Jumat, 24 April 2015

Mengingat Lasem Dalam Kenangan



Lasem, Apa kata yang tepat untuk mengingat suatu kejadian?

Berbicara tentang Lasem berarti aku harus masuk ke dalam nostalgia panjang. Meminjam kata-kata Arman Dhani, “…Nostaligia selalu menawarkan kisah-kisah manis hidup yang telah usai”. Dan sepertinya itu memang benar. Meskipun dalam beberapa kisah yang telah usai, juga banyak kejadian brengsek yang harus dialami.

Harus kuakui, Lasem kota kuno di pantai utara Jawa adalah salah satu kota telah membesarkanku, meski hanya dalam kurun waktu tertentu. Banyak dari sikap bijak kutemukan di Lasem. Banyak pula orang beradab dan rupawan kutemukan di Lasem. Begitu pula sebaliknya, banyak bajingan tengik juga telah mengajarkanku sewaktu di Lasem. Bak dua kutub baterai. Itulah Lasem, oh maksudku itulah hidup.
Lasem yang telah membesarkanku. Tak ubahnya orang tua yang membesarkan kita dengan segala kasih sayang, teguran, serta sedikit bumbu kemarahan. Begitu juga Lasem, dia telah menjagaku dengan kasih sayang seutuhnya. Memberikanku satu tempat berteduh, tempat menimba ilmu, tempat bersenda gurau, tempat mengais upah, sampai tempat paling tersembunyi untuk asyik menonton bokep. Lasem juga dengan rela tanpa pandang bulu akan menegurku ketika aku membuat suatu kesalahan atau, bertindak tak sesuai norma. Kemarahan terbesar yang pernah kuterima dari Lasem adalah sebuah tindakan yang tidak bisa ditoleransi. Sebuah tindakan mengikuti kesenangan tanpa memperdulikan keselamatan. Semua diberikan Lasem padaku.

Lasem. banyak cerita jika aku membicarakannya. Saking banyaknya sampai aku sendiri tak tahu apa yang harus aku ceritakan. Pun kalau aku menceritakan mengenai budaya, sudah banyak para penulis-penulis hebat yang telah merangkumnya. Jika berbicara tentang keindahan, juga sudah berjubel cerita. Mengenai konflik, ah, itu bukan wilayahku untuk menceritakannya. Lantas apa? Apa sebenarnya yang akan aku ceritakan mengenai Lasem? Jika mengambil 1 kata yang terlintas ketika aku mengucapkan Lasem atau mendengar seseorang mengatakan Lasem. Kata itu adalah pondok pesantren. Tapi jika aku membicarakan pondok pesantren meskipun memang aku adalah jebolan pesantren (yang gagal), aku takut jika ada pihak-pihak tertentu merasa terhina atau merasa derajatnya menurun. Duh bahaya. Kemudian jika kuambil kata kedua yang sempat terlintas, yang muncul adalah perempuan. Ah, mungkin baik. Tapi untuk saat ini bukan waktunya membicarakan perempuan. Apalagi ada embel-embelnya mantan. Akhirnya, kupaksakan untuk mengambil kata ketiga yang terlintas, pekerjaan. Mungkin terlihat sangat membosankan. Hanya membicarakan pekerjaan yang selalu monoton dengan jadwal yang sudah terpatri di otak untuk setiap harinya dikerjakan.

Aku bersyukur, selepas SMA bisa langsung bekerja. Tak main-main pekerjaan yang kudapatkan saat itu. Menjadi salah satu tenaga kependidikan di  lembaga formal. Meskipun bukan tenaga pengajar dengan masa depan sudah tertuliskan. Bayangkan saja, hanya bermodalkan ijazah SMA, aku bisa masuk dalam lingkup lembaga pendidikan. Mungkin tak begitu mengherankan. Lagi pula, banyak pelamar dengan ijazah SMA sederajat mencoba menjadi salah satu staf karyawan. Dan sudah banyak yang pada kenyataannya bisa masuk di dalamnya. Meski, hanya sebagai tukang kebun, penjaga sekolah, atau pekerjaan remeh temeh lainnya yang sekiranya hanya mengeluarkan sedikit biaya beban gaji karyawan. Apa yang bisa dibanggakan?

Bekerja setiap harinya, berangkat pagi, duduk di kursi kayu keras, mengoperasikan komputer, bertemu dengan anak-anak yang masih sering menikmati ingus, sedikit bumbu konflik, dan pulang dengan kondisi lelah. Setiap harinya hanya seperti itu. Membosankan memang, tapi bukankah manusia rela melakukan apapun demi secarik nominal? Aku hanya beruntung saja waktu itu. Dari pihak yayasan—dengan pendekatan kemanusiaan—memungutku untuk membantu di sekolah yang baru saja didirikan. Coba kalau aku tak dipungut, mungkin kabar tentang namaku akan muncul di koran lokal sebagai headline utama. Bukan sebagai seorang yang memberikan jasa baik, tapi karena tertangkap pihak berwajib sebagai tersangka kasus perampokan dan pemerkosaan.

Mungkin terlihat keren, penuh dengan kegiatan setiap harinya. Iya benar, memang penuh dengan kegiatan. Namun banyaknya kegiatan itu tak berbanding lurus dengan pendapatan yang aku dapatkan.
Banyak yang bilang, pengalaman itu lebih berharga ketimbang lembaran uang 50 ribuan. Faktanya, uang 50 ribu sangan sulit didapatkan jika hanya bermodal pengalaman. Ada yang setuju, ada yang tidak. Itu sudah biasa. Kemudian ada yang bilang seperti ini, “lakukan saja pekerjaanmu, itung-itung cari pengalaman!” Kalau kalian mendengar ada seseorang mengatakan demikian, ajak orang itu, kemudian pekerjakan dia, tapi tak usah digaji. Kita lihat, apa dia masih bilang mencari pengalaman atau malah sering kali menggerutu kesal.

Sungguh naïf jika banyak orang berkata demikian. Faktanya, kita bekerja mencari uang, baru setelah mendapatkan uang kita dapat pengalaman dari pekerjaan. Bukan sebaliknya. Dan aku sangat kasihan jika alasan seseorang bekerja hanya mencari pengalaman. Poor you, man!

Membicarakan fakta yang ada memang menyakitkan dan memalukan. Apalagi jika seseorang telah memposisikan kita berada pada kelas masyarakat ke atas. Tapi fakta tetaplah fakta. Dia tak akan berubah meskipun banyak orang membicarakannya.

Bekerja setiap harinya tak membuatku merasa banyak uang. Bahkan sering kali aku harus terseok-seok dengan kondisi keuanganku. Setiap awal bulan aku menjadi orang kaya seutuhnya. Namun selepas sepuluh hari pertama, aku ambruk jatuh miskin. Tak perlu menunggu di tanggal tua atau akhir bulan. Timbul pertanyaan, memang seberapa besar gaji yang kuterima? Pertanyaan yang membuatku harus menarik nafas panjang berulang kali. Serta harus berfikir empat kali lebih banyak sekedar untuk menjawab pertanyaan itu agar beberapa pihak terkait tak merasa sebagai bajingan dan agar aku sendiri tak merasa bodoh. Bodoh tetap bertahan bekerja di sana.

Aku memang hanya sekedar lulusan SMA tak lebih. Tak memiliki ketrampilan yang bisa menaikan derajat keuanganku. Aku sadar sesadar-sadarnya dengan gaji bulanan yang aku terima. Maaf, untuk ukuran nominal aku tak bisa menyebutkan berapa. Yang jelas, gaji setiap bulanku tak lebih banyak dari pada kuli bangunan yang bekerja selama seminggu. Mungkin hanya itu analogi yang bisa kuberikan sebagai jawaban pertanyaan itu. Dan naasnya aku harus berbohong dengan orang yang secara langsung dan terang-terangan menanyakan jumlah nominal gaji yang kuterima. Aku minta maaf jika aku berbohong pada kalian. Dan itu berjalan lebih dari 1 tahun.


Terlepas dari gaji yang bisa kuterima setiap bulannya. Aku bukan makhluk hidup tanpa cacat sosial. Salah besar jika kalian menilaiku sebagai masyarakat dengan jalan hidup lurus, sederhana, taat aturan, lebih-lebih kalian menyebutku sebagai orang baik. Aku berani menyimpulkan, dosa-dosaku melebihi apa yang bisa kalian pikirkan dalam benak.

Pagi hari kalian hanya akan melihatku mengenakan baju batik, celana hitam, sepatu hitam dengan polesan air bukan semir sepatu. Berjalan menunduk bak orang penuh kebijakan, kental sopan santun, murah menabur senyum. Sesampainya di tempat, membersihkan yang kotor, menata yang tak rapi, menyiapkan keperluan yang nanti dibutuhkan. Kalau kalian melihatku hanya sebatas matahari bersinar, kalian akan menemukan kebaikan yang mungkin jarang dimiliki oleh pemuda lainnya. Tapi kumohon, bukalah mata kalian. Jika mata kalian buram, pakailah kacamata. Aku tak sebaik itu. Itu semua adalah kejaiman yang kuatur sedemikian rupa.

Aku adalah kepingan uang receh 500 perak. Memiliki 2 sisi berbeda dan tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Tak hanya aku, setiap orang juga ibarat kepingan uang receh. Aku hanya berusaha menjadi apa yang kalian minta agar pantas menjadi tenaga kependidikan, sesuai apa yang diasumsikan. Sebuah stereotype udik yang telah diimani kebanyakan orang. Bahwa menjadi sebuah tenaga pengajar haruslah sempurna. Sempurna dalam semua hal: sikap, penampilan, keuangan, tutur bicara, cara berjalan, bahkan cara kita untuk mengeluarkan tai pun harus sempurna seanggun yang bisa dilakukan manusia. Dungunya aku, semua itu aku lakukan.

Aku menceritakan ini semua bukan karena aku rendah hati. Yang kemudian orang akan berfikir bahwa aku adalah orang yang tak mau mengungkit kebaikan. Atau mengira, aku orang baik yang benar-benar baik sampai-sampai tak mau dikatakan sebagai orang baik. Brengsek benar aku!

Semua itu benar adanya. Semua yang kukatakan adalah hal yang kalian tak melihatnya. Apa yang kuceritakan adalah sisi lain dari kepingan uang receh 500 perak yang tak tersentuh mata. Penilaian selanjutnya kuserahkan pada kalian, aku juga termasuk homo sapiens yang hidup. Sama seperti kalian. Aku juga butuh kesenangan. Butuh setidaknya bertingkah konyol bukan terus menerus harus tampak berwibawa. Aku juga pekerja biasa, mengeluh jika merasa penat. Akrab dengan kata-kata kotor yang sering diucapkan para bajingan.

Pernahkah kalian menonton film “Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief”? Film tersebut bercerita tentang demigod (sebutan anak dari dewa yang lahir dari rahim manusia) bernama Percy Jackson. Percy adalah anak dari Dewa Samudra, Poseidon atau adik dari Dewa Zeus (dalam mitologi Yunani). Percy sendiri tak pernah tahu siapa ayahnya dan siapa dirinya. Dia sejak lahir harus ditinggal oleh Poseidon. Sebenarnya Poseidon tak mau, tapi karena dia telah terlena dengan kehidupan manusia, dia jadi lalai akan tugasnya.

Satu pelajaran apik yang bisa kita ambil pelajaran. Bahwa seorang Dewa pun bisa melakukan sebuah kesalahan. Meskipun sebenarnya itu hanya sebuah penggambaran naskah narasi film. Dan yang ingin kutekankan adalah setiap manusia, asal dia masih menyandang derajat sebagai manusia, kesalahan pasti pernah dilakukan dalam hidupnya. Jangan bawa nama Muhammad, itu lain cerita.

Lasem tetaplah Lasem. Seberapa jauh aku meninggalkannya, dia akan tetap menjadi sebuah cerita. Sebuah nostalgia panjang nan primitif. Tapi itulah yang terjadi. Selama ingatan masih ada, Lasem akan tetap menjadi sebuah kenangan. [] masupik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))