Senin, 24 Agustus 2015

Menikah dan Hal-hal yang Tak Selesai

Sebermula dari keisengan yang acap kali kulakukan : mencoba menyapa salah seorang dari beberapa mantan. Soal berapa jumlah dari beberapa itu privasi, jelasnya, ada lebih dari 1 dan kurang dari jumlah jari kaki (oke, abaikan!). Sebenarnya tak ada niatan bernostalgia dengan kenangan selama bersama, hanya sekedar menyapa kabar yang telah lama tak terdengar. "Hallo2", tulisku lewat pesan singkat. Aku juga tak tahu, apakah nomor itu masih ia gunakan atau setelah banyak peristiwa dan tangisan, nomor itu lantas dibuang. Dan beruntungnya aku, tak perlu menunggu lama balasan datang, "hai". Riang gembira hatiku.

3 huruf sakral itu tak boleh kuabaikan begitu saja. Selanjutnya adalah sebuah taruhan.

Sejujurnya ada sedikit rasa canggung yang keluar ketika menyapa mantan. Bukan apa-apa, hanya sedikit takut untuk memulai sebuah keakraban. Namun aku mencoba yakin, niat baik untuk menjaga persahabatan harusnya tak secanggung ini, "Apa kabar?" Ya benar sekali, "apa kabar?" masih menjadi obat mujarab untuk memulai sebuah percakapan yang telah lama tak terjalin ditelan tengiknya rasa canggung.

"Alhamdulillah baik", balasnya tak berubah, masih seperti pertama kali aku menyapanya dulu. Tetap harus islami sebagai tanda dirinya adalah jebolan pesantren dan tetap cuek sekenanya, membuatku harus berfikir, model percakapan apa lagi yang harus kukirimkan. Perasaan seperti ini, sama seperti pertama kali saat aku mencoba dekat dengannya. Dulu, saat kenangan belum terjalin dan peluh belum terajut kecut.

Sebenarnya, selain memang keisenganku, aku juga ingin menanyakan perihal kebenaran kalau ia akan segera menikah. Bukan denganku, tetapi dengan seseorang.

"Jangan lupa undangannya, tak tunggu!" balasku memulai tujuan licikku. Pesan telah terkirim. Aku diam menunggu balasan. Sembari berfikir, apakah aku menyesal telah menyudahi hubungan kita dulu? Dalam lamunan kotorku, secara teori, jika kita tak putus maka akulah nama pria yang sekarang ada diundangan yang telah disebar jauh-jauh sebelum harinya. Itu secara teori yang bisa di-logika-kan fikiran manusia. Nyatanya, namaku masih kepalang brengsek untuk masuk daftar calon mempelai pria.

"Hehehe. Doanya aja!" pesannya tak ada 140 karakter. Aku dihadapkan 2 pilihan sulit saat itu. Antara meneruskan percakapan atau membalas pesan singkatnya dengan kata-kata kotor. Beruntungnya ia, aku teringat niat baikku di awal.

Kabar burung itu benar, bukan rekaan teman, bukan pula gosip ibu-ibu rumahan. Ia gadis desa dan sebentar lagi akan menikah. Sebuah adat atau mungkin sebenarnya paksaan bisa juga pola pikir udik orang desa. Jika mereka memiliki anak perempuan, sudah mulai dewasa atau tepatnya sudah terlihat buah dadanya, maka lebih baik menikah. Pemikiran tersebut hampir tak akan pernah hilang selama tak ada sebuah pola pikir bebal dari si perempuan. Selamanya akan terus seperti itu. Aku merasa kasihan dengan Kartini. Pemikirannya masih belum bisa diterima sepenuhnya. Hanya menuntut hak saja yang setiap tahunnya dirayakan sebagai kesuksesan Kartini dalam menaklukkan pria. Tragis.

Tak ada yang salah dengan pernikahan dini. Bahkan bisa dikata, itu benar. Apalagi melihat kenyataan sekarang, banyak hubungan suami istri dipraktekkan oleh mereka yang niat pertamanya pacaran. Hanya bermodalkan rayuan busuk, si perempuan mulai terlena mabuk kepayang oleh gombal-gombal lecek, sampai di kemudian hari mereka menangisi jabang bayi yang tiba-tiba bertengger di rahimnya. Dengan mudahnya perempuan menikmati geliat di ranjang, lantas merenungi kebodohan penuh peluh penyesalan. Asu! Oh, maaf keceplosan.

Maraknya kasus hamil duluan, sudah 3 bulan, gara-gara pacaran ngencuk-ngencukan. Nahlo, malah nyanyi, fokus! Banyaknya kejadian itu, kini bukan hanya orang desa, pola pikir menikahkan anak perempuan dini-dini mulai menjangkiti hampir semua orang tua seantero ... (masih mikir). Intinya adalah menikah secara hukum, baru bikin anak. Itulah mengapa sekarang iklan salah satu minyak kayu putih, "buat anak kok coba-coba" telah dihilangkan. Karena telah menghadirkan salah tafsir.

Terlepas dari kisah mantan yang sebentar lagi akan menikah dan sukses besarnya mempengaruhi otakku untuk berfikir jorok. Memikirkan gaya apa yang akan ia pakai sewaktu telanjang bulat dalam balutan nafsu. Di sini kita masih bangga, heran, dan menikmati persoalan nikah muda. Tapi lupa, di luaran sana masih banyak saudara kita memperjuangkan nasib, hak, serta keberadaannya. Sebut saja kasus baru-baru ini, tentang pernikahan sejenis yang masih tak diakui keberadaannya, baik secara hukum dan sosial. Tentang orang yang menikah lantas seketika itu juga menceraikan istrinya karena si istri tak seperti apa yang ada di foto. Juga tentang orang yang telah hampir 10 tahun menikah, baru sadar bahwa istrinya adalah laki-laki. Dan masih berjubel permasalahan lainnya. Sebut saja, buku nikah yang kata-katanya kehabisan stock, menikah tak boleh hari libur padahal orang Jawa (khususnya) pasti mengambil hari libur untuk melangsungkan pernikahan. Lantas, apakah menikah itu?

Menikah? Di fikiranku hanya ada hubungan badan, beradu alat kelamin, french kiss, doggy style, ah kebanyakan nonton bokep loe!

Menikah, jika hanya berupa hubungan badan, maka manusia tak ada bedanya dengan babi, anjing, kera di kolam renang Bektiharjo Tuban yang secara kebetulan aku melihatnya berhubungan badan dihadapanku dan para pengunjung. Mereka (binatang) bisa melakukan hubungan badan. Mereka tak perlu belajar lagi cara memasukkan alat kelamin jantan ke alat kelamin betina. Jika meminjam perkataan para sufi yang bijak, menikah adalah pertemuan dzat Tuhan dengan sifat Tuhan. Dzat Tuhan yang diwakili oleh lelaki dengan keperkasaannya, dan sifat Tuhan perempuanlah yang memiliki, karena kasih sayang dan kelembutannya. Menurutku pribadi, yang tak bisa dijadikan patokan ilmiah, menikah adalah pertemuan 2 ego; akal; hati, yang kita dianjurkan untuk saling melebur menjadi satu, nyawiji (jawa), manunggal. Itu gumamku soal apa itu menikah.

Memang tak tepat jika pertanyaan 'apa itu menikah?' dilimpahan padaku yang masih menghisap ingus sendiri ini.  Pertanyaan itupun akan semakin mengakar : kapan nikah? Dengan siapa? Lantas beranak pinak, kapan punya anak?

Oke aku akan menjawab. Kapan nikah? Aku sendiri tak tahu kapan. Persisnya kapan waktu, tanggal, bulan, dan tahunnya aku belum tahu. Bisa jadi nanti, besok, lusa, lusanya besok, atau mungkin masih banyak besok yang harus kulewati sebelum hari pernikahanku. "Ah, itu jawaban kebanyakan orang, aku bosan mendengar jawaban seperti itu!" Em, anu, ani, budi.... Begini-begini, perkara kapan nikah, kapan saja aku siap. Hanya ada beberapa persyaratan atau lebih tepatnya komitmen yang harus diterima dan diimani oleh orang tuaku, bakal mertua, serta semua keluarga yang bersangkut paut dengan orang tuaku serta bakal mertuaku. "Apa itu?" Mudah saja, aku tak ingin ada penyesalan di belakang hari. "Maksudnya?" Asu! Takok terus!! Maksudnya aku tak ingin ada sebuah penyesalan dari pihak keluargaku, bakal mertuaku, dan mereka-mereka yang jadi keluargaku dan bakal keluargaku. Aku tak ingin ada gerutu penyesalan, bisik-bisik penyesalan.

Misal saja keluargaku, karena aku telah menikahi (sebut saja si A) padahal sebenarnya keluargaku telah memiliki calon si B. Melihat keluarga yang aku bina penuh dengan persoalan, lantas dari keluargaku keluar gerutu, "coba dulu nikah dengan si B, pasti gak bakal terjadi seperti ini!" begitu sebaliknya. Aku tak ingin mendengar kalimat penyesalan seperti itu dan padanannya. Karena bagiku, penyesalan seperti itu tak akan merubah apapun. Menyesal, kata temanku, hanyalah milik orang bodoh dan tak berakal. Penyesalan hanya akan menimbulkan cacat hati dan fikiran. Permasalahan yang menimbulkan penyesalan tak akan menuai jalan keluar. Hanya menambah beban masalah.

Penyesalan sejatinya adalah bentuk ketidak-mampuan dan mapanan seseorang dalam menghadapi rumitnya permasalahan yang selanjutnya mencari-cari objek untuk dikambing hitamkan. Kita memiliki akal yang mumpuni, diberikan oh maksudku dipinjamkan secara gratis. Dengan akal tersebut seharusnya kita bisa berfikir dan memikirkan segala sesuatunya. Bukan serta merta lepas tangan dengan menyalahkan keadaan, nasib, lebih ekstrem lagi menyalahkan Tuhan sebagai entitas yang tak berperasaan. Padahal tak sedikit manusia yang bersimpuh, berterima kasih pada Tuhannya karena berkah atas sebuah masalah yang ia terima.

Menikah adalah salah satu dari banyak tujuan hidup paling purna yang ingin diwujudkan manusia. Lahir, sekolah, kuliah, bekerja, menikah, beranak, dan mati. Padahal mati itu perkara mudah. Bisa saja saat ini kau menceburkan diri di lautan jus alpukat atau mungkin menghunus leher dengan kenangan mantan. Oops! Menikah adalah sebuah ritus. Dia bukan sebuah peristiwa wajar yang setiap hari terjadi, dihadiri, dan selesai begitu saja. Menikah bukan seperti berak. Saat kebutuhan untuk berak telah usai, kau bisa makan sekenyang yang kau mau, lalu terasa melilit kemudian kau berak lagi. Begitu seterusnya sampai kau mati karena berak. *end

Menikahlah! Kapan lagi kau akan menikah jika tidak sekarang? [] masupik