Bahwasanya kita harus ingat, manusia berasal dari tanah dan
suatu saat pasti dan memang akan kembali ke tanah. Begitu juga cinta, dua orang
yang saling memadu kasih, sebelum adanya cinta yang menyatukan, mereka adalah
asing. Mereka tak saling kenal, seorang diri, bebas dan punya kehendak
masing-masing. Setelah cinta datang, entah dari mana asalnya mereka saling
kenal, bertemu, cocok, memiliki hasrat untuk menjalin sebuah hubungan, dan
akhirnya pacaran. Sama halnya seperti manusia, dari tanah kembali ke tanah. Sebelumnya
tak saling kenal, dan akhirnya harus kembali tak saling kenal. Jika saat itu
terjadi, yang bisa kita lakukan hanyalah merelakan siapa yang seharusnya pergi
dan siapa yang akan mengisi lagi. Meskipun harus ada beberapa air mata
kesedihan yang mengiringi serta beberapa indahnya kenangan saat masih bersama
yang berlalu lalang. Tapi tenang saja, bukan hanya kamu yang mengalami
saat-saat suntuk itu, pasanganmu juga merasakannya. Namun itu semua terjadi
jika keadaan, nasib, serta takdir mereka yang memang tak jodoh, kalau jodoh, ya
beda lagi ceritanya.
Senin pagi. Pukul 06.59. Hari pertama aku masuk kerja. Tak boleh
telat, dan harus banyak senyum. Meskipun tak bisa tampil keren dan rapi. Hari itu
juga aku berkenalan dengannya. Kita tak saling bersalaman seperti kenalan pada
umumnya. Kita hanya tersenyum satu sama lain. Itupun dari jauh. Setelah kenalan,
aku hanya banyak diam, diam, dan sesekali tersenyum kecut.
Sejak perkenalan itu, aku sama sekali tak pernah menyapamu. Bukan
hanya di hari pertama aku kerja, tapi seterusnya. Kita sekantor, setiap hari
kita bertatap muka. Paling hanya beberapa saat saja kau harus keluat untuk
memenuhi kepentingan lainnya. Selebihnya kita satu kantor. Aku yang memang
pendiam dan sedikit ah ralat banyak canggung jika harus berurusan dengan
perempuan. Tak pernah berani untuk memulai suatu obrolan. Meski dengan karyawan
lain hanya perlu waktu 3 hari aku sudah bisa lumayan akrab dengan mereka, tapi
entah denganmu. Rasanya ada tembok tipis tapi kedap suara yang mengunciku. Sehingga
sekuat apapun aku berusaha untuk menyapa, hasilnya nihil.
Hari demi hari berlalu, bulan berganti bulan. Aku dan kamu
masih ibarat telur yang dierami induknya, belum menetaskan sebuah obrolan
sederhana. Sesederhana menawarkan kopi hangat saat kamu mulai penat dihantam
laporan. Tapi setidaknya aku bersyukur, aku mendapatkan nomormu dan akhirnya
ada juga media yang menyalurkan suaraku. Tapi aku tetaplah aku, hanya pesan
pendek yang terkirim dari ponselku. Tak pernah sekalipun aku mencoba untuk
menelpon. Hanya satu alasan, aku canggung.
Juni, Juli, Agustus, dan bulan-bulan setelahnya. Sampai tahun-tahun
berikutnya, hubungan kita hanya sebatas teman berkirim pesan singkat. Tak lebih
dan mungkin kurang. Pertama, kurang ajar. Karena hampir tiap malam aku selalu
mengirimkan pesan singkat. Kita saling lena di dalam pesan itu. saling
mengejek, juga beberapa kali kugoda dengan rayuan gombal ala-ala anak muda. Tapi
setelah pagi tiba, dan suasana kantor datang, aku kembali diam seperti tak
terjadi apa-apa di antara kita. Kurang ajar sekali kan? Kedua, kita kurang
mesra. Ya bagimana mau mesra, toh hubungan kita hanya berlangsung lewat pesan
singkat 140 karakter kadang lebih.
Cinta memang lena. Hampir setiap hari ada perasaan
sedikit sakit tapi enak di dada. Hari-hari dalam bekerja serasa ringan dan apa
adanya. Sampai suatu saat datang, aku harus keluar dari tempatku bekrja. Itu artinya,
aku harus meninggalkanmu di kantor lama dan aku ada di entah berantah. Cukup adil
untuk suatu hubungan yang dimulai dari diam dan berjalan dalam pesan singkat. Meskipun
kamu menangis sejadi-jadinya, aku harus tetap pergi meninggalkan kantor itu.
Setahun berlalu. Entah kenapa aku harus kembali. Kembali ke
rumah. Ya, sejauh apapun kamu bermain, rumah adalah satu-satunya tempat
kembali. Hubungan kita masih sama seperti dulu, hanya sebatas pesan singkat. Hanya
saja, sekarang aku memiliki keberanian untuk menemuimu malam itu. langit hitam,
bintang memendarkan cahaya putih bersih, angin sepoi-sepoi sepertinya sebentar
lagi akan turun hujan. Dan akhirnya, setelah berpisah kita bertemu di malam
itu.
Tapi perpisahan itu nyata adanya, bukan hanya dalam
cerita-cerita sedih. Bukan pula mitos yang berfungsi menakuti. Kita harus
berpisah sepertinya. 140 karakter akan kalah dengan yang setiap harinya
berjumpa. Diamku juga akan lena dengan manisnya. Semoga kamu tahu, aku
mencintaimu. []