Mengingat
dirimu begitu mudah dan tersaji begitu banyak cara. Mengapa melupakanmu begitu
menyiksa?
Itu bukan hanya sebuah petuah
klasik dan antik. Ah, bahkan terlalu bijak jika itu dikatakan sebuah petuah.
Umpatan, lebih tepatnya. Itu adalah sebuah kebenaran yang kini nilainya tak
begitu berharga. Umpatan seperti itu akan sering terdengar dari mulut seseorang
yang tengah dilanda jatuh cinta. Hanya cintanya harus dia relakan begitu saja
karena si perempuan tak memberikan sikap cinta. Begitu banyak cara untuk sekedar
teringat kembali terhadap sebuah kenangan. Entah bagaimana bentuk kenangan itu,
tapi bukankah setiap kenangan memang sudah sepantasnya untuk dikenang?
Aku terhentak,
terhempas oleh sebuah ingatan janggal yang sering membuatku merasa mual. Aku
dibawa jauh kembali ke alam kenangan pahit yang sempat membuatku ke titik
paling lemah dalam hidupku. Sebuah kejadian memalukan untuk seorang aku yang
sering dianggap pria lain mudah untuk mendapatkan pasangan.
Aku ingat malam itu. sebuah malam
biasa seperti malam-malam yang pernah terjadi. Bintang bersinar, cahaya bulan yang
untuk sementara waktu harus menghilang, langit gelap. Pemandangan langit yang begitu
biasa. Ditambah banyaknya manusia berlalu lalang karena pagi harinya mereka
telah merayakan sebuah kemenangan besar. Sebuah kemengan yang terjadi setiap
tahun. Sebuah kemenangan akan proses pengekangan nafsu yang biasa diumbar, tapi
harus ditahan dalam jangka waktu genap satu bulan. Dan malam itu adalah malam
pertama bebasnya nafsu yang telah dilatih.
Malam itu pula juga menjadi saksi
bagi seorang pria. Seorang pria biasa, tak memiliki kelebihan dan kehebatan
apapun. Orang biasa yang dilahirkan dari Rahim seorang ibu, dan keluar menyapa
dunia dengan tangisan. Pria ini seperti kebanyakan pria lainnya; menginginkan
seorang perempuan untuk menjadi kekasih hatinya. Hanya yang sedikit membedakan,
pria ini telah lama mencintai perempuan pujaannya tetapi selama itu pula dia
tak berani menyatakannya.
Hanya saja, perasaan cintanya
sudah tak bisa ditampung oleh ketakutan. Ketakutan yang selama ini telah
membuatnya menyimpan rasa cintanya. Ketakutan yang selama ini telah memupuk
perasaan cintanya. Hanya ketakutan lalai akan satu hal, bahwa segala sesuatu
yang dipupuk dan disimpan, adakalanya akan tumbuh besar dan harus
diperlihatkan. Malam itu adalah puncak kelalaian yang diperbuat ketakutan itu
sendiri. Sampai akhirya, wadah penyimpanan dan pemupukan itu harus pecah, lisis,
dan memang sudah waktunya hal yang disimpan itu diperlihatkan kepada yang
dituju. Entah malam ini adalah malam yang tepat atau tidak, tapi inilah
waktunya. This is show time.
Sekali lagi. Malam yang panjang
penuh keromantisan harus terjadi. Menghentikan sejenak malam biasa, untuk
meminta ruang tersendiri.
Tersbutlah
seorang perempuan dari kaum bangsawan terkenal di kotanya. Maaf sebelumnya, ini
bukan cerita novel terjemahan klasik yang akan menceritakan sebuah peradaban
kuno. Sebuah peradaban yang banyak sekali aturan, perintah, dan larangan. Ini
adalah sebuah kisah dengan atau tanpa sebuah norma. Apakah pantas, seorang
perempuan keluar pada malam hari bersama seseorang yang belum memiliki hak atas
perempuan?
Malam itu harapan besar atas
diterimanya perasaan si pria sangatlah besar. Sampai dia tak bisa membedakan
antara sebuah keberanian atau kedunguan. Dia memang telah tampak berani
menyatakan perasaan cintanya yang terpendam selama ini. Di sisi lain, dia lupa,
bahwa perasaan itu adalah perasaan beberapa tahun yang lalu. Yang berarti,
selama perasaan itu terpendam, ada berjuta lembar kisah yang telah dia alami,
tak terkecuali kisah cinta yang sempat dia jalani dengan perempuan lain.
Malam itu, dia menjadi seorang
pria rabun. Dia tak mengenal dirinya sendiri yang sebenarnya membuat si
perempuan mencintainya. Dia lupa pada kenyataan, bahwa telah banyak kisah dan
pria silih berganti mengenal perempuan itu. Dia pikun, bahwa sebelumnya telah
banyak peristiwa yang membuatnya merasa bersalah di waktu itu. ‘Waktu itu’
adalah sebutan bagi si pria itu, karena sebuah kebodohan super besar telah dia
lakukan. Sebuah kebodohan yang akhirnya membuat perasaannya harus terpendam
jauh ke dalam. Tertumpuk berjuta kisah, usang, berdebu, dan naasnya perasaan
itu tumbuh setiap harinya.
Pria itu menyatakan perasaan yang
selama ini terpendam kepada perempuannya. Perempuan keji yang sudah
berekali-kali sebagai alasan rusaknya kisah cinta si pria. Perempuan manis itu
tak ubahnya iblis bersayap malaikat. Terbang di atas pria kasmaran sembari
menaburkan pupuk untuk perasaan pria yang telah usang, menyirami dengan
kerinduan mendalam, serta membiarkan tumbuh tinggi sampai menjulang. Namun
setelah tumbuh indah, lantas dia menjadi iblis yang menebang habis tanpa ampun
perasaan itu. Kata-katanya sungguh manis. Manis yang melebihi madu. Tapi terasa
pahit bahkan membawa berjuta penyakit pembunuh. Perasaan yang telah dipupuknya,
kini dia juga yang merusaknya. Menyisakan akar yang telah bersatu dengan tanah.
Besar, kuat, dan tak bisa hilang meski pohonnya telah tumbang. Malam itu
menjadi saksi sebuah kenyataan pahit yang harus diterima pria kasmaran. Malang
sekali nasibmu. Entah kau terlalu bodoh, atau perempuan itu begitu menakjubkan.
Cinta tak pernah ada—yang ada hanyalah gairah dalam berbagai tingkatan, yang
bagi perempuan romantis dan pria bodoh namakan “cinta”.
Setelah itu, pria dungu itupun
sadar. Tingkat kesadaran yang dia alami kali ini melebihi kesadaran yang pernah
dia temui. Sebuah kesadaran nyata akan sebuah tindakan yang terlihat berani dan
menawan, namun itu sebenarnya adalah sebuah kebodohan. Yang hanya orang gila
sejak lahir yang rela melakukan, itupun saat dia dalam keadaan gila seutuhnya.
Cinta memang
datang ketika cinta membutuhkan cinta.
Pria itu merasa
dirinya sebagai bajingan tengik yang haus akan cinta. Cinta yang pernah
menyakitinya, meludahi, dan menginjak kehormatannya. Tapi cinta itulah yang
kini membangunkannya dari alam bawah sadar. Dia terbangun bahwa akan datang
pagi, meskipun malam telah beberapa kali menidurkannya. Yakinlah, pagi itu
indah. Tak ubahnya setetes air di padang gurun. Pagi datang membawa hari baru
dan meninggalkan hari yang usang. Menyediakan beribu lembar kertas kosong yang
siap kita tulis dengan kisah baru. Kisah tentang cinta. Meskipun cinta itu
hanya untuk orang bodoh, lantas bukankan kebodohan adalah awal untuk
belajar?
Cinta kita terjalin bukan karena
sebuah ciuman. Bukan pula sebuah janji-janji kosong yang biasa terdengar. Bukan
pula sebuah pelarian dariku yang tak sengaja menemukan dirimu. Juga bukan
ketidak mampuan dirimu akan menemukan cinta. Cinta kita terbentuk dari sebuah
jarak yang nyaris membuatku tak bisa melihat bekas noda jerawat yang pernah
membuatmu merasa canggung. Jarak itulah yang malah menjadi kambing hitam
perasaan kita. Bukankah cinta hanya akan terasa di dalam jarak?
Pria itu bertemu
dengan seorang perempuan yang telah dia kenal sebelumnya. Sebuah pertemuan
tidak langsung yang terjadi karena kecanggihan teknologi. Pertemuan biasa yang
terjadi akibat perasaan nyaman dan saling mengisi kekosongan. Perasaan inilah
yang nantinya membuat pria dan perempuan ini akhirnya bersama dalam jarak.
Dipertemukan oleh jarak, tak
membuat mereka kehilangan sisi membahagiakan dalam bercinta. Kenikmatan setiap
keromantisan yang mereka rasakan meski tak tersentuh sebuah kedekatan, begitu
nikmat, nyaman, terlebih begitu nakal dan binal.
Malam setelah beberapa malam
berlalu begitu saja. Tergantikan pagi dengan matahari. Sinar bulan yang
dianggap begitu indah, tak lebih hanya sebuah bayangan sinar matahari. Apalah
arti sebuah bayangan hitam pekat dengan lekuk samar, dibandingkan wujud nyata
dari sebuah benda yang acap kali membuat kita terpanah?
“Aku harap kamu di rumah saat
ini. jika tidak,” pria itu berfikir sejenak mencari kata romantis yang pas.
Sebelum akhirnya dia melanjutkan ucapannya, “jika tidak, aku akan pulang dengan
wajah lesu karena tak bisa bertemu.” Tukas pria itu lewat sebuah percakapan
jarak jauh.
“Sepertinya kau harus menungguku
sesaat. Bagaimana?” pinta si perempuan. “Tapi jika memang kau ingin bergegas,
tak apa. Aku juga akan tertunduk layu karena tak bertemu.”
“Baiklah. Aku tak akan
menunggumu. Aku akan bergegas sebenarnya. Tapi dalam hati, aku tak bisa
membiarkanmu tertunduk lesu. Aku hanya ingin—.” pria itu tak menyelesaikan
ucapannya.
“Tunggulah, aku tak akan
membuatmu menunggu lama.” Perempuan itu kembali meminta untuk kedua kalinya dan
bergegas menutup percakapan itu. Sedang si pria, menunggu di pinggir jalan
dengan asyiknya memainkan putung rokoknya. Di sisi lain, si perempuan bergegas
untuk segera menyelesaikan urusannya agar bisa bertemu dengan sosok yang telah
memberikan cinta padanya dalam sebuah jarak.
“Apakah kau telah pergi tanpa
pamit padaku?” tanya perempuan. Si perempuan telah sampai di kediamannya. “Jika
begitu, lanjutkan langkah panjangmu. Jika kau masih ingin bertemu, aku telah
berada di tempat yang ingin kau tuju saat ini.” Tukas perempuan itu sopan. Tak
mengingkan lebih dari malam itu. Hanya saja, jika memang tak berkesempatan
bertemu, kenapa kau ingin aku bergegas duhai malam gelap?
“Aku akan segera ke sana, tunggu
saja! Sebenarnya aku tadi telah melihatmu bergegas. Aku sudah puas melihat rona
merah wajahmu, meski sekilas….”
Belum kelar pria itu dengan
ucapannya, perempuan itu telah memotongnya, “ke sinilah jika sudi, kau masih
ingat bukan kediaman yang selama ini kugunakan untuk bercengkerama dengan
jarak?”
“Baiklah!” ucap si pria parau.
Tak lama, mereka berdua akhirnya
bertemu untuk kesekian kalinya setelah jarak menyatukan mereka. Sebuah
pemandangan penuh rasa malu dan canggung tersaji lengkap malam itu. Angin
dingin sesekali mengalir menyibak kebuntuan yang beberapa menit terjadi di
antara mereka. Hewan malam kecil berlalu lalang seperti meledek mereka sinis.
Semua yang ada malam itu tengah membicarakan sebuah pertemuan sepasang kekasih
kasmaran ini. Satu kesimpulan besar berhasil ditarik oleh setiap yang
menyaksikan pertemuan itu, apakah sebuah ciuman akan berlangsung khidmat?
Ataukah ciuman pertama mereka tak jua kembali terlaksana? Semua makhluk
harap-harap cemas dengan apa yang terjadi setelahnya.
“Kau harus kuantarkan pulang,”
pria itu menatap mantap mata si perempuan. “Jika tidak, mungkin lain kali aku
tak sudi untuk sekedar berkunjung meski kau yang meminta.” Keberanian pria itu
kembali hadir dalam hidupnya, tapi juga secepat cahaya keberanian itu
menghilang. Tatapan mantap yang berlansung hanya sepersekian detik, adalah buah
keberanian.
“Baiklah. Sila kau mengantarkanku
pulang. Hanya saja—kau harus menginap.” Perempuan itu memikirkan
keselamatan si pria. Setelah mengantarkan dirinya pulang ke rumah, di tengah
malam sunyi, pria itu juga akan melangkah pulang. Belum selesai perempuan itu
berfikir, dia membuang jauh fikiran buruknya itu. “Setelah menghabiskan makanan
ini, kita pulang.”
“Ya.” Pria itu setuju.
2 porsi makanan yang dipesan
telah habis. Sebenarnya hanya pria itu yang berhasil menghabiskan masakan
berkolesterol itu. Sedang si perempuan, bukan dia tak suka dengan makanan itu.
Hanya saja, bukankah sudah menjadi ciri khas perempuan makan dengan porsi yang
lebih sedikit?
“Mari kuantar pulang!” kata si
pria mantap. “Tak ada penolakan kali ini, kau sudah mengatakan apa yang harus
kuperbuat setelah jamuan makan ini selesai.” Sergap si pria sebelum perempuan
itu kembali beralasan.
“Aku tahu,” tukas si perempuan
itu getir. “Kenapa tak kau mulai dengan manghidupkan kendaraan yang akan
mengantarkanku?” Perempuan itu berjalan mendekati motor yang tadi mengajaknya
keluar dan kini akan mengantarkan dia pulang dengan malam.
“Bisakah kau tak khawatir setelah
aku mengantarkan dirimu ke sangkar hangat dan nyaman?” pria itu
memberikan sebuah pertanyaan yang sebenarnya dia sudah tahu jawabannya. “Ah
sudahlah, mari kuantarkan pulang.”
Sepanjang perjalanan yang
menghabiskan waktu 45 menit itu, hanya beberapa patah kata yang berhasil
dihasilkan. Selebaihnya mereka lebih merasa nyaman dengan diam dan menikmati
setiap bintang yang berhasil mereka berdua lewati. Si perempuan merasakan
sebuah kehangatan serta rasa nyaman yang dia rindukan selama ini. Begitu juga
si pria. Meski tak saling mengaku, namun malam itu adalah malam terindah yang
pernah ada yang pernah mereka temui. Sebuah malam yang berjalan begitu capat
tak seperti biasanya. Malam dengan aroma tubuh si perempuan yang tengah mengandung
rindu. Malam selalu membawa kedinginan, percayalah sayang, ada sebuah
kehangatan yang bisa kita rasakan jika kita bersama.
Perjumpaan yang telah lama
ditunggu itu selesai. Bersamaan dengan ucapan selamat tinggal, mereka berdua
melepas tatapan penuh peluh. Kerinduan yang selama ini berhasil mereka sikapi
bijak, berubah menjadi sebuah kerinduan bernas yang setiap saat bisa meluap.
Tak ubahnya sebuah tanggul besar, air yang berhasil disimpan suatu saat akan
menghancurkannya. Dan saat itu adalah saat yang paling tak diinginkan.
Sementara di sela menunggu saat itu, mengapa tak kau sikapi kerinduanmu dengan
tak melabelinya sebagai milikmu, tapi lebih ke arah kerinduan akan sesuatu
yang belum pernah kita alami dan jalani dengan harap-harap pasti kerinduan itu
akan terjadi? []