Jumat, 27 Februari 2015

Hawa Dingin Dan Bahasa Sunda



Hawa dingin kota Bogor tetap terasa meskipun hari telah siang. Apalagi jika beberapa hari yang lalu hujan sempat mengguyur selama 24 jam nonstop. Imbasnya, air tanah yang sebelumnya sudah dingin menjadi lebih dingin lagi.

Beberapa hari yang lalu aku tak sengaja ada interview di bilangan Senayan, tepatnya di Jalan Asia-Afrika gedung Panin Tower. Lokasi rumah dengan tempat wawancara mengharuskanku bangun dan mandi lebih pagi dari biasanya. Sebenarnya tak ada yang aneh dengan semua itu. Sampai aku masuk ke kamar mandi dengan membawa air panas mendidih, baru diangkat dari kompor. Perbandingan air dingin dengan air panas mendidih kira-kira 3:2. 3 untuk air dingin di bak mandi, 2 untuk air panas hasil rebusan di atas kompor.

Dari pengalamanku sebelum-sebelumnya, perbandingan 3:2 akan menghasilkan air dengan suhu hangat. Bahkan untuk sebagian kulit badan yang tipis, air itu masih terasa panas. Tapi naas, perbandingan itu tak berlaku di sini. Air panas yang aku campurkan di bak mandi, sama sekali tak bekerja. Air di bak mandi masih sedingin sebelum kucampurkan air panas mendidih. Walhasil, aku kedinginan.

Masalah hawa dingin tak bisa kupungkiri. Selain itu, bahasa keseharian yang dipakai juga membuatku menjadi orang gila seutuhnya. Bahasa Sunda adalah bahasa paling menakjubkan yang pernah aku temui. Dulu, sewaktu di Sumatra, sedikit banyak aku masih bisa bercengkerama asyik dengan tetangga sekitar. Tapi di sini, aku hanya menjadi orang yang akan tertawa jika ada tetangga  mengajakku bercengkerama. Bukan, aku bukan meremehkan atau tak menghargai orang yang bicara. Aku hanya tak mengerti apa yang dibicarakan. Sama sekali tak mengerti. Selain kosa kata yang masih asing di telinga, penyampaiannya juga sangat cepat. Sumpah, ini adalah kali pertama aku merasa menjadi orang gila seutuhnya.

Pernah waktu itu ayah mengajakku bermain badminton. Meskipun tak terlalu jago, kalau hanya untuk memukul kok, bisalah. Waktu pemanasan, pak Dayat yang menjadi lawanku, mengajakku mencairkan suasana dengan bertanya sesuatu padaku. Kukatakan ‘sesuatu’ karena aku tak mengerti apa yang dibicarakan pak Dayat. Benar, alunan kosa kata bahasa Sunda kelas expert ditunjukkan oleh pak Dayat yang memang berdarah asli Sunda. Karena aku harus menghormati orang yang mengajak bicara, akupun menatap dalam mata pak Dayat sembari raket memukul kok. Terlihat dari mata pak Dayat sebuah kebingungan besar melanda. Sebuah kebingungan yang terjadi karena aku sama sekali tak menjawab setiap ucapan yang keluar dari bibir pak Dayat. Bahkan aku hanya tertawa berlagak paham dengan setiap ucapan beliau. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri untuk mengaku, “pak Dayat! Maaf ya pak, saya nggak bisa bahasa Sunda. Jadi tadi saya cuman bisa ketawa.”

Setelah kejadian di lapangan badminton itu, aku kembali dikagetkan.

Waktu itu, hari Jum’at. Sebagai lelaki yang bertanggung jawab pada kodrat yang telah diberikan, berangkatlah aku menunaikan shalat Jum’at. Letak masjid yang tak terlalu jauh dari rumah, kutempuh dengan berjalan kaki. Tak ada tanda-tanda akan sesuatu yang aneh.

Sesampainya di masjid, ternyata masih belum dimulai. Memang shaf yang ada telah terisi penuh. Bahkan sampai teras masjid juga sudah terisi penuh. Untungnya aku bisa duduk di dalam masjid. Sampai di sini belum ada keanehan. Bahkan aku sempat takjub. Biasanya, tepatnya di masjid yang pernah aku ikuti prosesi sholat Jum’atnya, tak ada namanya pembacaan shalawat bersama. Biasanya, orang-orang yang datang, kemudian asyik sendiri dengan ritual-ritual pendekatan kepada sang Pencipta, di dalam hati, lirih sekali. Tapi ini berbeda, shalawat yang dikumandangkan di masjid, secara kompak semua jama’ah melantunkannya. Dari yang duduk di shaf  pertama, sampai yang berangkat shalat hanya ikut-ikutan. Dari yang tua sampai anak-anak kecil yang berlarian, semua kompak melantunkan shalawat.
Setelah hampir 15 menit, akhirnya rangkaian shalat Jum’at dimulai. Adzan terdengar dari muadzin, dilanjutkan khotbah oleh khatib. Sewaktu khotbah berlangsung, di sinilah dimulainya keanehan. Mungkin ini hanya menurutku. Khotbah dengan bahasa Arab telah biasa kita dengar, meski kita sendiri tak begitu paham dengan isi khotbah. Tak ubahnya khotib satu ini, menggunakan bahasa Arab di awal khotbahnya. Namun setelah bahasa Arab, si khotib dengan suka rela membacakan terjemahan dari bahasa Arab yang dia ucapkan. Anehnya, bukan terjemahan bahasa Indonesia yang dia gunakan, tapi bahasa Sunda. Sontak mendengar itu, syaraf tertawaku sedikit tergelitik, aku pun tertawa kecil. Aku yang memang orang Jawa dengan bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian. Merasa aneh dan lucu dengan penggunaan bahasa Sunda ketika berkhotbah. Memang tak menjadi masalah, bahasa apapun semua dari sang Pencipta. Hanya memang aku yang tak terbiasa dan baru pertama kali mendengar khotbah dengan bahasa Sunda.
Kewajiban shalat Jum’at telah selesai. Bubaran jama’ah terlihat seperti sarang semut tersiram air. Aku berada di tengah sebuah lingkungan Sunda, yang harus bisa kuadaptasi agar aku tak terlihat aneh.

Banyak kejadian yang membuatku harus membuka mata berkali-kali agar bisa memahaminya. Kini aku berada di sebuah tempat yang jika aku tak beradaptasi, aku hanya akan seperti para turis yang berkunjung di sebuah pulau berpenghuni suku pedalaman. Turis tersebut memandang suku tersebut aneh, karena dalam penglihatannya, suku tersebut tak sama dengan dirinya. Tapi di lain sisi, turis tersebut lupa, bahwa dirinya-lah yang berbeda. Lingkungan turis tersebut adalah rumah bagi suku pedalaman, bukan rumahnya. Adat istiadat serta tata cara yang diterapkan adalah tata cara suku tersebut. Jika turis tadi tak mau dianggap aneh, seharusnya dia sedikit beradaptasi. Entah itu dari cara berpakaian, atau sekedar mengikuti tata cara yang berlaku. Seperti turis itulah aku. Jika aku menganggap mereka aneh, maka sebenarnya aku sendirilah yang aneh. Akupun harus beradaptasi, bukan mereka yang harus beradaptasi. Ini adalah rumah mereka dan aku adalah tamu. Meskipun tamu adalah raja, tapi tamu berkewajiban menghormati pemilik rumah. Bukankah begitu seharunya? []

Senin, 23 Februari 2015

Perempuan Romantis Dan Pria Bodoh



Mengingat dirimu begitu mudah dan tersaji begitu banyak cara. Mengapa melupakanmu begitu menyiksa?

Itu bukan hanya sebuah petuah klasik dan antik. Ah, bahkan terlalu bijak jika itu dikatakan sebuah petuah. Umpatan, lebih tepatnya. Itu adalah sebuah kebenaran yang kini nilainya tak begitu berharga. Umpatan seperti itu akan sering terdengar dari mulut seseorang yang tengah dilanda jatuh cinta. Hanya cintanya harus dia relakan begitu saja karena si perempuan tak memberikan sikap cinta. Begitu banyak cara untuk sekedar teringat kembali terhadap sebuah kenangan. Entah bagaimana bentuk kenangan itu, tapi bukankah setiap kenangan memang sudah sepantasnya untuk dikenang?


Aku terhentak, terhempas oleh sebuah ingatan janggal yang sering membuatku merasa mual. Aku dibawa jauh kembali ke alam kenangan pahit yang sempat membuatku ke titik paling lemah dalam hidupku. Sebuah kejadian memalukan untuk seorang aku yang sering dianggap pria lain mudah untuk mendapatkan pasangan.

Aku ingat malam itu. sebuah malam biasa seperti malam-malam yang pernah terjadi. Bintang bersinar, cahaya bulan yang untuk sementara waktu harus menghilang, langit gelap. Pemandangan langit yang begitu biasa. Ditambah banyaknya manusia berlalu lalang karena pagi harinya mereka telah merayakan sebuah kemenangan besar. Sebuah kemengan yang terjadi setiap tahun. Sebuah kemenangan akan proses pengekangan nafsu yang biasa diumbar, tapi harus ditahan dalam jangka waktu genap satu bulan. Dan malam itu adalah malam pertama bebasnya nafsu yang telah dilatih.


Malam itu pula juga menjadi saksi bagi seorang pria. Seorang pria biasa, tak memiliki kelebihan dan kehebatan apapun. Orang biasa yang dilahirkan dari Rahim seorang ibu, dan keluar menyapa dunia dengan tangisan. Pria ini seperti kebanyakan pria lainnya; menginginkan seorang perempuan untuk menjadi kekasih hatinya. Hanya yang sedikit membedakan, pria ini telah lama mencintai perempuan pujaannya tetapi selama itu pula dia tak berani menyatakannya.

Hanya saja, perasaan cintanya sudah tak bisa ditampung oleh ketakutan. Ketakutan yang selama ini telah membuatnya menyimpan rasa cintanya. Ketakutan yang selama ini telah memupuk perasaan cintanya. Hanya ketakutan lalai akan satu hal, bahwa segala sesuatu yang dipupuk dan disimpan, adakalanya akan tumbuh besar dan harus diperlihatkan. Malam itu adalah puncak kelalaian yang diperbuat ketakutan itu sendiri. Sampai akhirya, wadah penyimpanan dan pemupukan itu harus pecah, lisis, dan memang sudah waktunya hal yang disimpan itu diperlihatkan kepada yang dituju. Entah malam ini adalah malam yang tepat atau tidak, tapi inilah waktunya. This is show time.

Sekali lagi. Malam yang panjang penuh keromantisan harus terjadi. Menghentikan sejenak malam biasa, untuk meminta ruang tersendiri.


Tersbutlah seorang perempuan dari kaum bangsawan terkenal di kotanya. Maaf sebelumnya, ini bukan cerita novel terjemahan klasik yang akan menceritakan sebuah peradaban kuno. Sebuah peradaban yang banyak sekali aturan, perintah, dan larangan. Ini adalah sebuah kisah dengan atau tanpa sebuah norma. Apakah pantas, seorang perempuan keluar pada malam hari bersama seseorang yang belum memiliki hak atas perempuan?

Malam itu harapan besar atas diterimanya perasaan si pria sangatlah besar. Sampai dia tak bisa membedakan antara sebuah keberanian atau kedunguan. Dia memang telah tampak berani menyatakan perasaan cintanya yang terpendam selama ini. Di sisi lain, dia lupa, bahwa perasaan itu adalah perasaan beberapa tahun yang lalu. Yang berarti, selama perasaan itu terpendam, ada berjuta lembar kisah yang telah dia alami, tak terkecuali kisah cinta yang sempat dia jalani dengan perempuan lain.

Malam itu, dia menjadi seorang pria rabun. Dia tak mengenal dirinya sendiri yang sebenarnya membuat si perempuan mencintainya. Dia lupa pada kenyataan, bahwa telah banyak kisah dan pria silih berganti mengenal perempuan itu. Dia pikun, bahwa sebelumnya telah banyak peristiwa yang membuatnya merasa bersalah di waktu itu. ‘Waktu itu’ adalah sebutan bagi si pria itu, karena sebuah kebodohan super besar telah dia lakukan. Sebuah kebodohan yang akhirnya membuat perasaannya harus terpendam jauh ke dalam. Tertumpuk berjuta kisah, usang, berdebu, dan naasnya perasaan itu tumbuh setiap harinya.

Pria itu menyatakan perasaan yang selama ini terpendam kepada perempuannya. Perempuan keji yang sudah berekali-kali sebagai alasan rusaknya kisah cinta si pria. Perempuan manis itu tak ubahnya iblis bersayap malaikat. Terbang di atas pria kasmaran sembari menaburkan pupuk untuk perasaan pria yang telah usang, menyirami dengan kerinduan mendalam, serta membiarkan tumbuh tinggi sampai menjulang. Namun setelah tumbuh indah, lantas dia menjadi iblis yang menebang habis tanpa ampun perasaan itu. Kata-katanya sungguh manis. Manis yang melebihi madu. Tapi terasa pahit bahkan membawa berjuta penyakit pembunuh. Perasaan yang telah dipupuknya, kini dia juga yang merusaknya. Menyisakan akar yang telah bersatu dengan tanah. Besar, kuat, dan tak bisa hilang meski pohonnya telah tumbang. Malam itu menjadi saksi sebuah kenyataan pahit yang harus diterima pria kasmaran. Malang sekali nasibmu. Entah kau terlalu bodoh, atau perempuan itu begitu menakjubkan. Cinta tak pernah ada—yang ada hanyalah gairah dalam berbagai tingkatan, yang bagi perempuan romantis dan pria bodoh namakan “cinta”.

Setelah itu, pria dungu itupun sadar. Tingkat kesadaran yang dia alami kali ini melebihi kesadaran yang pernah dia temui. Sebuah kesadaran nyata akan sebuah tindakan yang terlihat berani dan menawan, namun itu sebenarnya adalah sebuah kebodohan. Yang hanya orang gila sejak lahir yang rela melakukan, itupun saat dia dalam keadaan gila seutuhnya.


Cinta memang datang ketika cinta membutuhkan cinta.

Pria itu merasa dirinya sebagai bajingan tengik yang haus akan cinta. Cinta yang pernah menyakitinya, meludahi, dan menginjak kehormatannya. Tapi cinta itulah yang kini membangunkannya dari alam bawah sadar. Dia terbangun bahwa akan datang pagi, meskipun malam telah beberapa kali menidurkannya. Yakinlah, pagi itu indah. Tak ubahnya setetes air di padang gurun. Pagi datang membawa hari baru dan meninggalkan hari yang usang. Menyediakan beribu lembar kertas kosong yang siap kita tulis dengan kisah baru. Kisah tentang cinta. Meskipun cinta itu hanya untuk orang bodoh, lantas bukankan kebodohan adalah awal untuk belajar?


Cinta kita terjalin bukan karena sebuah ciuman. Bukan pula sebuah janji-janji kosong yang biasa terdengar. Bukan pula sebuah pelarian dariku yang tak sengaja menemukan dirimu. Juga bukan ketidak mampuan dirimu akan menemukan cinta. Cinta kita terbentuk dari sebuah jarak yang nyaris membuatku tak bisa melihat bekas noda jerawat yang pernah membuatmu merasa canggung. Jarak itulah yang malah menjadi kambing hitam perasaan kita. Bukankah cinta hanya akan terasa di dalam jarak?


Pria itu bertemu dengan seorang perempuan yang telah dia kenal sebelumnya. Sebuah pertemuan tidak langsung yang terjadi karena kecanggihan teknologi. Pertemuan biasa yang terjadi akibat perasaan nyaman dan saling mengisi kekosongan. Perasaan inilah yang nantinya membuat pria dan perempuan ini akhirnya bersama dalam jarak.

Dipertemukan oleh jarak, tak membuat mereka kehilangan sisi membahagiakan dalam bercinta. Kenikmatan setiap keromantisan yang mereka rasakan meski tak tersentuh sebuah kedekatan, begitu nikmat, nyaman, terlebih begitu nakal dan binal.

Malam setelah beberapa malam berlalu begitu saja. Tergantikan pagi dengan matahari. Sinar bulan yang dianggap begitu indah, tak lebih hanya sebuah bayangan sinar matahari. Apalah arti sebuah bayangan hitam pekat dengan lekuk samar, dibandingkan wujud nyata dari sebuah benda yang acap kali membuat kita terpanah?

“Aku harap kamu di rumah saat ini. jika tidak,” pria itu berfikir sejenak mencari kata romantis yang pas. Sebelum akhirnya dia melanjutkan ucapannya, “jika tidak, aku akan pulang dengan wajah lesu karena tak bisa bertemu.” Tukas pria itu lewat sebuah percakapan jarak jauh.

“Sepertinya kau harus menungguku sesaat. Bagaimana?” pinta si perempuan. “Tapi jika memang kau ingin bergegas, tak apa. Aku juga akan tertunduk layu karena tak bertemu.”

“Baiklah. Aku tak akan menunggumu. Aku akan bergegas sebenarnya. Tapi dalam hati, aku tak bisa membiarkanmu tertunduk lesu. Aku hanya ingin—.” pria itu tak menyelesaikan ucapannya.

“Tunggulah, aku tak akan membuatmu menunggu lama.” Perempuan itu kembali meminta untuk kedua kalinya dan bergegas menutup percakapan itu. Sedang si pria, menunggu di pinggir jalan dengan asyiknya memainkan putung rokoknya. Di sisi lain, si perempuan bergegas untuk segera menyelesaikan urusannya agar bisa bertemu dengan sosok yang telah memberikan cinta padanya dalam sebuah jarak.


“Apakah kau telah pergi tanpa pamit padaku?” tanya perempuan. Si perempuan telah sampai di kediamannya. “Jika begitu, lanjutkan langkah panjangmu. Jika kau masih ingin bertemu, aku telah berada di tempat yang ingin kau tuju saat ini.” Tukas perempuan itu sopan. Tak mengingkan lebih dari malam itu. Hanya saja, jika memang tak berkesempatan bertemu, kenapa kau ingin aku bergegas duhai malam gelap?

“Aku akan segera ke sana, tunggu saja! Sebenarnya aku tadi telah melihatmu bergegas. Aku sudah puas melihat rona merah wajahmu, meski sekilas….”

Belum kelar pria itu dengan ucapannya, perempuan itu telah memotongnya, “ke sinilah jika sudi, kau masih ingat bukan kediaman yang selama ini kugunakan untuk bercengkerama dengan jarak?”

“Baiklah!” ucap si pria parau.

Tak lama, mereka berdua akhirnya bertemu untuk kesekian kalinya setelah jarak menyatukan mereka. Sebuah pemandangan penuh rasa malu dan canggung tersaji lengkap malam itu. Angin dingin sesekali mengalir menyibak kebuntuan yang beberapa menit terjadi di antara mereka. Hewan malam kecil berlalu lalang seperti meledek mereka sinis. Semua yang ada malam itu tengah membicarakan sebuah pertemuan sepasang kekasih kasmaran ini. Satu kesimpulan besar berhasil ditarik oleh setiap yang menyaksikan pertemuan itu, apakah sebuah ciuman akan berlangsung khidmat? Ataukah ciuman pertama mereka tak jua kembali terlaksana? Semua makhluk harap-harap cemas dengan apa yang terjadi setelahnya.


“Kau harus kuantarkan pulang,” pria itu menatap mantap mata si perempuan. “Jika tidak, mungkin lain kali aku tak sudi untuk sekedar berkunjung meski kau yang meminta.” Keberanian pria itu kembali hadir dalam hidupnya, tapi juga secepat cahaya keberanian itu menghilang. Tatapan mantap yang berlansung hanya sepersekian detik, adalah buah keberanian.

“Baiklah. Sila kau mengantarkanku pulang. Hanya saja—kau harus menginap.” Perempuan itu memikirkan keselamatan si pria. Setelah mengantarkan dirinya pulang ke rumah, di tengah malam sunyi, pria itu juga akan melangkah pulang. Belum selesai perempuan itu berfikir, dia membuang jauh fikiran buruknya itu. “Setelah menghabiskan makanan ini, kita pulang.”

“Ya.” Pria itu setuju.

2 porsi makanan yang dipesan telah habis. Sebenarnya hanya pria itu yang berhasil menghabiskan masakan berkolesterol itu. Sedang si perempuan, bukan dia tak suka dengan makanan itu. Hanya saja, bukankah sudah menjadi ciri khas perempuan makan dengan porsi yang lebih sedikit?

“Mari kuantar pulang!” kata si pria mantap. “Tak ada penolakan kali ini, kau sudah mengatakan apa yang harus kuperbuat setelah jamuan makan ini selesai.” Sergap si pria sebelum perempuan itu kembali beralasan.

“Aku tahu,” tukas si perempuan itu getir. “Kenapa tak kau mulai dengan manghidupkan kendaraan yang akan mengantarkanku?” Perempuan itu berjalan mendekati motor yang tadi mengajaknya keluar dan kini akan mengantarkan dia pulang dengan malam.

“Bisakah kau tak khawatir setelah aku mengantarkan dirimu ke sangkar hangat dan nyaman?” pria itu memberikan sebuah pertanyaan yang sebenarnya dia sudah tahu jawabannya. “Ah sudahlah, mari kuantarkan pulang.”

Sepanjang perjalanan yang menghabiskan waktu 45 menit itu, hanya beberapa patah kata yang berhasil dihasilkan. Selebaihnya mereka lebih merasa nyaman dengan diam dan menikmati setiap bintang yang berhasil mereka berdua lewati. Si perempuan merasakan sebuah kehangatan serta rasa nyaman yang dia rindukan selama ini. Begitu juga si pria. Meski tak saling mengaku, namun malam itu adalah malam terindah yang pernah ada yang pernah mereka temui. Sebuah malam yang berjalan begitu capat tak seperti biasanya. Malam dengan aroma tubuh si perempuan yang tengah mengandung rindu. Malam selalu membawa kedinginan, percayalah sayang, ada sebuah kehangatan yang bisa kita rasakan jika kita bersama.

Perjumpaan yang telah lama ditunggu itu selesai. Bersamaan dengan ucapan selamat tinggal, mereka berdua melepas tatapan penuh peluh. Kerinduan yang selama ini berhasil mereka sikapi bijak, berubah menjadi sebuah kerinduan bernas yang setiap saat bisa meluap. Tak ubahnya sebuah tanggul besar, air yang berhasil disimpan suatu saat akan menghancurkannya. Dan saat itu adalah saat yang paling tak diinginkan. Sementara di sela menunggu saat itu, mengapa tak kau sikapi kerinduanmu dengan tak melabelinya sebagai milikmu, tapi lebih ke arah kerinduan akan sesuatu yang belum pernah kita alami dan jalani dengan harap-harap pasti kerinduan itu akan terjadi? []

Sabtu, 21 Februari 2015

Jika Saya ..., Maka Saya ...



Jika saya … maka saya …

Sebuah ungkapan penyesalan yang sering aku bahkan mungkin kalian dengar dari seseorang. Bahkan mungkin kalian juga sering mengatakannya. Biasanya ungkapan atau mungkin sebenarnya umpatan seperti itu diucapkan ketika seseorang merasa lebih baik, haromins, dan nyaman dengan kondisi yang dulu, daripada kondisi dirinya saat ini. Biasanya kondisi seperti itu terjadi karena sebuah penyesalan ketika sebuah keputusan telah diambil. Setelah keputusan yang dia ambil ternyata membuat dirinya semakin tak lebih baik (dalam arti luas). Saat itulah, seseorang dengan mudah mengatakan, “Jika saya … maka saya …”.


Aku adalah salah satu dari seseorang yang pernah juga sering mengatakan demikian. Namun karena keseringan mengatakan demikian, aku dibawa dalam keadaan berfikir keras atas apa yang aku sesali. Aku dibawa ke masa ketika aku merasa nyaman, merasa terjaga di dalam sebuah pagar besi baja kuat, serta merasa bahwa kehidupanku telah sempurna. Karena masa itu, aku sekarang tak lebihnya hanya seekor lalat. Dulunya lalat ini berada di tong sampah kecil dengan kawanannya. Kini lalat tersebut dibawa kesebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dengan berjuta kawanan lalat yang sebelumnya tak pernah dilihat oleh lalat kecil itu dan harus berebut makanan busuk.

Mau tak mau lalat kecil itu harus berusaha keras dan bersaing dengan lalat-lalat liar lainnya demi perutnya. Tak ubahnya lalat itu, aku sekarang dihadapkan oleh sebuah kondisi terasing, harus berjuang dengan sesekali merasa takjub dengan sekitar, dan juga tak seseorang pun kukenal serta mengenalku. “Sebagai manusia, pasti selalu ada alasan untuk menyalahkan kehidupan, nasib, juga waktu.” Dulu, ketika masih berada di tong sampah kecil. Kehidupanku terasa nyaman dan terjamin. Walaupun dengan gaji yang kepalang kecil, namun semua kebutuhanku bisa tercukupi. Pun, ketika tanggal-tanggal dewasa sering kali harus menyeretku untuk terseok-seok. Tapi aku telah berada di satu titik kenyamanan.

Tapi hari itu, hari yang akan merubah segalanya. Telah aku sebutkan, selalu ada alasan bagi manusia untuk menyalahkan kehidupan. Entah kenapa hatiku bergejolak dahsyat. Sebelum-sebelumnya gejolak ini juga sering kuhadapi dengan pemenang akhirnya adalah diriku. Biasanya aku sering mengucapkan kalimat-kalimat penyejuk hati yang pada akhirnya aku tahu bahwa kalimat-kalimat itu adalah kalimat kebohongan paling keji yang pernah ada. Jika WHO telah menyerukan kebohongan besar mengenai bahaya tembakau, dengan menyebutnya sebagai penyebab kanker paru-paru. Maka kebohongan terbesarku adalah membohongi diri sendiri agar gelombang gejolak bisa redup redam dan aku tetap merasa nyaman di tong sampah ciut ini.

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Pepatah kuno ini harus aku akui memang benar adanya. Meskipun kalimat penyejuk sering kali memenangkan pertarungan dalam hatiku. Akhirnya harus jatuh juga. Hari itu, gejolak itu menjadi pemenang tunggal. Bak pamain tinju dengan kemenangan K.O. nya, hari itu lalat itu terbang dengan mengibarkan bendera perang. Seorang diri menantang tong sampah ciut yang telah membesarkannya dengan kenyamanan. Tong sampah yang telah mendidiknya sebagai lalat yang dikenal kawanan lain. Tong sampah itu juga yang telah mengajarkannya menjadi lalat penuh ke-jaim-an. Hari itu, pagar besi baja digempur oleh gejolaknya. Keluar dengan penuh kebencian. Setiap sel darah merah tersimpan aroma barbar untuk menjatuhkan. Istilah menikmati intervensi pun telah dihapus dari benak lalat kecil itu. Hanya ada umpatan-umpatan “Aku harus terbang keluar!”

Lalat kecil telah memutuskan untuk berjuang dan terlepas dari lingkungan nyamannya. Terbang melintasi selat, mencoba bau sampah busuk tong sampah lain, sampai akhirnya dirinya harus merasakan injakan keras dari kehidupan yang sering kali dia jadikan kambing hitam.
 
Kehidupanku yang sekarang jika harus dibandingkan dengan kehidupanku yang dulu, memang terlihat aku lebih berguna dan lebih baik dari yang sekarang. Mungkin kaca mata orang-orang juga akan mengatakan demikian padaku. Dengan lantang mungkin mereka akan berteriak lantang, “kamu tak lebih berguna daripada kamu yang dulu. Kamu menyesal bukan?” Aku tak menyalahkan jika mereka berkata demikian. Bahkan aku berterima kasih. Pembelaan atas ejekan atau kritikan dari seseorang itu sudah pasti dilakukan. Hanya saja setiap pembelaan yang terbentuk, selalu mengerucut pada sebuah emosi dan tak mau menerima kritik. Aku mengiyakan hal itu. Saat ini aku memang tak berguna dan hanya berkeliaran dikisaran rumah. Menjadi seorang yang tak memiliki pekerjaan tetap. Penghasilan yang kudapatkan saja tak cukup jika hanya untuk membeli rokok kesukaanku. Apalagi jika aku dituntut untuk memikirkan masa depan, aku angkat tangan dan mengaku tak mampu. Jujur saja, semua impianku untuk menjadi orang kaya, saat ini masih belum bergerak ke arah mendekati. Bahkan, sekedar untuk melihat saldo di ATM saja aku tak berani.

Hidupku adalah hidup yang kujalani. Ah, banyak yang berkata demikian dan ujung-ujungnya emosi. Hidupku adalah apa yang aku lakukan saat ini. Terlalu naïf jika aku mengartikan kehidupan hanya sebatas itu. Tapi aku tak mampu untuk mengartikan apa sebenarnya kehidupan yang sedang aku jalani ini. Bahkan aku tak tahu siapa diriku ini. Mungkin kalian mengenalku sebagai sosok tampan, pandai, hebat berbahasa asing. Tapi apakah kalian tahu apa yang sebenarnya menjadi tanggung jawabku? Ah, sebuah pembelaan klasik dengan sedikit nada emosi. Sumpah, aku sebenarnya tak tahu harus melakukan pembelaan seperti apa. Adat istiadat ketika melakukan suatu pembelaan tak bisa kupenuhi sebagai tersangka. Setiap ucapan, hanya akan berujung pada sebuah kebohongan baru. Setiap pembelaan hanya akan berakar pada satu kondisi kemarahan. Aku hidup di jaman ketika mengatakan kebenaran akan dianggap sebagai hal wajar. Sebaliknya, jika aku berbohong, semuanya dituntut untuk jujur.

Satu hal pasti yang sekarang aku mencobanya. Mencoba menikmati setiap proses. Entah berapa lama proses itu berlangsung. Entah berapa kali aku harus menerima pertanyaan. Entah harus berapa kali lagi aku mengatakan, “jika saya … maka saya …”. 

Sebenarnya aku lelah untuk menjalani kehidupan dengan semua proses yang aku sendiri tak tahu hasilnya. Akupun kadang berfikiran dangkal, kenapa aku harus dilahirkan? Kadang penyesalan mengapa aku dilahirkan dari keluarga semacam ini. Semua bentuk penyesalan telah aku hafal dan mahir kulakukan. Hanya saja, seperti yang aku bilang di paragraf-paragraf awal, setiap penyesalan yang kulakukan, hanya akan menambah daftar buruk hidupku. Hanya memperkeruh fikiranku dengan gambaran porno masa lalu.

Dan akhirnya, mau tak mau aku harus mengakui diriku sebagai pecundang yang acap kali genjatan senjata terjadi. Terima kasih, kali ini aku memang pecundang. Aku menyukai hidupku. Bahkan meskipun aku mengalami peristiwa buruk dan atau melakukan hal buruk. Aku tak bisa berhenti menyukainya.

Mengenang Lasem 1 tahun yang lalu dalam balutan pagar besi berwarna hijau pupus.[] masupik