Diriku tengah membayangkan ketika pada akhirnya aku harus
terbujur kaku tak bernyawa. Tubuhku lambat laun akan dingin, dingin, sampai
akhirnya membusuk penuh belatung. Tubuh kurusku belum terkubur oleh tanah yang
telah disiapkan dan diukur sesuai tinggi badanku. Tubuhku masih terlentang di
balik pintu kamar bercahayakan bohlam lampu kuning tak berpendar. Mataku tetap
melotot menatap kosong langit-langit kamar penuh sarang laba-laba. Kelopak
mataku masih belum dipejamkan oleh seseorang. Kematianku masih sangat rahasia.
Tak ada yang tahu, tak terkecuali keluarga bahkan teman. Sampai akhirnya aku
ditemukan tak sengaja oleh pemulung yang setiap harinya berkeliaran memungut,
mengumpulkan barang bekas di sekitaran rumah kontrakanku. Bau hasil dari
sebagian anggota badanku yang mulai membusuk itulah yang memberikan jejak
kematianku pada pemulung. Ada 2 pilihan yang bisa dilakukan oleh pemulung itu. Pertama,
dengan baik hati dan berjiwa besar dia menolongku. Dalam artian, mengeluarkan
jenazahku, memberitahu pada sekitar, dan akhirnya jenazahku dibawa ke rumah
sakit untuk dilakukan otopsi. Sampai akhirnya, pihak polisi melakukan oleh TKP
dan menemukan identitasku baru kemudian menghubungi keluargaku atau kontak
nomor yang bisa dihubungi saat itu. Akhir cerita, keluargaku mengetahui
kematianku, mengubur tubuh yang membusuk, dan terakhir mengadakan pengajian
yang biasa dilakukan untuk mendoakan kepergian seseorang.
Pilihan kedua yang bisa dilakukan si pemulung. Dia
menguburkan tubuhku seperti membuang bangkai kucing yang tertabrak motor pagi
hari. Atau menenggelamkan mayatku di sungai terdekat agar terbawa arus dan aku
semakin jauh dari jangkauan untuk ditemukan. Tujuannya, pemulung bisa mengambil
barang berharga yang kumiliki. Menguasai sendiri. Menjarah apa yang tersisa
dariku. Sampai akhirnya aku tak memberi kabar pada orang rumah. Salah seorang
keluargaku mencoba menghubungi nomorku. Atau paling tidak, teman-temanku
mencoba menyapaku walau jauh. Tak ada jawaban setelah beberapa kali dicoba.
Keluarga dan temanku mulai khawatir. Mereka mencoba menghubungi nomor
teman-temanku yang pernah kukenalkan pada mereka. masih tak menghasilkan
apa-apa. Sementara itu, aku telah terbawa jauh. Mulai tenggelam karena tubuhku
telah terisi penuh air. Sampai akhirnya aku tak diketemukan. Menghilang begitu
saja.
Ya, di tengah guyuran hujan lebat. Di depan sebuah rumah.
Aku memandang jauh tak berujung. Tak ada batas penglihatan. Memikirkan
bagaimana caraku mati kelak. Aku saat titik terjenuh bertamu dalam hidup. [] masupik