Jumat, 30 September 2016

Ibu



Malam itu aku sengaja pulang lebih cepat dari biasanya. Besok hari Senin. Rutinitas kerja harus kujalani seperti hari-hari biasa. Jika aku di rumah, paling tidak aku harus berangkat pukul 6 pagi. Ya, benar! Jarak rumahku dengan tempatku bekerja kira-kira 60 kilometer. Dan biasanya setiap hari Sabtu sore selepas bekerja aku pulang ke rumah.

Rumah tua nenekku tampak gelap. Lampu-lampu telah mati. Paling hanya lampu ruang tengah yang kebetulan difungsikan sebagai ruang keluarga yang masih menyala. Juga kamar-kamar yang lampunya masih menyala. Kamar nenek, sepupu dan ibunya, juga sesekali kamarku. Biasanya kalau aku pulang, di rumah hanya ada kami berempat. Jika suami dari bibiku pulang, jadi berlima. Tapi malam itu beda. Ada ibuku dan adik paling bungsu tengah terlelap di ruang tengah.

Aku melihat ibuku tengah terlelap. Juga Amak, adikku. Tampak wajah-wajah lelah terlihat. Seketika itu juga aku berhenti. Tak masuk kamar. Aku duduk tepat di hadapan ibuku yang mungkin tengah bermimpi dagangan di rumahnya laris manis. Atau juga mimpi hari itu dia dapat arisan. Atau hutang-hutang pulsa dari tetangga samping rumahnya dilunasi semua. Kebahagiaan kecil yang bisa dirasakan ibuku yang tinggal jauh di Bogor sedangkan nenenkku atau ibunya, tinggal di desa.

Hampir 10 menit aku duduk memandang raut wajah ibuku. Kerutan di wajahnya tak bisa disembunyikan bahwa dia semakin tua. Besar badannya tak bisa dipungkiri lagi. Untuk seorang ibu rumah tangga biasa, sudah punya 4 anak, pastinya badannya tak seindah dulu sewaktu ibu masih kuliah atau saat malam pertama. Aku tak ingat, saat aku masih digendong olehnya dulu. Ingatanku tentang masa kecil seperti hilang begitu saja.

Ibu hanya kepala rumah tangga. Setiap harinya selalu melakukan hal-hal itu saja. Bangun tidur, ke pasar, masak, nunggu sales, bayar hutang, nagih hutang, kirim pulsa, minta saldo, ngomel, tertidur di depan tv, ngomel lagi, masak sambil ngomel, bertengkar dengan ayah, teriak-teriak khawatir, masak, nyetrika, nyuci, jemur baju, ngomel, ngomel sambil jemur baju, marah-marah sendiri sama ayam yang masuk ke rumah, marahin sales yang telat ngirim dagangan, marah sama sales karena datang terlalu cepat, marah sama sales karena datang terlambat, ah ibu….ibu.

Dunia ini memang kejam. Kini umur ibuku sudah kepala empat. Artinya apa, artinya dia telah tua. Meskipun di rambutnya belum terlihat uban seperti ayah. Meskipun ingatannya belum pikun dan masih lihai mengingat-ingat perkakas tukang milik ayah. Matanya pun masih tajam untuk perihal nonton sinetron. Kadang kala aku melihat ibu memakai kacamata ketika membaca.

Ibuku tak punya akun Facebook, Path, Instagram, atau streaming Youtube. Meskipun, belakangan ini, dia aktif dengan Whatsapp-nya. Smartphone pemberian adikku, Ubab sepertinya tengah dia pelajari. Tapi namanya ibu-ibu, ada pemberitahuan sedikit, sudah bawel, sudah ribut sendiri. Dulu, sewaktu dia melihat berita, yang kebetulan isi berita itu tentang seseorang yang ditangkap polisi karena menghina orang terhormat lewat akun Facebook. Ibuku bilang, “kalau ibu punya Facebook, mungkin ibu juga akan ditangkap seperti orang itu.” Ibu orangnya ceplas-ceplos. Gak bisa basa-basi kalau ada yang membuat hatinya tak berkenan. Seketika itu juga, aku berjanji pada diriku sendiri, tak akan dan tak pernah mengajari ibu bagaimana cara Facebook-an.

Ibuku hanya orang desa yang kebetulan tinggal di Bogor. Di Bogor pun bukan di kotanya, tapi di desanya juga. Pendidikannya sampai tingkat S1 tak membuat nasibnya bagus. Jadi guru PNS, pengusaha, atau apapun lah yang sekiranya bisa membuat anak-anaknya ketika butuh uang sekali minta langsung mengiyakan. Tapi tidak, ibu akan dengan bingung dan berkata, “Minggu depan ibu usahakan.” Hahaha. Sampai hafal apa yang akan dikatakan ibu ketika aku hendak meminta uang kuliah. Tapi ibuku demokratis dan terbuka juga keren. Hanya pergi ke pasar saja dia memakai kacamata selebar kacamata kuda. Naik sepeda motor, gak pakai helm karena panas katanya, sambil membawa sekarung besar belanjaan yang dia ikat di jok belakang motor. Jempol pokoknya.


Aku menguap, aku ngantuk, aku harus tidur. Tapi aku masih duduk di hadapan ibu yang terjaga dalam lelah. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan sayang pada ibu. Dengan bilang aku sayang ibu? Ah tak mungkin, aku bukan orang seperti itu. yang bisa dengan santai dan lepas bilang aku sayang ibu kemudian berpelukan. Aku termangun dan tahu apa yang bisa kulakukan malam itu. Antara lakukan dan tidak. Kukecup kening ibuku yang berkerut. Saat itu pula semuanya seakan terucapkan. Terima kasih ibu, maafkan anakmu ini, ibu cantik meskipun gemuk, ibu keren, ibu menjengkelkan, ibu jahat, ibu hebat, semua yang ingi kusampaikan padanya telah kuwakilkan dengan kecupan di keningnya. Mencium kening ibuku baru pertama kali itu kulakukan. Selebihnya aku hanya menahan perasaan. Seolah ingin terlihat tegar.


Terima kasih ibu. []

Kamis, 15 September 2016

Tulisan Yang Tak Pernah Selesai



Beberapa tahun belakangan ini aku jadi suka menulis. Bukan menulis menggunakan pulpen sebagai alat tulis dan kertas sebagai media menulis. lebih tepatnya mengetik. Entah apa yang membuatku menjadi suka menulis. Padahal dulu sewaktu masih sekolah, kegiatan tulis menulis selalu kujauhi karena membosankan dan tak keren.

Pernah kala itu aku ikut lomba menulis cerpen. Tak tahu ada niat apa, saat itu aku mengacungkan tanganku untuk mendaftar sebagai peserta. Atau mungkin karena saat itu aku anak kos yang kehabisan uang, mendengar hadiah yang ditawarkan dari lomba cerpen tadi sehingga aku berani mengajukan diriku untuk menulis. entahlah, mungkin alasan kedua lebih masuk akal. “Cuma menulis, masak nggak bisa?”

Tulisan pertamaku sebanyak 3 lembar kertas A4 selesai dalam waktu 3 jam. Dari jam 9 sampai jam 12. Itupun harus pinjam laptop teman. Kelar menulis, kubaca lagi hasil tulisanku. “Ternyata bagus!” dalam benakku dengan percaya diri, kuanggap tulisan cerpenku itu bagus. Meskipun latar cerita yang kubuat meniru salah satu cerpen dari buku. Hanya latar cerita. Selebihnya seperti tema, tokoh, juga alurnya harus kupikir sendiri.

Paginya setelah dari rental komputer untuk mencetak hasil tulisanku. Langsung kuberikan pada guru bahasa Indonesia yang kala itu membawa kabar tentang lomba cerpen. Selesai. Aku tak memikirkan hasilnya. Meskipun dalam hati semoga menang dan dapat uang. Rasa percaya diriku bukan semata-mata datang. Aku semakin percaya kalau cerpenku bisa menang setelah si guru memberi tahu, cerpenku itu bagus. Sampai-sampai dia mengira, tulisanku itu hasil menyalin karya orang lain. “Kalau tak percaya, bu Dina—nama guru bahasa Indonesia—bisa tanya langsung dengan teman sekamar,” bantahku kala itu.

Sesuatu yang terlalu diinginkan jika tak tercapai, hasilnya hanya kekecewaan. Itulah yang kurasakan. Setelah hari di mana cerpenku dibilang bagus, tak ada kabar lagi. Seperti menguap begitu saja. Pergi begitu saja tanpa jejak. Seakan-akan lomba cerpen itu tak pernah ada. Kecewa. Kecewa. Kecewa tak dapat uang juara.

Sejak saat itu aku suka menulis. Meskipun tak menghasilkan tulisan, tapi minat membacaku tumbuh. Tentunya juga ada rasa bosan yang menyelinap masuk kemudian beranak pinak dan akhirnya enggan. Apalagi naik kelas 3 SMA dan harus dihadapkan dengan ujian akhir. Tak sempat membaca. Try out dan try out setiap harinya. Meskipun membaca, yang kubaca adalah buku-buku pelajaran yang tak imajinatif sama sekali. Saat itu aku kembali jauh dari menulis.


Sempat merasakan kuliah, aku kembali tertarik menulis. kadang juga mencari lomba-lomba cerpen di internet, novel, pokoknya lomba tentang tulis menulis. meskipun sering mengirim untuk lomba, satu hasilpun tak pernah kudapat. Mungkin sainganku adalah penulis-penulis hebat yang iseng ikut lomba untuk menghilangkan penatnya, pikirku. Tak hanya ikut lomba, aku masih menulis untuk menuruti keinginan saja. Sekedar menulis cerita sehari-hari. Kadang juga cerpen, kadang juga ceramah tak jelas dan berbelit-belit. Akhirnya, banyak sekali folder tulisanku di laptop. Tapi ada satu kesamaan dalam tulisanku, aku selalu mengulang kata-kata. Tak memiliki referensi kata adalah kelemahanku.

Banyak pula tulisan yang tak pernah kuselesaikan. Muncul ide brilian, buka laptop, mengetik barang setengah jam atau lebih kadang juga kurang, kemudian njeglek, buntu, dan hanya mengulang-ulang kalimat. Tak selesai, pencet tombol silang dipojok layar, save dan akhirnya tersimpan begitu saja. Hari setelahnya, berniat untuk melanjutkan tulisan yang tak selesai, sudah malas dan tak tahu jalan ceritanya. Pada akhirnya menumpuk. Apalagi di laptop ada beberapa koleksi film dewasa. Niat awalnya menulis, entah karena dorongan nafsu yang besar, ujung-ujungnya nonton film dewasa sampai berjam-jam. Mata pedih, mau menulis lagi sudah ogah. Padahal yang terketik baru judul. Tekan tombol silang dipojok, save dan akhirnya tersimpan begitu saja judulnya tanpa ada isinya.


Sejak suka dengan menulis itulah, aku jadi sering membeli buku bacaan. Entah itu novel, cerpen, bahkan buku filsafat. Entahlah, apa ada kegunaannya atau tidak. Yang penting aku beli. Untuk beberapa buku yang kuanggap menarik, biasanya akan kubaca sampai selesai. Bahkan membaca dua tiga kali lagi. Dan tak sedikit buku yang hanya separuh baca sudah malas melanjutkan. Entah aku yang malas, entah memang buku itu tak menarik bagiku.

Sampai-sampai karena menulis tadi, aku jadi ingin menjadi penulis. Membuat novel, menerbitkannya, mendapat royalty, ah jalan cerita yang diidam-idamkan banyak orang sepertinya. Bahkan kelak setelah aku menikah, aku ingin ada meja komputer di mana itu sebagai tempat meulisku, juga tempat menghilangkan penat dan memuntahkan semua perasaan ganjal setelah seharian bekerja. Keinginan yang sepertinya harus direalisasikan kelak. Dan saking sibuknya aku menulis, dari belakang istriku memelukku erat, mencium pipiku sambil berkata, “kapan bikin anaknya, kalau tiap malam menulis melulu?” []