskan ngopi di malam hari.
Rasa suntuk menghampiriku. Fikiranku melayang jauh ke depan.
Aku yang memutuskan untuk menikah kembali dihampiri perasaan ragu akan
pilihanku. Muncul banyak sekali ingatan-ingatan manis bersama kawan. Bersenang-senang,
tertawa, ngopi ke sana kemari, dan masih banyak lagi keseruan-keseruan yang
bisa dilakukan. Keseruan itupun terbentur dengan pilihanku. Aku dengan status
sudah menikah kelak, pastinya tak bisa sebebas aku yang belum menikah. Ada seorang
istri yang menjadi tanggung jawabku. Tak bisa seenaknya kutinggal ngopi, atau
kutinggal berpergian jauh bersenang-senang dengan kawan-kawanku. Perasaanku malam
itu sangat mengganjal. Pilihanku seakan tergerus dan kembali rapuh serta tak
yakin.
Kuputuskan untuk menghubungi teman lainnya yang tidak ada
dalam foto. Barang kali rasa suntuk itu bisa hilang dengan ngopi atau tertawa
terbahak-bahak. Tapi naas, mereka juga sibuk. Ada yang tak membalas pesanku,
ada yang membalas tapi bilang sibuk dan sederet alasan kondisi mereka.
Perut mulai lapar. Keluar kamar, aku pergi ke angkringan
yang menjajakan nasi kucing. Suntuk masih mengganggu. Kulahap bungkus demi
bungkus nasi kucing. Biasanya hanya cukup dua bungkus untuk melunasi perut. Tapi
suntuk pun ikut andil. Hasilnya, empat bungkus nasi kucing sekali duduk. Ritual
merokok setelah makan tak boleh tertinggal. Setiap tarikan nafas dan kepulan
asap rokok, tergambar jelas kebebasanku akan hilang. Dengan segera kuhisap lagi
rokok di tangan. Tapi gambaran kebebasanku yang dipenggal mati terlihat semakin
jelas. Aku usai dengan nasi kucing. Kubayar yang kumakan dan setelah itu aku
kembali ke kos dan merebahkan badan.
Mecoba kembali meyakinkan diriku dan mengusir rasa suntuk
yang telah tercampur dengan kebebasan yang dipenggal mati. Kuputar musik dari
smartphone. Sesekali mata terpejam dan tak sadarkan diri. Aku berharap, ketika
tidur telah terpenuhi dan lelah telah melayang pergi, rasa suntuk itu larut
dalam mimpi dan aku kembali yakin dengan keputusan hati ini. Menikah denganmu
bukanlah sebuah halangan untuk tetap bersenang-senang bersama kawan. Melakukan kegilaan-kegilaan.
Tetapi, bertambahnya kesenangan dan kegilaan yang bisa dilakukan tanpa
mengesampingkan tanggung jawabku sebagai suami. Amin.
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah
pilihanku. []