Selasa, 17 November 2015

Lapar

Pagi itu tak seperti biasanya, ya meski sejatinya semua pagi itu sama. Mentari terbit, aktivitas dimulai, penjual pecel mulai bersiap, dan semua hal yang hanya terjadi di waktu pagi lainnya. Tapi aku berani bersumpah, demi nama penjual pecel tua renta dengan bahasa inggris seadanya yang terlalu dipaksakan, pagi itu bagiku terasa berbeda.

Entah hari keberapa sejak pertama kali kakiku menginjak Pare. Malam hari sebelum pagi yang berbeda itu, bermodalkan hp pinjaman kawan. Aku diajak jalan oleh seorang perempuan. Jalan di sini berarti sebenarnya. Bukan jalan-jalan di tempat wisata, mall, atau taman hiburan. Hanya jalan menyusuri Pare berdua, lebih tepatnya jalan dari tempat les ke kos-kosan berdua. Aku dan perempuan yang mengajakku.

Materi Listening One telah selesai oleh Mr Faruq. Sesuai rencana, aku bersama perempuan itu jalan kaki ke kos-kosannya. Yang membuatku tampak bodoh waktu itu adalah kenapa aku harus mau mengantarnya melewati jalan memutar? Oke, aku tahu, tujuannya agar bisa berlama-lama jalan berdua, tapi masalahnya pagi itu aku bangun terlampau siang. Kok sholat subuh, materi Mr Faruq saja aku tak sepenuhnya ikut. Walhasil, sepanjang perjalanan yang ada diotakku adalah cepat sampai kos dan segera sarapan. Boro-boro memegang tangannya atau berhenti sebentar di tempat sepi agar bisa berbuat mesum, apa yang dia bicarakan sepanjang 30 menit saja aku tak paham.

Sesampainya di kos, aku tak diperkenankan pulang begitu saja. Aku ditahan oleh genggaman tangannya yang meremas keras celana kolorku. Sepertinya ada banyak yang akan terjadi setelah itu. Mungkin saja celana kolorku akan melorot dan terpampanglah anu-ku, atau setelah genggaman itu dan aku berbalik badan dia akan memelukku, atau apalah yang akan terjadi.

Dia menyuruhku duduk, tepat di hadapannya. Suasana sepi, hanya berdua, berhadap-hadapan, banyak kesmpatan sebenarnya untuk melakukan hal tak senonoh pagi itu. Tapi dasarnya aku yang tak berani, yang terjadi pun hanya bincang-bincang khas anak muda ketika menanggapi perasaan paling rumit no 2 setelah benang kusut yang kemudian terkenal dengan nama cinta.

Dia memintaku memberikan jawaban. Dia memberiku kebebasan. Jawaban apapun yang keluar dari bibirku, katanya, dia bisa menerimanya. Namun aku tak sebodoh itu, meski nilai Geografiku tak pernah sampai batas tuntas, aku tetap tak sebodoh itu. Hasil yang tak sesuai dengan yang direncanakan selalu menyisakan rasa nyeri. Begitu juga jawabanku, jawaban 'tidak' adalah rasa nyeri yang aku yakin seminggu walau telah diobati tak akan sembuh begitu saja. Akhirnya, aku hanya diam dan berjalan meninggalkannya.

"Kemana?"

"Sarapan!" sahutku ketus.

"Jawabannya?" sorot matanya nanar karena menguap.

Aku diam, aku tetap berjalan. Fikirannku hanya ada jawaban 'iya'.

"Baru jam 10, warung pecel depan kos-kosanmu tak pernah tutup bukan?" sorot matanya masih nanar, tapi ini berbeda, mungkin bukan karena menguap, tapi kena debu.

"Warung pecel tak perlu menungguku sarapan jika ingin tutup", jawabku dan tetap berjalan. Tepat sepuluh langkah darinya, aku mengangguk dan keluar dari gerbang kos.

Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi. Aku berjalan kembali ke kos. Lapar tetaplah lapar, tak bisa kenyang hanya oleh ciuman atau kata-kata romantis. Juga tak akan kenyang hanya dengan hp yang tiap hari berdering dan setelah diangkat ada suara manis yang selalu menanyakan kabar, perihal makan, atau sekedar mengucap rindu. Sarapan nasi pecel dan telur dadar cukuplah untuk membuatnya kenyang. [] mas