Sabtu, 21 Februari 2015

Jika Saya ..., Maka Saya ...



Jika saya … maka saya …

Sebuah ungkapan penyesalan yang sering aku bahkan mungkin kalian dengar dari seseorang. Bahkan mungkin kalian juga sering mengatakannya. Biasanya ungkapan atau mungkin sebenarnya umpatan seperti itu diucapkan ketika seseorang merasa lebih baik, haromins, dan nyaman dengan kondisi yang dulu, daripada kondisi dirinya saat ini. Biasanya kondisi seperti itu terjadi karena sebuah penyesalan ketika sebuah keputusan telah diambil. Setelah keputusan yang dia ambil ternyata membuat dirinya semakin tak lebih baik (dalam arti luas). Saat itulah, seseorang dengan mudah mengatakan, “Jika saya … maka saya …”.


Aku adalah salah satu dari seseorang yang pernah juga sering mengatakan demikian. Namun karena keseringan mengatakan demikian, aku dibawa dalam keadaan berfikir keras atas apa yang aku sesali. Aku dibawa ke masa ketika aku merasa nyaman, merasa terjaga di dalam sebuah pagar besi baja kuat, serta merasa bahwa kehidupanku telah sempurna. Karena masa itu, aku sekarang tak lebihnya hanya seekor lalat. Dulunya lalat ini berada di tong sampah kecil dengan kawanannya. Kini lalat tersebut dibawa kesebuah Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dengan berjuta kawanan lalat yang sebelumnya tak pernah dilihat oleh lalat kecil itu dan harus berebut makanan busuk.

Mau tak mau lalat kecil itu harus berusaha keras dan bersaing dengan lalat-lalat liar lainnya demi perutnya. Tak ubahnya lalat itu, aku sekarang dihadapkan oleh sebuah kondisi terasing, harus berjuang dengan sesekali merasa takjub dengan sekitar, dan juga tak seseorang pun kukenal serta mengenalku. “Sebagai manusia, pasti selalu ada alasan untuk menyalahkan kehidupan, nasib, juga waktu.” Dulu, ketika masih berada di tong sampah kecil. Kehidupanku terasa nyaman dan terjamin. Walaupun dengan gaji yang kepalang kecil, namun semua kebutuhanku bisa tercukupi. Pun, ketika tanggal-tanggal dewasa sering kali harus menyeretku untuk terseok-seok. Tapi aku telah berada di satu titik kenyamanan.

Tapi hari itu, hari yang akan merubah segalanya. Telah aku sebutkan, selalu ada alasan bagi manusia untuk menyalahkan kehidupan. Entah kenapa hatiku bergejolak dahsyat. Sebelum-sebelumnya gejolak ini juga sering kuhadapi dengan pemenang akhirnya adalah diriku. Biasanya aku sering mengucapkan kalimat-kalimat penyejuk hati yang pada akhirnya aku tahu bahwa kalimat-kalimat itu adalah kalimat kebohongan paling keji yang pernah ada. Jika WHO telah menyerukan kebohongan besar mengenai bahaya tembakau, dengan menyebutnya sebagai penyebab kanker paru-paru. Maka kebohongan terbesarku adalah membohongi diri sendiri agar gelombang gejolak bisa redup redam dan aku tetap merasa nyaman di tong sampah ciut ini.

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Pepatah kuno ini harus aku akui memang benar adanya. Meskipun kalimat penyejuk sering kali memenangkan pertarungan dalam hatiku. Akhirnya harus jatuh juga. Hari itu, gejolak itu menjadi pemenang tunggal. Bak pamain tinju dengan kemenangan K.O. nya, hari itu lalat itu terbang dengan mengibarkan bendera perang. Seorang diri menantang tong sampah ciut yang telah membesarkannya dengan kenyamanan. Tong sampah yang telah mendidiknya sebagai lalat yang dikenal kawanan lain. Tong sampah itu juga yang telah mengajarkannya menjadi lalat penuh ke-jaim-an. Hari itu, pagar besi baja digempur oleh gejolaknya. Keluar dengan penuh kebencian. Setiap sel darah merah tersimpan aroma barbar untuk menjatuhkan. Istilah menikmati intervensi pun telah dihapus dari benak lalat kecil itu. Hanya ada umpatan-umpatan “Aku harus terbang keluar!”

Lalat kecil telah memutuskan untuk berjuang dan terlepas dari lingkungan nyamannya. Terbang melintasi selat, mencoba bau sampah busuk tong sampah lain, sampai akhirnya dirinya harus merasakan injakan keras dari kehidupan yang sering kali dia jadikan kambing hitam.
 
Kehidupanku yang sekarang jika harus dibandingkan dengan kehidupanku yang dulu, memang terlihat aku lebih berguna dan lebih baik dari yang sekarang. Mungkin kaca mata orang-orang juga akan mengatakan demikian padaku. Dengan lantang mungkin mereka akan berteriak lantang, “kamu tak lebih berguna daripada kamu yang dulu. Kamu menyesal bukan?” Aku tak menyalahkan jika mereka berkata demikian. Bahkan aku berterima kasih. Pembelaan atas ejekan atau kritikan dari seseorang itu sudah pasti dilakukan. Hanya saja setiap pembelaan yang terbentuk, selalu mengerucut pada sebuah emosi dan tak mau menerima kritik. Aku mengiyakan hal itu. Saat ini aku memang tak berguna dan hanya berkeliaran dikisaran rumah. Menjadi seorang yang tak memiliki pekerjaan tetap. Penghasilan yang kudapatkan saja tak cukup jika hanya untuk membeli rokok kesukaanku. Apalagi jika aku dituntut untuk memikirkan masa depan, aku angkat tangan dan mengaku tak mampu. Jujur saja, semua impianku untuk menjadi orang kaya, saat ini masih belum bergerak ke arah mendekati. Bahkan, sekedar untuk melihat saldo di ATM saja aku tak berani.

Hidupku adalah hidup yang kujalani. Ah, banyak yang berkata demikian dan ujung-ujungnya emosi. Hidupku adalah apa yang aku lakukan saat ini. Terlalu naïf jika aku mengartikan kehidupan hanya sebatas itu. Tapi aku tak mampu untuk mengartikan apa sebenarnya kehidupan yang sedang aku jalani ini. Bahkan aku tak tahu siapa diriku ini. Mungkin kalian mengenalku sebagai sosok tampan, pandai, hebat berbahasa asing. Tapi apakah kalian tahu apa yang sebenarnya menjadi tanggung jawabku? Ah, sebuah pembelaan klasik dengan sedikit nada emosi. Sumpah, aku sebenarnya tak tahu harus melakukan pembelaan seperti apa. Adat istiadat ketika melakukan suatu pembelaan tak bisa kupenuhi sebagai tersangka. Setiap ucapan, hanya akan berujung pada sebuah kebohongan baru. Setiap pembelaan hanya akan berakar pada satu kondisi kemarahan. Aku hidup di jaman ketika mengatakan kebenaran akan dianggap sebagai hal wajar. Sebaliknya, jika aku berbohong, semuanya dituntut untuk jujur.

Satu hal pasti yang sekarang aku mencobanya. Mencoba menikmati setiap proses. Entah berapa lama proses itu berlangsung. Entah berapa kali aku harus menerima pertanyaan. Entah harus berapa kali lagi aku mengatakan, “jika saya … maka saya …”. 

Sebenarnya aku lelah untuk menjalani kehidupan dengan semua proses yang aku sendiri tak tahu hasilnya. Akupun kadang berfikiran dangkal, kenapa aku harus dilahirkan? Kadang penyesalan mengapa aku dilahirkan dari keluarga semacam ini. Semua bentuk penyesalan telah aku hafal dan mahir kulakukan. Hanya saja, seperti yang aku bilang di paragraf-paragraf awal, setiap penyesalan yang kulakukan, hanya akan menambah daftar buruk hidupku. Hanya memperkeruh fikiranku dengan gambaran porno masa lalu.

Dan akhirnya, mau tak mau aku harus mengakui diriku sebagai pecundang yang acap kali genjatan senjata terjadi. Terima kasih, kali ini aku memang pecundang. Aku menyukai hidupku. Bahkan meskipun aku mengalami peristiwa buruk dan atau melakukan hal buruk. Aku tak bisa berhenti menyukainya.

Mengenang Lasem 1 tahun yang lalu dalam balutan pagar besi berwarna hijau pupus.[] masupik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))