Lasem, Apa kata yang tepat untuk mengingat suatu
kejadian?
Berbicara tentang Lasem berarti aku
harus masuk ke dalam nostalgia panjang. Meminjam kata-kata Arman Dhani, “…Nostaligia selalu menawarkan
kisah-kisah manis hidup yang telah usai”. Dan sepertinya itu memang benar. Meskipun dalam beberapa
kisah yang telah usai, juga banyak kejadian brengsek yang harus dialami.
Harus kuakui, Lasem kota kuno di pantai utara Jawa adalah
salah satu kota telah membesarkanku, meski hanya dalam kurun waktu tertentu.
Banyak dari sikap bijak kutemukan di Lasem. Banyak pula orang beradab dan
rupawan kutemukan di Lasem. Begitu pula sebaliknya, banyak bajingan tengik juga
telah mengajarkanku sewaktu di Lasem. Bak dua kutub baterai. Itulah Lasem, oh
maksudku itulah hidup.
Lasem yang telah membesarkanku.
Tak ubahnya orang tua yang membesarkan kita dengan segala kasih sayang,
teguran, serta sedikit bumbu kemarahan. Begitu juga Lasem, dia telah menjagaku
dengan kasih sayang seutuhnya. Memberikanku satu tempat berteduh, tempat
menimba ilmu, tempat bersenda gurau, tempat mengais upah, sampai tempat paling
tersembunyi untuk asyik menonton bokep. Lasem juga dengan rela tanpa
pandang bulu akan menegurku ketika aku membuat suatu kesalahan atau, bertindak
tak sesuai norma. Kemarahan terbesar yang pernah kuterima dari Lasem adalah
sebuah tindakan yang tidak bisa ditoleransi. Sebuah tindakan mengikuti
kesenangan tanpa memperdulikan keselamatan. Semua diberikan Lasem padaku.
Lasem. banyak cerita jika aku
membicarakannya. Saking banyaknya sampai aku sendiri tak tahu apa yang harus
aku ceritakan. Pun kalau aku menceritakan mengenai budaya, sudah banyak para
penulis-penulis hebat yang telah merangkumnya. Jika berbicara tentang
keindahan, juga sudah berjubel cerita. Mengenai konflik, ah, itu bukan
wilayahku untuk menceritakannya. Lantas apa? Apa sebenarnya yang akan aku
ceritakan mengenai Lasem? Jika mengambil 1 kata yang terlintas ketika aku
mengucapkan Lasem atau mendengar seseorang mengatakan Lasem. Kata itu adalah
pondok pesantren. Tapi jika aku membicarakan pondok pesantren meskipun memang
aku adalah jebolan pesantren (yang gagal), aku takut jika ada pihak-pihak
tertentu merasa terhina atau merasa derajatnya menurun. Duh bahaya. Kemudian
jika kuambil kata kedua yang sempat terlintas, yang muncul adalah perempuan.
Ah, mungkin baik. Tapi untuk saat ini bukan waktunya membicarakan perempuan.
Apalagi ada embel-embelnya mantan. Akhirnya, kupaksakan untuk mengambil kata
ketiga yang terlintas, pekerjaan. Mungkin terlihat sangat membosankan. Hanya membicarakan
pekerjaan yang selalu monoton dengan jadwal yang sudah terpatri di otak untuk
setiap harinya dikerjakan.
Aku bersyukur, selepas SMA bisa langsung
bekerja. Tak main-main pekerjaan yang kudapatkan saat itu. Menjadi salah satu
tenaga kependidikan di lembaga formal.
Meskipun bukan tenaga pengajar dengan masa depan sudah tertuliskan. Bayangkan
saja, hanya bermodalkan ijazah SMA, aku bisa masuk dalam lingkup lembaga
pendidikan. Mungkin tak begitu mengherankan. Lagi pula, banyak pelamar dengan
ijazah SMA sederajat mencoba menjadi salah satu staf karyawan. Dan sudah banyak
yang pada kenyataannya bisa masuk di dalamnya. Meski, hanya sebagai tukang
kebun, penjaga sekolah, atau pekerjaan remeh temeh lainnya yang sekiranya hanya
mengeluarkan sedikit biaya beban gaji karyawan. Apa yang bisa dibanggakan?
Bekerja setiap harinya, berangkat
pagi, duduk di kursi kayu keras, mengoperasikan komputer, bertemu dengan
anak-anak yang masih sering menikmati ingus, sedikit bumbu konflik, dan pulang
dengan kondisi lelah. Setiap harinya hanya seperti itu. Membosankan memang,
tapi bukankah manusia rela melakukan apapun demi secarik nominal? Aku hanya
beruntung saja waktu itu. Dari pihak yayasan—dengan pendekatan
kemanusiaan—memungutku untuk membantu di sekolah yang baru saja didirikan. Coba
kalau aku tak dipungut, mungkin kabar tentang namaku akan muncul di koran lokal
sebagai headline utama. Bukan sebagai seorang yang memberikan jasa baik, tapi
karena tertangkap pihak berwajib sebagai tersangka kasus perampokan dan pemerkosaan.
Mungkin terlihat
keren, penuh dengan kegiatan setiap harinya. Iya benar, memang penuh dengan
kegiatan. Namun banyaknya kegiatan itu tak berbanding lurus dengan pendapatan
yang aku dapatkan.
Banyak yang bilang, pengalaman itu
lebih berharga ketimbang lembaran uang 50 ribuan. Faktanya, uang 50 ribu sangan
sulit didapatkan jika hanya bermodal pengalaman. Ada yang setuju, ada yang
tidak. Itu sudah biasa. Kemudian ada yang bilang seperti ini, “lakukan saja
pekerjaanmu, itung-itung cari pengalaman!” Kalau kalian mendengar ada seseorang
mengatakan demikian, ajak orang itu, kemudian pekerjakan dia, tapi tak usah
digaji. Kita lihat, apa dia masih bilang mencari pengalaman atau malah sering
kali menggerutu kesal.
Sungguh naïf jika banyak orang
berkata demikian. Faktanya, kita bekerja mencari uang, baru setelah mendapatkan
uang kita dapat pengalaman dari pekerjaan. Bukan sebaliknya. Dan aku sangat
kasihan jika alasan seseorang bekerja hanya mencari pengalaman. Poor you,
man!
Membicarakan fakta yang ada
memang menyakitkan dan memalukan. Apalagi jika seseorang telah memposisikan
kita berada pada kelas masyarakat ke atas. Tapi fakta tetaplah fakta. Dia tak
akan berubah meskipun banyak orang membicarakannya.
Bekerja setiap harinya tak membuatku
merasa banyak uang. Bahkan sering kali aku harus terseok-seok dengan kondisi
keuanganku. Setiap awal bulan aku menjadi orang kaya seutuhnya. Namun selepas
sepuluh hari pertama, aku ambruk jatuh miskin. Tak perlu menunggu di tanggal
tua atau akhir bulan. Timbul pertanyaan, memang seberapa besar gaji yang
kuterima? Pertanyaan yang membuatku harus menarik nafas panjang berulang kali.
Serta harus berfikir empat kali lebih banyak sekedar untuk menjawab pertanyaan
itu agar beberapa pihak terkait tak merasa sebagai bajingan dan agar aku
sendiri tak merasa bodoh. Bodoh tetap bertahan bekerja di sana.
Aku memang hanya sekedar lulusan SMA
tak lebih. Tak memiliki ketrampilan yang bisa menaikan derajat keuanganku. Aku
sadar sesadar-sadarnya dengan gaji bulanan yang aku terima. Maaf, untuk ukuran
nominal aku tak bisa menyebutkan berapa. Yang jelas, gaji setiap bulanku tak
lebih banyak dari pada kuli bangunan yang bekerja selama seminggu. Mungkin
hanya itu analogi yang bisa kuberikan sebagai jawaban pertanyaan itu. Dan
naasnya aku harus berbohong dengan orang yang secara langsung dan
terang-terangan menanyakan jumlah nominal gaji yang kuterima. Aku minta maaf
jika aku berbohong pada kalian. Dan itu berjalan lebih dari 1 tahun.
Terlepas dari gaji yang bisa
kuterima setiap bulannya. Aku bukan makhluk hidup tanpa cacat sosial. Salah
besar jika kalian menilaiku sebagai masyarakat dengan jalan hidup lurus,
sederhana, taat aturan, lebih-lebih kalian menyebutku sebagai orang baik. Aku
berani menyimpulkan, dosa-dosaku melebihi apa yang bisa kalian pikirkan dalam
benak.
Pagi hari kalian hanya akan
melihatku mengenakan baju batik, celana hitam, sepatu hitam dengan polesan air
bukan semir sepatu. Berjalan menunduk bak orang penuh kebijakan, kental sopan
santun, murah menabur senyum. Sesampainya di tempat, membersihkan yang kotor,
menata yang tak rapi, menyiapkan keperluan yang nanti dibutuhkan. Kalau kalian
melihatku hanya sebatas matahari bersinar, kalian akan menemukan kebaikan yang
mungkin jarang dimiliki oleh pemuda lainnya. Tapi kumohon, bukalah mata kalian.
Jika mata kalian buram, pakailah kacamata. Aku tak sebaik itu. Itu semua adalah
kejaiman yang kuatur sedemikian rupa.
Aku adalah kepingan uang receh 500
perak. Memiliki 2 sisi berbeda dan tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Tak
hanya aku, setiap orang juga ibarat kepingan uang receh. Aku hanya berusaha
menjadi apa yang kalian minta agar pantas menjadi tenaga kependidikan, sesuai
apa yang diasumsikan. Sebuah stereotype udik yang telah diimani kebanyakan
orang. Bahwa menjadi sebuah tenaga pengajar haruslah sempurna. Sempurna dalam
semua hal: sikap, penampilan, keuangan, tutur bicara, cara berjalan, bahkan
cara kita untuk mengeluarkan tai pun harus sempurna seanggun yang bisa
dilakukan manusia. Dungunya aku, semua itu aku lakukan.
Aku menceritakan ini semua bukan
karena aku rendah hati. Yang kemudian orang akan berfikir bahwa aku adalah
orang yang tak mau mengungkit kebaikan. Atau mengira, aku orang baik yang
benar-benar baik sampai-sampai tak mau dikatakan sebagai orang baik. Brengsek
benar aku!
Semua itu benar adanya. Semua yang
kukatakan adalah hal yang kalian tak melihatnya. Apa yang kuceritakan adalah
sisi lain dari kepingan uang receh 500 perak yang tak tersentuh mata. Penilaian
selanjutnya kuserahkan pada kalian, aku juga termasuk homo sapiens yang
hidup. Sama seperti kalian. Aku juga butuh kesenangan. Butuh setidaknya
bertingkah konyol bukan terus menerus harus tampak berwibawa. Aku juga pekerja
biasa, mengeluh jika merasa penat. Akrab dengan kata-kata kotor yang sering
diucapkan para bajingan.
Pernahkah kalian menonton film “Percy
Jackson & the Olympians: The Lightning Thief”? Film tersebut bercerita
tentang demigod (sebutan anak dari dewa yang lahir dari rahim manusia)
bernama Percy Jackson. Percy adalah anak dari Dewa Samudra, Poseidon atau adik
dari Dewa Zeus (dalam mitologi Yunani). Percy sendiri tak pernah tahu siapa
ayahnya dan siapa dirinya. Dia sejak lahir harus ditinggal oleh Poseidon.
Sebenarnya Poseidon tak mau, tapi karena dia telah terlena dengan kehidupan
manusia, dia jadi lalai akan tugasnya.
Satu pelajaran apik yang bisa kita
ambil pelajaran. Bahwa seorang Dewa pun bisa melakukan sebuah kesalahan.
Meskipun sebenarnya itu hanya sebuah penggambaran naskah narasi film. Dan yang ingin
kutekankan adalah setiap manusia, asal dia masih menyandang derajat sebagai
manusia, kesalahan pasti pernah dilakukan dalam hidupnya. Jangan bawa nama
Muhammad, itu lain cerita.
Lasem tetaplah Lasem. Seberapa jauh
aku meninggalkannya, dia akan tetap menjadi sebuah cerita. Sebuah nostalgia
panjang nan primitif. Tapi itulah yang terjadi. Selama ingatan masih ada, Lasem
akan tetap menjadi sebuah kenangan. [] masupik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))