Senin, 23 Februari 2015

Perempuan Romantis Dan Pria Bodoh



Mengingat dirimu begitu mudah dan tersaji begitu banyak cara. Mengapa melupakanmu begitu menyiksa?

Itu bukan hanya sebuah petuah klasik dan antik. Ah, bahkan terlalu bijak jika itu dikatakan sebuah petuah. Umpatan, lebih tepatnya. Itu adalah sebuah kebenaran yang kini nilainya tak begitu berharga. Umpatan seperti itu akan sering terdengar dari mulut seseorang yang tengah dilanda jatuh cinta. Hanya cintanya harus dia relakan begitu saja karena si perempuan tak memberikan sikap cinta. Begitu banyak cara untuk sekedar teringat kembali terhadap sebuah kenangan. Entah bagaimana bentuk kenangan itu, tapi bukankah setiap kenangan memang sudah sepantasnya untuk dikenang?


Aku terhentak, terhempas oleh sebuah ingatan janggal yang sering membuatku merasa mual. Aku dibawa jauh kembali ke alam kenangan pahit yang sempat membuatku ke titik paling lemah dalam hidupku. Sebuah kejadian memalukan untuk seorang aku yang sering dianggap pria lain mudah untuk mendapatkan pasangan.

Aku ingat malam itu. sebuah malam biasa seperti malam-malam yang pernah terjadi. Bintang bersinar, cahaya bulan yang untuk sementara waktu harus menghilang, langit gelap. Pemandangan langit yang begitu biasa. Ditambah banyaknya manusia berlalu lalang karena pagi harinya mereka telah merayakan sebuah kemenangan besar. Sebuah kemengan yang terjadi setiap tahun. Sebuah kemenangan akan proses pengekangan nafsu yang biasa diumbar, tapi harus ditahan dalam jangka waktu genap satu bulan. Dan malam itu adalah malam pertama bebasnya nafsu yang telah dilatih.


Malam itu pula juga menjadi saksi bagi seorang pria. Seorang pria biasa, tak memiliki kelebihan dan kehebatan apapun. Orang biasa yang dilahirkan dari Rahim seorang ibu, dan keluar menyapa dunia dengan tangisan. Pria ini seperti kebanyakan pria lainnya; menginginkan seorang perempuan untuk menjadi kekasih hatinya. Hanya yang sedikit membedakan, pria ini telah lama mencintai perempuan pujaannya tetapi selama itu pula dia tak berani menyatakannya.

Hanya saja, perasaan cintanya sudah tak bisa ditampung oleh ketakutan. Ketakutan yang selama ini telah membuatnya menyimpan rasa cintanya. Ketakutan yang selama ini telah memupuk perasaan cintanya. Hanya ketakutan lalai akan satu hal, bahwa segala sesuatu yang dipupuk dan disimpan, adakalanya akan tumbuh besar dan harus diperlihatkan. Malam itu adalah puncak kelalaian yang diperbuat ketakutan itu sendiri. Sampai akhirya, wadah penyimpanan dan pemupukan itu harus pecah, lisis, dan memang sudah waktunya hal yang disimpan itu diperlihatkan kepada yang dituju. Entah malam ini adalah malam yang tepat atau tidak, tapi inilah waktunya. This is show time.

Sekali lagi. Malam yang panjang penuh keromantisan harus terjadi. Menghentikan sejenak malam biasa, untuk meminta ruang tersendiri.


Tersbutlah seorang perempuan dari kaum bangsawan terkenal di kotanya. Maaf sebelumnya, ini bukan cerita novel terjemahan klasik yang akan menceritakan sebuah peradaban kuno. Sebuah peradaban yang banyak sekali aturan, perintah, dan larangan. Ini adalah sebuah kisah dengan atau tanpa sebuah norma. Apakah pantas, seorang perempuan keluar pada malam hari bersama seseorang yang belum memiliki hak atas perempuan?

Malam itu harapan besar atas diterimanya perasaan si pria sangatlah besar. Sampai dia tak bisa membedakan antara sebuah keberanian atau kedunguan. Dia memang telah tampak berani menyatakan perasaan cintanya yang terpendam selama ini. Di sisi lain, dia lupa, bahwa perasaan itu adalah perasaan beberapa tahun yang lalu. Yang berarti, selama perasaan itu terpendam, ada berjuta lembar kisah yang telah dia alami, tak terkecuali kisah cinta yang sempat dia jalani dengan perempuan lain.

Malam itu, dia menjadi seorang pria rabun. Dia tak mengenal dirinya sendiri yang sebenarnya membuat si perempuan mencintainya. Dia lupa pada kenyataan, bahwa telah banyak kisah dan pria silih berganti mengenal perempuan itu. Dia pikun, bahwa sebelumnya telah banyak peristiwa yang membuatnya merasa bersalah di waktu itu. ‘Waktu itu’ adalah sebutan bagi si pria itu, karena sebuah kebodohan super besar telah dia lakukan. Sebuah kebodohan yang akhirnya membuat perasaannya harus terpendam jauh ke dalam. Tertumpuk berjuta kisah, usang, berdebu, dan naasnya perasaan itu tumbuh setiap harinya.

Pria itu menyatakan perasaan yang selama ini terpendam kepada perempuannya. Perempuan keji yang sudah berekali-kali sebagai alasan rusaknya kisah cinta si pria. Perempuan manis itu tak ubahnya iblis bersayap malaikat. Terbang di atas pria kasmaran sembari menaburkan pupuk untuk perasaan pria yang telah usang, menyirami dengan kerinduan mendalam, serta membiarkan tumbuh tinggi sampai menjulang. Namun setelah tumbuh indah, lantas dia menjadi iblis yang menebang habis tanpa ampun perasaan itu. Kata-katanya sungguh manis. Manis yang melebihi madu. Tapi terasa pahit bahkan membawa berjuta penyakit pembunuh. Perasaan yang telah dipupuknya, kini dia juga yang merusaknya. Menyisakan akar yang telah bersatu dengan tanah. Besar, kuat, dan tak bisa hilang meski pohonnya telah tumbang. Malam itu menjadi saksi sebuah kenyataan pahit yang harus diterima pria kasmaran. Malang sekali nasibmu. Entah kau terlalu bodoh, atau perempuan itu begitu menakjubkan. Cinta tak pernah ada—yang ada hanyalah gairah dalam berbagai tingkatan, yang bagi perempuan romantis dan pria bodoh namakan “cinta”.

Setelah itu, pria dungu itupun sadar. Tingkat kesadaran yang dia alami kali ini melebihi kesadaran yang pernah dia temui. Sebuah kesadaran nyata akan sebuah tindakan yang terlihat berani dan menawan, namun itu sebenarnya adalah sebuah kebodohan. Yang hanya orang gila sejak lahir yang rela melakukan, itupun saat dia dalam keadaan gila seutuhnya.


Cinta memang datang ketika cinta membutuhkan cinta.

Pria itu merasa dirinya sebagai bajingan tengik yang haus akan cinta. Cinta yang pernah menyakitinya, meludahi, dan menginjak kehormatannya. Tapi cinta itulah yang kini membangunkannya dari alam bawah sadar. Dia terbangun bahwa akan datang pagi, meskipun malam telah beberapa kali menidurkannya. Yakinlah, pagi itu indah. Tak ubahnya setetes air di padang gurun. Pagi datang membawa hari baru dan meninggalkan hari yang usang. Menyediakan beribu lembar kertas kosong yang siap kita tulis dengan kisah baru. Kisah tentang cinta. Meskipun cinta itu hanya untuk orang bodoh, lantas bukankan kebodohan adalah awal untuk belajar?


Cinta kita terjalin bukan karena sebuah ciuman. Bukan pula sebuah janji-janji kosong yang biasa terdengar. Bukan pula sebuah pelarian dariku yang tak sengaja menemukan dirimu. Juga bukan ketidak mampuan dirimu akan menemukan cinta. Cinta kita terbentuk dari sebuah jarak yang nyaris membuatku tak bisa melihat bekas noda jerawat yang pernah membuatmu merasa canggung. Jarak itulah yang malah menjadi kambing hitam perasaan kita. Bukankah cinta hanya akan terasa di dalam jarak?


Pria itu bertemu dengan seorang perempuan yang telah dia kenal sebelumnya. Sebuah pertemuan tidak langsung yang terjadi karena kecanggihan teknologi. Pertemuan biasa yang terjadi akibat perasaan nyaman dan saling mengisi kekosongan. Perasaan inilah yang nantinya membuat pria dan perempuan ini akhirnya bersama dalam jarak.

Dipertemukan oleh jarak, tak membuat mereka kehilangan sisi membahagiakan dalam bercinta. Kenikmatan setiap keromantisan yang mereka rasakan meski tak tersentuh sebuah kedekatan, begitu nikmat, nyaman, terlebih begitu nakal dan binal.

Malam setelah beberapa malam berlalu begitu saja. Tergantikan pagi dengan matahari. Sinar bulan yang dianggap begitu indah, tak lebih hanya sebuah bayangan sinar matahari. Apalah arti sebuah bayangan hitam pekat dengan lekuk samar, dibandingkan wujud nyata dari sebuah benda yang acap kali membuat kita terpanah?

“Aku harap kamu di rumah saat ini. jika tidak,” pria itu berfikir sejenak mencari kata romantis yang pas. Sebelum akhirnya dia melanjutkan ucapannya, “jika tidak, aku akan pulang dengan wajah lesu karena tak bisa bertemu.” Tukas pria itu lewat sebuah percakapan jarak jauh.

“Sepertinya kau harus menungguku sesaat. Bagaimana?” pinta si perempuan. “Tapi jika memang kau ingin bergegas, tak apa. Aku juga akan tertunduk layu karena tak bertemu.”

“Baiklah. Aku tak akan menunggumu. Aku akan bergegas sebenarnya. Tapi dalam hati, aku tak bisa membiarkanmu tertunduk lesu. Aku hanya ingin—.” pria itu tak menyelesaikan ucapannya.

“Tunggulah, aku tak akan membuatmu menunggu lama.” Perempuan itu kembali meminta untuk kedua kalinya dan bergegas menutup percakapan itu. Sedang si pria, menunggu di pinggir jalan dengan asyiknya memainkan putung rokoknya. Di sisi lain, si perempuan bergegas untuk segera menyelesaikan urusannya agar bisa bertemu dengan sosok yang telah memberikan cinta padanya dalam sebuah jarak.


“Apakah kau telah pergi tanpa pamit padaku?” tanya perempuan. Si perempuan telah sampai di kediamannya. “Jika begitu, lanjutkan langkah panjangmu. Jika kau masih ingin bertemu, aku telah berada di tempat yang ingin kau tuju saat ini.” Tukas perempuan itu sopan. Tak mengingkan lebih dari malam itu. Hanya saja, jika memang tak berkesempatan bertemu, kenapa kau ingin aku bergegas duhai malam gelap?

“Aku akan segera ke sana, tunggu saja! Sebenarnya aku tadi telah melihatmu bergegas. Aku sudah puas melihat rona merah wajahmu, meski sekilas….”

Belum kelar pria itu dengan ucapannya, perempuan itu telah memotongnya, “ke sinilah jika sudi, kau masih ingat bukan kediaman yang selama ini kugunakan untuk bercengkerama dengan jarak?”

“Baiklah!” ucap si pria parau.

Tak lama, mereka berdua akhirnya bertemu untuk kesekian kalinya setelah jarak menyatukan mereka. Sebuah pemandangan penuh rasa malu dan canggung tersaji lengkap malam itu. Angin dingin sesekali mengalir menyibak kebuntuan yang beberapa menit terjadi di antara mereka. Hewan malam kecil berlalu lalang seperti meledek mereka sinis. Semua yang ada malam itu tengah membicarakan sebuah pertemuan sepasang kekasih kasmaran ini. Satu kesimpulan besar berhasil ditarik oleh setiap yang menyaksikan pertemuan itu, apakah sebuah ciuman akan berlangsung khidmat? Ataukah ciuman pertama mereka tak jua kembali terlaksana? Semua makhluk harap-harap cemas dengan apa yang terjadi setelahnya.


“Kau harus kuantarkan pulang,” pria itu menatap mantap mata si perempuan. “Jika tidak, mungkin lain kali aku tak sudi untuk sekedar berkunjung meski kau yang meminta.” Keberanian pria itu kembali hadir dalam hidupnya, tapi juga secepat cahaya keberanian itu menghilang. Tatapan mantap yang berlansung hanya sepersekian detik, adalah buah keberanian.

“Baiklah. Sila kau mengantarkanku pulang. Hanya saja—kau harus menginap.” Perempuan itu memikirkan keselamatan si pria. Setelah mengantarkan dirinya pulang ke rumah, di tengah malam sunyi, pria itu juga akan melangkah pulang. Belum selesai perempuan itu berfikir, dia membuang jauh fikiran buruknya itu. “Setelah menghabiskan makanan ini, kita pulang.”

“Ya.” Pria itu setuju.

2 porsi makanan yang dipesan telah habis. Sebenarnya hanya pria itu yang berhasil menghabiskan masakan berkolesterol itu. Sedang si perempuan, bukan dia tak suka dengan makanan itu. Hanya saja, bukankah sudah menjadi ciri khas perempuan makan dengan porsi yang lebih sedikit?

“Mari kuantar pulang!” kata si pria mantap. “Tak ada penolakan kali ini, kau sudah mengatakan apa yang harus kuperbuat setelah jamuan makan ini selesai.” Sergap si pria sebelum perempuan itu kembali beralasan.

“Aku tahu,” tukas si perempuan itu getir. “Kenapa tak kau mulai dengan manghidupkan kendaraan yang akan mengantarkanku?” Perempuan itu berjalan mendekati motor yang tadi mengajaknya keluar dan kini akan mengantarkan dia pulang dengan malam.

“Bisakah kau tak khawatir setelah aku mengantarkan dirimu ke sangkar hangat dan nyaman?” pria itu memberikan sebuah pertanyaan yang sebenarnya dia sudah tahu jawabannya. “Ah sudahlah, mari kuantarkan pulang.”

Sepanjang perjalanan yang menghabiskan waktu 45 menit itu, hanya beberapa patah kata yang berhasil dihasilkan. Selebaihnya mereka lebih merasa nyaman dengan diam dan menikmati setiap bintang yang berhasil mereka berdua lewati. Si perempuan merasakan sebuah kehangatan serta rasa nyaman yang dia rindukan selama ini. Begitu juga si pria. Meski tak saling mengaku, namun malam itu adalah malam terindah yang pernah ada yang pernah mereka temui. Sebuah malam yang berjalan begitu capat tak seperti biasanya. Malam dengan aroma tubuh si perempuan yang tengah mengandung rindu. Malam selalu membawa kedinginan, percayalah sayang, ada sebuah kehangatan yang bisa kita rasakan jika kita bersama.

Perjumpaan yang telah lama ditunggu itu selesai. Bersamaan dengan ucapan selamat tinggal, mereka berdua melepas tatapan penuh peluh. Kerinduan yang selama ini berhasil mereka sikapi bijak, berubah menjadi sebuah kerinduan bernas yang setiap saat bisa meluap. Tak ubahnya sebuah tanggul besar, air yang berhasil disimpan suatu saat akan menghancurkannya. Dan saat itu adalah saat yang paling tak diinginkan. Sementara di sela menunggu saat itu, mengapa tak kau sikapi kerinduanmu dengan tak melabelinya sebagai milikmu, tapi lebih ke arah kerinduan akan sesuatu yang belum pernah kita alami dan jalani dengan harap-harap pasti kerinduan itu akan terjadi? []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))