Selasa, 17 November 2015

Lapar

Pagi itu tak seperti biasanya, ya meski sejatinya semua pagi itu sama. Mentari terbit, aktivitas dimulai, penjual pecel mulai bersiap, dan semua hal yang hanya terjadi di waktu pagi lainnya. Tapi aku berani bersumpah, demi nama penjual pecel tua renta dengan bahasa inggris seadanya yang terlalu dipaksakan, pagi itu bagiku terasa berbeda.

Entah hari keberapa sejak pertama kali kakiku menginjak Pare. Malam hari sebelum pagi yang berbeda itu, bermodalkan hp pinjaman kawan. Aku diajak jalan oleh seorang perempuan. Jalan di sini berarti sebenarnya. Bukan jalan-jalan di tempat wisata, mall, atau taman hiburan. Hanya jalan menyusuri Pare berdua, lebih tepatnya jalan dari tempat les ke kos-kosan berdua. Aku dan perempuan yang mengajakku.

Materi Listening One telah selesai oleh Mr Faruq. Sesuai rencana, aku bersama perempuan itu jalan kaki ke kos-kosannya. Yang membuatku tampak bodoh waktu itu adalah kenapa aku harus mau mengantarnya melewati jalan memutar? Oke, aku tahu, tujuannya agar bisa berlama-lama jalan berdua, tapi masalahnya pagi itu aku bangun terlampau siang. Kok sholat subuh, materi Mr Faruq saja aku tak sepenuhnya ikut. Walhasil, sepanjang perjalanan yang ada diotakku adalah cepat sampai kos dan segera sarapan. Boro-boro memegang tangannya atau berhenti sebentar di tempat sepi agar bisa berbuat mesum, apa yang dia bicarakan sepanjang 30 menit saja aku tak paham.

Sesampainya di kos, aku tak diperkenankan pulang begitu saja. Aku ditahan oleh genggaman tangannya yang meremas keras celana kolorku. Sepertinya ada banyak yang akan terjadi setelah itu. Mungkin saja celana kolorku akan melorot dan terpampanglah anu-ku, atau setelah genggaman itu dan aku berbalik badan dia akan memelukku, atau apalah yang akan terjadi.

Dia menyuruhku duduk, tepat di hadapannya. Suasana sepi, hanya berdua, berhadap-hadapan, banyak kesmpatan sebenarnya untuk melakukan hal tak senonoh pagi itu. Tapi dasarnya aku yang tak berani, yang terjadi pun hanya bincang-bincang khas anak muda ketika menanggapi perasaan paling rumit no 2 setelah benang kusut yang kemudian terkenal dengan nama cinta.

Dia memintaku memberikan jawaban. Dia memberiku kebebasan. Jawaban apapun yang keluar dari bibirku, katanya, dia bisa menerimanya. Namun aku tak sebodoh itu, meski nilai Geografiku tak pernah sampai batas tuntas, aku tetap tak sebodoh itu. Hasil yang tak sesuai dengan yang direncanakan selalu menyisakan rasa nyeri. Begitu juga jawabanku, jawaban 'tidak' adalah rasa nyeri yang aku yakin seminggu walau telah diobati tak akan sembuh begitu saja. Akhirnya, aku hanya diam dan berjalan meninggalkannya.

"Kemana?"

"Sarapan!" sahutku ketus.

"Jawabannya?" sorot matanya nanar karena menguap.

Aku diam, aku tetap berjalan. Fikirannku hanya ada jawaban 'iya'.

"Baru jam 10, warung pecel depan kos-kosanmu tak pernah tutup bukan?" sorot matanya masih nanar, tapi ini berbeda, mungkin bukan karena menguap, tapi kena debu.

"Warung pecel tak perlu menungguku sarapan jika ingin tutup", jawabku dan tetap berjalan. Tepat sepuluh langkah darinya, aku mengangguk dan keluar dari gerbang kos.

Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi. Aku berjalan kembali ke kos. Lapar tetaplah lapar, tak bisa kenyang hanya oleh ciuman atau kata-kata romantis. Juga tak akan kenyang hanya dengan hp yang tiap hari berdering dan setelah diangkat ada suara manis yang selalu menanyakan kabar, perihal makan, atau sekedar mengucap rindu. Sarapan nasi pecel dan telur dadar cukuplah untuk membuatnya kenyang. [] mas

Rabu, 02 September 2015

Kuliah

Apa yang lebih membanggakan ketimbang keberhasilan mendapatkan sebongkah kotoran hidung dengan ketekunan? Kukira hal itu adalah keberhasilan saat masuk perguruan tinggi atau bahasa katroknya kuliah.

Kukira semua orang, mungkin tahu apa itu kuliah. Tak terkecuali buruh, petani tembakau, preman pasar bertato, sampai pornstar juga tahu apa itu kuliah. Apalagi mereka para pelajar. Sampai mereka tak tahu apa itu kuliah, harus dipertanyakan statusnya sebagai pelajar.

Mengapa kuliah? Entahlah. Tiba-tiba aku terusik dengan teman-temanku yang saat ini tengah menempuh kuliahnya. Apakah aku iri pada mereka yang bisa kuliah dan 'bersenang-senang' sementara aku sudah harus bekerja? Kukira tidak. Lagi pula, aku juga pernah merasakan bagaimana getirnya perkuliahan, tingginya biaya yang harus dikeluarkan, sampai skandal anak kuliah hampir pernah kulakukan. Dari SKS sampai PKS (Partai Kampus), dosen paling tak berperi-kemahasiswaan sampai dosen berskandal, semua pernah kujumpai. Tapi mungkin juga aku iri dan semua yang kujelaskan hanyalah bentuk konkret alasan pembelaan diri.

Pagi tadi tak sengaja aku membaca update-an salah seorang teman yang kini masih dan semoga sampai selesai menempuh perkuliahannya di universitas Diponegoro Semarang. Dia, dalam update-annya, merasa bahagia karena sekarang berhasil masuk semester 5. Penuh rasa senang dengan emotion-emotion yang dipaksakan untuk mewakili perasaannya. Padahal sebenarnya, apapun emotion-nya tak akan dan tak pernah bisa untuk mewakili perasaan seseorang. Karena sejatinya perasaan adalah hal terumit setelah sempak yang tak disetrika.

Aku tak habis pikir. Manusia memang begitu mudah berubah. Saat ini, detik ini manusia mengatakan ketidak sanggupannya dengan keluh kesah yang teramat. Sedetik kemudian, mencibir kejam. Kemudian menghamba-hamba karena butuh dan perlu. Sepersekian detik lagi memuja-muja. Sungguh hebat Tuhan dalam keisenganNya menciptakan manusia. Temanku, sebut saja Tulip, barusan sangat bahagia karena perjuangan kuliahnya telah sampai semester 5. Tapi selang sedetik kemudian, dia berkeluh kesah karena tugas-tugas yang bedebah. Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Jujur aku heran.

Sejak awal, sejak kita memutuskan memilih jalan untuk kuliah, seharusnya bukan hanya biaya yang siap. Tapi harusnya diri sendiri juga siap untuk kuliah. Yang artinya apapun yang ada dan yang akan ada pada proses perkuliahan, diri seharusnya telah siap menerimanya apapun itu. Memang, dasarnya manusia brengsek, mengeluh adalah hal wajar. Hanya yang membuat keluhan itu memuakkan adalah saat keluhan itu dipamerkan. Apa untungnya keluh kesahmu kau pamerkan, toh tak sedikit orang yang bisa memendam keluh kesahnya sampai batasan sebagai manusia. Lebih baik kau pamerkan gempalnya buah dadamu. Aku akan menjadi manusia paling pertama yang ereksi. Ini sungguhan. Alangkah baiknya jika keluh kesahmu kau sampaikan dan ceritakan pada Tuhanmu. Tuhan adalah pendengar yang baik, buktinya, ketika kamu berdoa penuh harap, Dia tak pernah dan tak akan pernah iseng buat menyela doamu. Tapi sekali lagi kutegaskan! Aku, kau, kalian adalah manusia biasa yang terbiasa berkeluh kesah dengan harap-harap cemas agar ada seseorang yang datang sebagai pahlawan. Menawarkan perhatian dengan keluh kesahmu, memberikan solusi, lantas keluhan itu akhirnya menemukan jalan keluar. Hanya saja, bukan hanya dirimu yang bisa berkeluh kesah, tapi semua orang mempunyai keluh kesahnya masing-masing. Itulah sebabnya pahlawan tak akan datang hanya karena keluh kesahmu yang karatan. [] masupik

Senin, 24 Agustus 2015

Menikah dan Hal-hal yang Tak Selesai

Sebermula dari keisengan yang acap kali kulakukan : mencoba menyapa salah seorang dari beberapa mantan. Soal berapa jumlah dari beberapa itu privasi, jelasnya, ada lebih dari 1 dan kurang dari jumlah jari kaki (oke, abaikan!). Sebenarnya tak ada niatan bernostalgia dengan kenangan selama bersama, hanya sekedar menyapa kabar yang telah lama tak terdengar. "Hallo2", tulisku lewat pesan singkat. Aku juga tak tahu, apakah nomor itu masih ia gunakan atau setelah banyak peristiwa dan tangisan, nomor itu lantas dibuang. Dan beruntungnya aku, tak perlu menunggu lama balasan datang, "hai". Riang gembira hatiku.

3 huruf sakral itu tak boleh kuabaikan begitu saja. Selanjutnya adalah sebuah taruhan.

Sejujurnya ada sedikit rasa canggung yang keluar ketika menyapa mantan. Bukan apa-apa, hanya sedikit takut untuk memulai sebuah keakraban. Namun aku mencoba yakin, niat baik untuk menjaga persahabatan harusnya tak secanggung ini, "Apa kabar?" Ya benar sekali, "apa kabar?" masih menjadi obat mujarab untuk memulai sebuah percakapan yang telah lama tak terjalin ditelan tengiknya rasa canggung.

"Alhamdulillah baik", balasnya tak berubah, masih seperti pertama kali aku menyapanya dulu. Tetap harus islami sebagai tanda dirinya adalah jebolan pesantren dan tetap cuek sekenanya, membuatku harus berfikir, model percakapan apa lagi yang harus kukirimkan. Perasaan seperti ini, sama seperti pertama kali saat aku mencoba dekat dengannya. Dulu, saat kenangan belum terjalin dan peluh belum terajut kecut.

Sebenarnya, selain memang keisenganku, aku juga ingin menanyakan perihal kebenaran kalau ia akan segera menikah. Bukan denganku, tetapi dengan seseorang.

"Jangan lupa undangannya, tak tunggu!" balasku memulai tujuan licikku. Pesan telah terkirim. Aku diam menunggu balasan. Sembari berfikir, apakah aku menyesal telah menyudahi hubungan kita dulu? Dalam lamunan kotorku, secara teori, jika kita tak putus maka akulah nama pria yang sekarang ada diundangan yang telah disebar jauh-jauh sebelum harinya. Itu secara teori yang bisa di-logika-kan fikiran manusia. Nyatanya, namaku masih kepalang brengsek untuk masuk daftar calon mempelai pria.

"Hehehe. Doanya aja!" pesannya tak ada 140 karakter. Aku dihadapkan 2 pilihan sulit saat itu. Antara meneruskan percakapan atau membalas pesan singkatnya dengan kata-kata kotor. Beruntungnya ia, aku teringat niat baikku di awal.

Kabar burung itu benar, bukan rekaan teman, bukan pula gosip ibu-ibu rumahan. Ia gadis desa dan sebentar lagi akan menikah. Sebuah adat atau mungkin sebenarnya paksaan bisa juga pola pikir udik orang desa. Jika mereka memiliki anak perempuan, sudah mulai dewasa atau tepatnya sudah terlihat buah dadanya, maka lebih baik menikah. Pemikiran tersebut hampir tak akan pernah hilang selama tak ada sebuah pola pikir bebal dari si perempuan. Selamanya akan terus seperti itu. Aku merasa kasihan dengan Kartini. Pemikirannya masih belum bisa diterima sepenuhnya. Hanya menuntut hak saja yang setiap tahunnya dirayakan sebagai kesuksesan Kartini dalam menaklukkan pria. Tragis.

Tak ada yang salah dengan pernikahan dini. Bahkan bisa dikata, itu benar. Apalagi melihat kenyataan sekarang, banyak hubungan suami istri dipraktekkan oleh mereka yang niat pertamanya pacaran. Hanya bermodalkan rayuan busuk, si perempuan mulai terlena mabuk kepayang oleh gombal-gombal lecek, sampai di kemudian hari mereka menangisi jabang bayi yang tiba-tiba bertengger di rahimnya. Dengan mudahnya perempuan menikmati geliat di ranjang, lantas merenungi kebodohan penuh peluh penyesalan. Asu! Oh, maaf keceplosan.

Maraknya kasus hamil duluan, sudah 3 bulan, gara-gara pacaran ngencuk-ngencukan. Nahlo, malah nyanyi, fokus! Banyaknya kejadian itu, kini bukan hanya orang desa, pola pikir menikahkan anak perempuan dini-dini mulai menjangkiti hampir semua orang tua seantero ... (masih mikir). Intinya adalah menikah secara hukum, baru bikin anak. Itulah mengapa sekarang iklan salah satu minyak kayu putih, "buat anak kok coba-coba" telah dihilangkan. Karena telah menghadirkan salah tafsir.

Terlepas dari kisah mantan yang sebentar lagi akan menikah dan sukses besarnya mempengaruhi otakku untuk berfikir jorok. Memikirkan gaya apa yang akan ia pakai sewaktu telanjang bulat dalam balutan nafsu. Di sini kita masih bangga, heran, dan menikmati persoalan nikah muda. Tapi lupa, di luaran sana masih banyak saudara kita memperjuangkan nasib, hak, serta keberadaannya. Sebut saja kasus baru-baru ini, tentang pernikahan sejenis yang masih tak diakui keberadaannya, baik secara hukum dan sosial. Tentang orang yang menikah lantas seketika itu juga menceraikan istrinya karena si istri tak seperti apa yang ada di foto. Juga tentang orang yang telah hampir 10 tahun menikah, baru sadar bahwa istrinya adalah laki-laki. Dan masih berjubel permasalahan lainnya. Sebut saja, buku nikah yang kata-katanya kehabisan stock, menikah tak boleh hari libur padahal orang Jawa (khususnya) pasti mengambil hari libur untuk melangsungkan pernikahan. Lantas, apakah menikah itu?

Menikah? Di fikiranku hanya ada hubungan badan, beradu alat kelamin, french kiss, doggy style, ah kebanyakan nonton bokep loe!

Menikah, jika hanya berupa hubungan badan, maka manusia tak ada bedanya dengan babi, anjing, kera di kolam renang Bektiharjo Tuban yang secara kebetulan aku melihatnya berhubungan badan dihadapanku dan para pengunjung. Mereka (binatang) bisa melakukan hubungan badan. Mereka tak perlu belajar lagi cara memasukkan alat kelamin jantan ke alat kelamin betina. Jika meminjam perkataan para sufi yang bijak, menikah adalah pertemuan dzat Tuhan dengan sifat Tuhan. Dzat Tuhan yang diwakili oleh lelaki dengan keperkasaannya, dan sifat Tuhan perempuanlah yang memiliki, karena kasih sayang dan kelembutannya. Menurutku pribadi, yang tak bisa dijadikan patokan ilmiah, menikah adalah pertemuan 2 ego; akal; hati, yang kita dianjurkan untuk saling melebur menjadi satu, nyawiji (jawa), manunggal. Itu gumamku soal apa itu menikah.

Memang tak tepat jika pertanyaan 'apa itu menikah?' dilimpahan padaku yang masih menghisap ingus sendiri ini.  Pertanyaan itupun akan semakin mengakar : kapan nikah? Dengan siapa? Lantas beranak pinak, kapan punya anak?

Oke aku akan menjawab. Kapan nikah? Aku sendiri tak tahu kapan. Persisnya kapan waktu, tanggal, bulan, dan tahunnya aku belum tahu. Bisa jadi nanti, besok, lusa, lusanya besok, atau mungkin masih banyak besok yang harus kulewati sebelum hari pernikahanku. "Ah, itu jawaban kebanyakan orang, aku bosan mendengar jawaban seperti itu!" Em, anu, ani, budi.... Begini-begini, perkara kapan nikah, kapan saja aku siap. Hanya ada beberapa persyaratan atau lebih tepatnya komitmen yang harus diterima dan diimani oleh orang tuaku, bakal mertua, serta semua keluarga yang bersangkut paut dengan orang tuaku serta bakal mertuaku. "Apa itu?" Mudah saja, aku tak ingin ada penyesalan di belakang hari. "Maksudnya?" Asu! Takok terus!! Maksudnya aku tak ingin ada sebuah penyesalan dari pihak keluargaku, bakal mertuaku, dan mereka-mereka yang jadi keluargaku dan bakal keluargaku. Aku tak ingin ada gerutu penyesalan, bisik-bisik penyesalan.

Misal saja keluargaku, karena aku telah menikahi (sebut saja si A) padahal sebenarnya keluargaku telah memiliki calon si B. Melihat keluarga yang aku bina penuh dengan persoalan, lantas dari keluargaku keluar gerutu, "coba dulu nikah dengan si B, pasti gak bakal terjadi seperti ini!" begitu sebaliknya. Aku tak ingin mendengar kalimat penyesalan seperti itu dan padanannya. Karena bagiku, penyesalan seperti itu tak akan merubah apapun. Menyesal, kata temanku, hanyalah milik orang bodoh dan tak berakal. Penyesalan hanya akan menimbulkan cacat hati dan fikiran. Permasalahan yang menimbulkan penyesalan tak akan menuai jalan keluar. Hanya menambah beban masalah.

Penyesalan sejatinya adalah bentuk ketidak-mampuan dan mapanan seseorang dalam menghadapi rumitnya permasalahan yang selanjutnya mencari-cari objek untuk dikambing hitamkan. Kita memiliki akal yang mumpuni, diberikan oh maksudku dipinjamkan secara gratis. Dengan akal tersebut seharusnya kita bisa berfikir dan memikirkan segala sesuatunya. Bukan serta merta lepas tangan dengan menyalahkan keadaan, nasib, lebih ekstrem lagi menyalahkan Tuhan sebagai entitas yang tak berperasaan. Padahal tak sedikit manusia yang bersimpuh, berterima kasih pada Tuhannya karena berkah atas sebuah masalah yang ia terima.

Menikah adalah salah satu dari banyak tujuan hidup paling purna yang ingin diwujudkan manusia. Lahir, sekolah, kuliah, bekerja, menikah, beranak, dan mati. Padahal mati itu perkara mudah. Bisa saja saat ini kau menceburkan diri di lautan jus alpukat atau mungkin menghunus leher dengan kenangan mantan. Oops! Menikah adalah sebuah ritus. Dia bukan sebuah peristiwa wajar yang setiap hari terjadi, dihadiri, dan selesai begitu saja. Menikah bukan seperti berak. Saat kebutuhan untuk berak telah usai, kau bisa makan sekenyang yang kau mau, lalu terasa melilit kemudian kau berak lagi. Begitu seterusnya sampai kau mati karena berak. *end

Menikahlah! Kapan lagi kau akan menikah jika tidak sekarang? [] masupik

Jumat, 24 April 2015

Mengingat Lasem Dalam Kenangan



Lasem, Apa kata yang tepat untuk mengingat suatu kejadian?

Berbicara tentang Lasem berarti aku harus masuk ke dalam nostalgia panjang. Meminjam kata-kata Arman Dhani, “…Nostaligia selalu menawarkan kisah-kisah manis hidup yang telah usai”. Dan sepertinya itu memang benar. Meskipun dalam beberapa kisah yang telah usai, juga banyak kejadian brengsek yang harus dialami.

Harus kuakui, Lasem kota kuno di pantai utara Jawa adalah salah satu kota telah membesarkanku, meski hanya dalam kurun waktu tertentu. Banyak dari sikap bijak kutemukan di Lasem. Banyak pula orang beradab dan rupawan kutemukan di Lasem. Begitu pula sebaliknya, banyak bajingan tengik juga telah mengajarkanku sewaktu di Lasem. Bak dua kutub baterai. Itulah Lasem, oh maksudku itulah hidup.
Lasem yang telah membesarkanku. Tak ubahnya orang tua yang membesarkan kita dengan segala kasih sayang, teguran, serta sedikit bumbu kemarahan. Begitu juga Lasem, dia telah menjagaku dengan kasih sayang seutuhnya. Memberikanku satu tempat berteduh, tempat menimba ilmu, tempat bersenda gurau, tempat mengais upah, sampai tempat paling tersembunyi untuk asyik menonton bokep. Lasem juga dengan rela tanpa pandang bulu akan menegurku ketika aku membuat suatu kesalahan atau, bertindak tak sesuai norma. Kemarahan terbesar yang pernah kuterima dari Lasem adalah sebuah tindakan yang tidak bisa ditoleransi. Sebuah tindakan mengikuti kesenangan tanpa memperdulikan keselamatan. Semua diberikan Lasem padaku.

Lasem. banyak cerita jika aku membicarakannya. Saking banyaknya sampai aku sendiri tak tahu apa yang harus aku ceritakan. Pun kalau aku menceritakan mengenai budaya, sudah banyak para penulis-penulis hebat yang telah merangkumnya. Jika berbicara tentang keindahan, juga sudah berjubel cerita. Mengenai konflik, ah, itu bukan wilayahku untuk menceritakannya. Lantas apa? Apa sebenarnya yang akan aku ceritakan mengenai Lasem? Jika mengambil 1 kata yang terlintas ketika aku mengucapkan Lasem atau mendengar seseorang mengatakan Lasem. Kata itu adalah pondok pesantren. Tapi jika aku membicarakan pondok pesantren meskipun memang aku adalah jebolan pesantren (yang gagal), aku takut jika ada pihak-pihak tertentu merasa terhina atau merasa derajatnya menurun. Duh bahaya. Kemudian jika kuambil kata kedua yang sempat terlintas, yang muncul adalah perempuan. Ah, mungkin baik. Tapi untuk saat ini bukan waktunya membicarakan perempuan. Apalagi ada embel-embelnya mantan. Akhirnya, kupaksakan untuk mengambil kata ketiga yang terlintas, pekerjaan. Mungkin terlihat sangat membosankan. Hanya membicarakan pekerjaan yang selalu monoton dengan jadwal yang sudah terpatri di otak untuk setiap harinya dikerjakan.

Aku bersyukur, selepas SMA bisa langsung bekerja. Tak main-main pekerjaan yang kudapatkan saat itu. Menjadi salah satu tenaga kependidikan di  lembaga formal. Meskipun bukan tenaga pengajar dengan masa depan sudah tertuliskan. Bayangkan saja, hanya bermodalkan ijazah SMA, aku bisa masuk dalam lingkup lembaga pendidikan. Mungkin tak begitu mengherankan. Lagi pula, banyak pelamar dengan ijazah SMA sederajat mencoba menjadi salah satu staf karyawan. Dan sudah banyak yang pada kenyataannya bisa masuk di dalamnya. Meski, hanya sebagai tukang kebun, penjaga sekolah, atau pekerjaan remeh temeh lainnya yang sekiranya hanya mengeluarkan sedikit biaya beban gaji karyawan. Apa yang bisa dibanggakan?

Bekerja setiap harinya, berangkat pagi, duduk di kursi kayu keras, mengoperasikan komputer, bertemu dengan anak-anak yang masih sering menikmati ingus, sedikit bumbu konflik, dan pulang dengan kondisi lelah. Setiap harinya hanya seperti itu. Membosankan memang, tapi bukankah manusia rela melakukan apapun demi secarik nominal? Aku hanya beruntung saja waktu itu. Dari pihak yayasan—dengan pendekatan kemanusiaan—memungutku untuk membantu di sekolah yang baru saja didirikan. Coba kalau aku tak dipungut, mungkin kabar tentang namaku akan muncul di koran lokal sebagai headline utama. Bukan sebagai seorang yang memberikan jasa baik, tapi karena tertangkap pihak berwajib sebagai tersangka kasus perampokan dan pemerkosaan.

Mungkin terlihat keren, penuh dengan kegiatan setiap harinya. Iya benar, memang penuh dengan kegiatan. Namun banyaknya kegiatan itu tak berbanding lurus dengan pendapatan yang aku dapatkan.
Banyak yang bilang, pengalaman itu lebih berharga ketimbang lembaran uang 50 ribuan. Faktanya, uang 50 ribu sangan sulit didapatkan jika hanya bermodal pengalaman. Ada yang setuju, ada yang tidak. Itu sudah biasa. Kemudian ada yang bilang seperti ini, “lakukan saja pekerjaanmu, itung-itung cari pengalaman!” Kalau kalian mendengar ada seseorang mengatakan demikian, ajak orang itu, kemudian pekerjakan dia, tapi tak usah digaji. Kita lihat, apa dia masih bilang mencari pengalaman atau malah sering kali menggerutu kesal.

Sungguh naïf jika banyak orang berkata demikian. Faktanya, kita bekerja mencari uang, baru setelah mendapatkan uang kita dapat pengalaman dari pekerjaan. Bukan sebaliknya. Dan aku sangat kasihan jika alasan seseorang bekerja hanya mencari pengalaman. Poor you, man!

Membicarakan fakta yang ada memang menyakitkan dan memalukan. Apalagi jika seseorang telah memposisikan kita berada pada kelas masyarakat ke atas. Tapi fakta tetaplah fakta. Dia tak akan berubah meskipun banyak orang membicarakannya.

Bekerja setiap harinya tak membuatku merasa banyak uang. Bahkan sering kali aku harus terseok-seok dengan kondisi keuanganku. Setiap awal bulan aku menjadi orang kaya seutuhnya. Namun selepas sepuluh hari pertama, aku ambruk jatuh miskin. Tak perlu menunggu di tanggal tua atau akhir bulan. Timbul pertanyaan, memang seberapa besar gaji yang kuterima? Pertanyaan yang membuatku harus menarik nafas panjang berulang kali. Serta harus berfikir empat kali lebih banyak sekedar untuk menjawab pertanyaan itu agar beberapa pihak terkait tak merasa sebagai bajingan dan agar aku sendiri tak merasa bodoh. Bodoh tetap bertahan bekerja di sana.

Aku memang hanya sekedar lulusan SMA tak lebih. Tak memiliki ketrampilan yang bisa menaikan derajat keuanganku. Aku sadar sesadar-sadarnya dengan gaji bulanan yang aku terima. Maaf, untuk ukuran nominal aku tak bisa menyebutkan berapa. Yang jelas, gaji setiap bulanku tak lebih banyak dari pada kuli bangunan yang bekerja selama seminggu. Mungkin hanya itu analogi yang bisa kuberikan sebagai jawaban pertanyaan itu. Dan naasnya aku harus berbohong dengan orang yang secara langsung dan terang-terangan menanyakan jumlah nominal gaji yang kuterima. Aku minta maaf jika aku berbohong pada kalian. Dan itu berjalan lebih dari 1 tahun.


Terlepas dari gaji yang bisa kuterima setiap bulannya. Aku bukan makhluk hidup tanpa cacat sosial. Salah besar jika kalian menilaiku sebagai masyarakat dengan jalan hidup lurus, sederhana, taat aturan, lebih-lebih kalian menyebutku sebagai orang baik. Aku berani menyimpulkan, dosa-dosaku melebihi apa yang bisa kalian pikirkan dalam benak.

Pagi hari kalian hanya akan melihatku mengenakan baju batik, celana hitam, sepatu hitam dengan polesan air bukan semir sepatu. Berjalan menunduk bak orang penuh kebijakan, kental sopan santun, murah menabur senyum. Sesampainya di tempat, membersihkan yang kotor, menata yang tak rapi, menyiapkan keperluan yang nanti dibutuhkan. Kalau kalian melihatku hanya sebatas matahari bersinar, kalian akan menemukan kebaikan yang mungkin jarang dimiliki oleh pemuda lainnya. Tapi kumohon, bukalah mata kalian. Jika mata kalian buram, pakailah kacamata. Aku tak sebaik itu. Itu semua adalah kejaiman yang kuatur sedemikian rupa.

Aku adalah kepingan uang receh 500 perak. Memiliki 2 sisi berbeda dan tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Tak hanya aku, setiap orang juga ibarat kepingan uang receh. Aku hanya berusaha menjadi apa yang kalian minta agar pantas menjadi tenaga kependidikan, sesuai apa yang diasumsikan. Sebuah stereotype udik yang telah diimani kebanyakan orang. Bahwa menjadi sebuah tenaga pengajar haruslah sempurna. Sempurna dalam semua hal: sikap, penampilan, keuangan, tutur bicara, cara berjalan, bahkan cara kita untuk mengeluarkan tai pun harus sempurna seanggun yang bisa dilakukan manusia. Dungunya aku, semua itu aku lakukan.

Aku menceritakan ini semua bukan karena aku rendah hati. Yang kemudian orang akan berfikir bahwa aku adalah orang yang tak mau mengungkit kebaikan. Atau mengira, aku orang baik yang benar-benar baik sampai-sampai tak mau dikatakan sebagai orang baik. Brengsek benar aku!

Semua itu benar adanya. Semua yang kukatakan adalah hal yang kalian tak melihatnya. Apa yang kuceritakan adalah sisi lain dari kepingan uang receh 500 perak yang tak tersentuh mata. Penilaian selanjutnya kuserahkan pada kalian, aku juga termasuk homo sapiens yang hidup. Sama seperti kalian. Aku juga butuh kesenangan. Butuh setidaknya bertingkah konyol bukan terus menerus harus tampak berwibawa. Aku juga pekerja biasa, mengeluh jika merasa penat. Akrab dengan kata-kata kotor yang sering diucapkan para bajingan.

Pernahkah kalian menonton film “Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief”? Film tersebut bercerita tentang demigod (sebutan anak dari dewa yang lahir dari rahim manusia) bernama Percy Jackson. Percy adalah anak dari Dewa Samudra, Poseidon atau adik dari Dewa Zeus (dalam mitologi Yunani). Percy sendiri tak pernah tahu siapa ayahnya dan siapa dirinya. Dia sejak lahir harus ditinggal oleh Poseidon. Sebenarnya Poseidon tak mau, tapi karena dia telah terlena dengan kehidupan manusia, dia jadi lalai akan tugasnya.

Satu pelajaran apik yang bisa kita ambil pelajaran. Bahwa seorang Dewa pun bisa melakukan sebuah kesalahan. Meskipun sebenarnya itu hanya sebuah penggambaran naskah narasi film. Dan yang ingin kutekankan adalah setiap manusia, asal dia masih menyandang derajat sebagai manusia, kesalahan pasti pernah dilakukan dalam hidupnya. Jangan bawa nama Muhammad, itu lain cerita.

Lasem tetaplah Lasem. Seberapa jauh aku meninggalkannya, dia akan tetap menjadi sebuah cerita. Sebuah nostalgia panjang nan primitif. Tapi itulah yang terjadi. Selama ingatan masih ada, Lasem akan tetap menjadi sebuah kenangan. [] masupik

Kamis, 16 April 2015

Rokok, Bagaimana?



Aku tak yakin tulisan ini akan berakhir dengan paragraf akhir dan tersimpan rapih sebagai file dokumen yang lengkap.


Rokok, jika kau tak ada, aku tak tahu apakah aku bisa menyelesaikan sehari dengan membuka mata.
Bagaimana aku bisa menjalani hari-hari yang menyebalkan, penuh ego, dan penyesalan? Entahlah, aku tak tahu jawaban dari pernyataan yang kubuat sendiri.

Bagaimana aku bisa berfikir jernih dan memenangkan otak dari pada ego? Tak tahu, mungkin seharusnya aku tak usah berfikir jernih.

Bagaimana aku bisa terbangun dari mimpi buruk? Seharusnya kulanjutkan saja mimpiku. Walaupun kebanyakan orang menolak bertemu denganmu.

Bagaimana aku bisa tertawa meski kupaksa? Aku hampir lupa apa yang sebanrnya membuat diriku bisa tertawa. Lulucon murahan kah, atau tingkah acak seekor kucing? Setelah kuingat, ternyata yang membuatku tertawa lepas selama ini adalah sebuah paksaan untuk terlihat bahagia.

Bagaimana aku bisa menjalankan kewajiban? Selama ini aku tak tahu, apakah agama yang kubawa adalah agama terakhir yang akan kuyakini? Sementara selama ini, semuanya hanya kujalani karena rutinitas bukan kebutuhan.

Bagaimana aku bisa bersuci? Terlebih lagi, hampir kebanyakan orang bersuci karena ada keperluan setelahnya. Diriku? Aku sampai saat ini, masih berfikir, apa yang akan kulakukan setelahnya? Tidur misalnya. Perlukah bersuci?

Bagaimana aku bisa berjalan keluar? Aku malu. Tak jauh dari orang gila. Tanpa pikiran, tanpa apa yang direncanakan, tanpa bersuci, dan terakhir tanpa agama. Sama bukan? Apa bedanya sekarang? Ceritakan! Katakan!

Tak kurang, tak salah, mungkin seperti itulah hidupku tanpa rokok.

Sekarang, di dalam lemari, ada 4 bungkus rokok yang semuanya telah terbuka. Tinggal menunggu waktunya saja, semua rokok itu akan habis hanya olehku beberapa hari ke depan. Tak perlu seminggu. Jika seminggu, pastinya akan ada lebih dari 4 bungkus.

Begitulah! [] masupik