Jika saya … maka saya …
Sebuah ungkapan penyesalan yang sering aku bahkan mungkin
kalian dengar dari seseorang. Bahkan mungkin kalian juga sering mengatakannya.
Biasanya ungkapan atau mungkin sebenarnya umpatan seperti itu diucapkan ketika
seseorang merasa lebih baik, haromins, dan nyaman dengan kondisi yang dulu,
daripada kondisi dirinya saat ini. Biasanya kondisi seperti itu terjadi karena
sebuah penyesalan ketika sebuah keputusan telah diambil. Setelah keputusan yang
dia ambil ternyata membuat dirinya semakin tak lebih baik (dalam arti luas).
Saat itulah, seseorang dengan mudah mengatakan, “Jika saya … maka saya …”.
Aku adalah salah satu dari seseorang yang pernah juga sering
mengatakan demikian. Namun karena keseringan mengatakan demikian, aku dibawa
dalam keadaan berfikir keras atas apa yang aku sesali. Aku dibawa ke masa
ketika aku merasa nyaman, merasa terjaga di dalam sebuah pagar besi baja kuat,
serta merasa bahwa kehidupanku telah sempurna. Karena masa itu, aku sekarang
tak lebihnya hanya seekor lalat. Dulunya lalat ini berada di tong sampah kecil
dengan kawanannya. Kini lalat tersebut dibawa kesebuah Tempat Pembuangan Akhir
(TPA), dengan berjuta kawanan lalat yang sebelumnya tak pernah dilihat oleh
lalat kecil itu dan harus berebut makanan busuk.
Mau tak mau lalat kecil itu harus berusaha keras dan
bersaing dengan lalat-lalat liar lainnya demi perutnya. Tak ubahnya lalat itu,
aku sekarang dihadapkan oleh sebuah kondisi terasing, harus berjuang dengan
sesekali merasa takjub dengan sekitar, dan juga tak seseorang pun kukenal serta
mengenalku. “Sebagai manusia, pasti selalu ada alasan untuk menyalahkan
kehidupan, nasib, juga waktu.” Dulu, ketika masih berada di tong sampah
kecil. Kehidupanku terasa nyaman dan terjamin. Walaupun dengan gaji yang kepalang
kecil, namun semua kebutuhanku bisa tercukupi. Pun, ketika tanggal-tanggal
dewasa sering kali harus menyeretku untuk terseok-seok. Tapi aku telah berada
di satu titik kenyamanan.
Tapi hari itu, hari yang akan merubah segalanya. Telah aku sebutkan, selalu ada alasan bagi manusia untuk menyalahkan
kehidupan. Entah kenapa hatiku bergejolak dahsyat. Sebelum-sebelumnya
gejolak ini juga sering kuhadapi dengan pemenang akhirnya adalah diriku.
Biasanya aku sering mengucapkan kalimat-kalimat penyejuk hati yang pada
akhirnya aku tahu bahwa kalimat-kalimat itu adalah kalimat kebohongan paling
keji yang pernah ada. Jika WHO telah menyerukan kebohongan besar mengenai
bahaya tembakau, dengan menyebutnya sebagai penyebab kanker paru-paru. Maka kebohongan
terbesarku adalah membohongi diri sendiri agar gelombang gejolak bisa redup
redam dan aku tetap merasa nyaman di tong sampah ciut ini.
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.
Pepatah kuno ini harus aku akui memang benar adanya. Meskipun kalimat penyejuk
sering kali memenangkan pertarungan dalam hatiku. Akhirnya harus jatuh juga.
Hari itu, gejolak itu menjadi pemenang tunggal. Bak pamain tinju dengan
kemenangan K.O. nya, hari itu lalat itu terbang dengan mengibarkan bendera
perang. Seorang diri menantang tong sampah ciut yang telah membesarkannya
dengan kenyamanan. Tong sampah yang telah mendidiknya sebagai lalat yang
dikenal kawanan lain. Tong sampah itu juga yang telah mengajarkannya menjadi
lalat penuh ke-jaim-an. Hari itu, pagar besi baja digempur oleh gejolaknya.
Keluar dengan penuh kebencian. Setiap sel darah merah tersimpan aroma barbar
untuk menjatuhkan. Istilah menikmati intervensi pun telah dihapus dari benak
lalat kecil itu. Hanya ada umpatan-umpatan “Aku harus terbang keluar!”
Lalat kecil telah memutuskan untuk berjuang dan terlepas
dari lingkungan nyamannya. Terbang melintasi selat, mencoba bau sampah busuk
tong sampah lain, sampai akhirnya dirinya harus merasakan injakan keras dari
kehidupan yang sering kali dia jadikan kambing hitam.
Kehidupanku yang sekarang jika harus dibandingkan dengan
kehidupanku yang dulu, memang terlihat aku lebih berguna dan lebih baik dari
yang sekarang. Mungkin kaca mata orang-orang juga akan mengatakan demikian
padaku. Dengan lantang mungkin mereka akan berteriak lantang, “kamu tak lebih
berguna daripada kamu yang dulu. Kamu menyesal bukan?” Aku tak menyalahkan jika
mereka berkata demikian. Bahkan aku berterima kasih. Pembelaan atas ejekan
atau kritikan dari seseorang itu sudah pasti dilakukan. Hanya saja setiap
pembelaan yang terbentuk, selalu mengerucut pada sebuah emosi dan tak mau
menerima kritik. Aku mengiyakan hal itu. Saat ini aku memang tak berguna dan
hanya berkeliaran dikisaran rumah. Menjadi seorang yang tak memiliki pekerjaan
tetap. Penghasilan yang kudapatkan saja tak cukup jika hanya untuk membeli
rokok kesukaanku. Apalagi jika aku dituntut untuk memikirkan masa depan, aku
angkat tangan dan mengaku tak mampu. Jujur saja, semua impianku untuk menjadi
orang kaya, saat ini masih belum bergerak ke arah mendekati. Bahkan, sekedar
untuk melihat saldo di ATM saja aku tak berani.
Hidupku adalah hidup yang kujalani. Ah, banyak yang berkata
demikian dan ujung-ujungnya emosi. Hidupku adalah apa yang aku lakukan saat
ini. Terlalu naïf jika aku mengartikan kehidupan hanya sebatas itu. Tapi aku
tak mampu untuk mengartikan apa sebenarnya kehidupan yang sedang aku jalani
ini. Bahkan aku tak tahu siapa diriku ini. Mungkin kalian mengenalku sebagai
sosok tampan, pandai, hebat berbahasa asing. Tapi apakah kalian tahu apa yang
sebenarnya menjadi tanggung jawabku? Ah, sebuah pembelaan klasik dengan sedikit
nada emosi. Sumpah, aku sebenarnya tak tahu harus melakukan pembelaan seperti
apa. Adat istiadat ketika melakukan suatu pembelaan tak bisa kupenuhi sebagai
tersangka. Setiap ucapan, hanya akan berujung pada sebuah kebohongan baru.
Setiap pembelaan hanya akan berakar pada satu kondisi kemarahan. Aku hidup
di jaman ketika mengatakan kebenaran akan dianggap sebagai hal wajar.
Sebaliknya, jika aku berbohong, semuanya dituntut untuk jujur.
Satu hal pasti yang sekarang aku mencobanya. Mencoba
menikmati setiap proses. Entah berapa lama proses itu berlangsung. Entah berapa
kali aku harus menerima pertanyaan. Entah harus berapa kali lagi aku
mengatakan, “jika saya … maka saya …”.
Sebenarnya aku lelah untuk menjalani kehidupan dengan semua
proses yang aku sendiri tak tahu hasilnya. Akupun kadang berfikiran dangkal,
kenapa aku harus dilahirkan? Kadang penyesalan mengapa aku dilahirkan dari
keluarga semacam ini. Semua bentuk penyesalan telah aku hafal dan mahir
kulakukan. Hanya saja, seperti yang aku bilang di paragraf-paragraf awal,
setiap penyesalan yang kulakukan, hanya akan menambah daftar buruk hidupku. Hanya
memperkeruh fikiranku dengan gambaran porno masa lalu.
Dan akhirnya, mau tak mau aku harus mengakui diriku sebagai
pecundang yang acap kali genjatan senjata terjadi. Terima kasih, kali ini aku
memang pecundang. Aku menyukai hidupku. Bahkan meskipun aku mengalami peristiwa buruk dan atau melakukan hal buruk. Aku tak bisa berhenti menyukainya.
Mengenang Lasem 1 tahun yang lalu
dalam balutan pagar besi berwarna hijau pupus.[] masupik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))