Rabu, 02 September 2015

Kuliah

Apa yang lebih membanggakan ketimbang keberhasilan mendapatkan sebongkah kotoran hidung dengan ketekunan? Kukira hal itu adalah keberhasilan saat masuk perguruan tinggi atau bahasa katroknya kuliah.

Kukira semua orang, mungkin tahu apa itu kuliah. Tak terkecuali buruh, petani tembakau, preman pasar bertato, sampai pornstar juga tahu apa itu kuliah. Apalagi mereka para pelajar. Sampai mereka tak tahu apa itu kuliah, harus dipertanyakan statusnya sebagai pelajar.

Mengapa kuliah? Entahlah. Tiba-tiba aku terusik dengan teman-temanku yang saat ini tengah menempuh kuliahnya. Apakah aku iri pada mereka yang bisa kuliah dan 'bersenang-senang' sementara aku sudah harus bekerja? Kukira tidak. Lagi pula, aku juga pernah merasakan bagaimana getirnya perkuliahan, tingginya biaya yang harus dikeluarkan, sampai skandal anak kuliah hampir pernah kulakukan. Dari SKS sampai PKS (Partai Kampus), dosen paling tak berperi-kemahasiswaan sampai dosen berskandal, semua pernah kujumpai. Tapi mungkin juga aku iri dan semua yang kujelaskan hanyalah bentuk konkret alasan pembelaan diri.

Pagi tadi tak sengaja aku membaca update-an salah seorang teman yang kini masih dan semoga sampai selesai menempuh perkuliahannya di universitas Diponegoro Semarang. Dia, dalam update-annya, merasa bahagia karena sekarang berhasil masuk semester 5. Penuh rasa senang dengan emotion-emotion yang dipaksakan untuk mewakili perasaannya. Padahal sebenarnya, apapun emotion-nya tak akan dan tak pernah bisa untuk mewakili perasaan seseorang. Karena sejatinya perasaan adalah hal terumit setelah sempak yang tak disetrika.

Aku tak habis pikir. Manusia memang begitu mudah berubah. Saat ini, detik ini manusia mengatakan ketidak sanggupannya dengan keluh kesah yang teramat. Sedetik kemudian, mencibir kejam. Kemudian menghamba-hamba karena butuh dan perlu. Sepersekian detik lagi memuja-muja. Sungguh hebat Tuhan dalam keisenganNya menciptakan manusia. Temanku, sebut saja Tulip, barusan sangat bahagia karena perjuangan kuliahnya telah sampai semester 5. Tapi selang sedetik kemudian, dia berkeluh kesah karena tugas-tugas yang bedebah. Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Jujur aku heran.

Sejak awal, sejak kita memutuskan memilih jalan untuk kuliah, seharusnya bukan hanya biaya yang siap. Tapi harusnya diri sendiri juga siap untuk kuliah. Yang artinya apapun yang ada dan yang akan ada pada proses perkuliahan, diri seharusnya telah siap menerimanya apapun itu. Memang, dasarnya manusia brengsek, mengeluh adalah hal wajar. Hanya yang membuat keluhan itu memuakkan adalah saat keluhan itu dipamerkan. Apa untungnya keluh kesahmu kau pamerkan, toh tak sedikit orang yang bisa memendam keluh kesahnya sampai batasan sebagai manusia. Lebih baik kau pamerkan gempalnya buah dadamu. Aku akan menjadi manusia paling pertama yang ereksi. Ini sungguhan. Alangkah baiknya jika keluh kesahmu kau sampaikan dan ceritakan pada Tuhanmu. Tuhan adalah pendengar yang baik, buktinya, ketika kamu berdoa penuh harap, Dia tak pernah dan tak akan pernah iseng buat menyela doamu. Tapi sekali lagi kutegaskan! Aku, kau, kalian adalah manusia biasa yang terbiasa berkeluh kesah dengan harap-harap cemas agar ada seseorang yang datang sebagai pahlawan. Menawarkan perhatian dengan keluh kesahmu, memberikan solusi, lantas keluhan itu akhirnya menemukan jalan keluar. Hanya saja, bukan hanya dirimu yang bisa berkeluh kesah, tapi semua orang mempunyai keluh kesahnya masing-masing. Itulah sebabnya pahlawan tak akan datang hanya karena keluh kesahmu yang karatan. [] masupik