Jumat, 27 Februari 2015

Hawa Dingin Dan Bahasa Sunda



Hawa dingin kota Bogor tetap terasa meskipun hari telah siang. Apalagi jika beberapa hari yang lalu hujan sempat mengguyur selama 24 jam nonstop. Imbasnya, air tanah yang sebelumnya sudah dingin menjadi lebih dingin lagi.

Beberapa hari yang lalu aku tak sengaja ada interview di bilangan Senayan, tepatnya di Jalan Asia-Afrika gedung Panin Tower. Lokasi rumah dengan tempat wawancara mengharuskanku bangun dan mandi lebih pagi dari biasanya. Sebenarnya tak ada yang aneh dengan semua itu. Sampai aku masuk ke kamar mandi dengan membawa air panas mendidih, baru diangkat dari kompor. Perbandingan air dingin dengan air panas mendidih kira-kira 3:2. 3 untuk air dingin di bak mandi, 2 untuk air panas hasil rebusan di atas kompor.

Dari pengalamanku sebelum-sebelumnya, perbandingan 3:2 akan menghasilkan air dengan suhu hangat. Bahkan untuk sebagian kulit badan yang tipis, air itu masih terasa panas. Tapi naas, perbandingan itu tak berlaku di sini. Air panas yang aku campurkan di bak mandi, sama sekali tak bekerja. Air di bak mandi masih sedingin sebelum kucampurkan air panas mendidih. Walhasil, aku kedinginan.

Masalah hawa dingin tak bisa kupungkiri. Selain itu, bahasa keseharian yang dipakai juga membuatku menjadi orang gila seutuhnya. Bahasa Sunda adalah bahasa paling menakjubkan yang pernah aku temui. Dulu, sewaktu di Sumatra, sedikit banyak aku masih bisa bercengkerama asyik dengan tetangga sekitar. Tapi di sini, aku hanya menjadi orang yang akan tertawa jika ada tetangga  mengajakku bercengkerama. Bukan, aku bukan meremehkan atau tak menghargai orang yang bicara. Aku hanya tak mengerti apa yang dibicarakan. Sama sekali tak mengerti. Selain kosa kata yang masih asing di telinga, penyampaiannya juga sangat cepat. Sumpah, ini adalah kali pertama aku merasa menjadi orang gila seutuhnya.

Pernah waktu itu ayah mengajakku bermain badminton. Meskipun tak terlalu jago, kalau hanya untuk memukul kok, bisalah. Waktu pemanasan, pak Dayat yang menjadi lawanku, mengajakku mencairkan suasana dengan bertanya sesuatu padaku. Kukatakan ‘sesuatu’ karena aku tak mengerti apa yang dibicarakan pak Dayat. Benar, alunan kosa kata bahasa Sunda kelas expert ditunjukkan oleh pak Dayat yang memang berdarah asli Sunda. Karena aku harus menghormati orang yang mengajak bicara, akupun menatap dalam mata pak Dayat sembari raket memukul kok. Terlihat dari mata pak Dayat sebuah kebingungan besar melanda. Sebuah kebingungan yang terjadi karena aku sama sekali tak menjawab setiap ucapan yang keluar dari bibir pak Dayat. Bahkan aku hanya tertawa berlagak paham dengan setiap ucapan beliau. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri untuk mengaku, “pak Dayat! Maaf ya pak, saya nggak bisa bahasa Sunda. Jadi tadi saya cuman bisa ketawa.”

Setelah kejadian di lapangan badminton itu, aku kembali dikagetkan.

Waktu itu, hari Jum’at. Sebagai lelaki yang bertanggung jawab pada kodrat yang telah diberikan, berangkatlah aku menunaikan shalat Jum’at. Letak masjid yang tak terlalu jauh dari rumah, kutempuh dengan berjalan kaki. Tak ada tanda-tanda akan sesuatu yang aneh.

Sesampainya di masjid, ternyata masih belum dimulai. Memang shaf yang ada telah terisi penuh. Bahkan sampai teras masjid juga sudah terisi penuh. Untungnya aku bisa duduk di dalam masjid. Sampai di sini belum ada keanehan. Bahkan aku sempat takjub. Biasanya, tepatnya di masjid yang pernah aku ikuti prosesi sholat Jum’atnya, tak ada namanya pembacaan shalawat bersama. Biasanya, orang-orang yang datang, kemudian asyik sendiri dengan ritual-ritual pendekatan kepada sang Pencipta, di dalam hati, lirih sekali. Tapi ini berbeda, shalawat yang dikumandangkan di masjid, secara kompak semua jama’ah melantunkannya. Dari yang duduk di shaf  pertama, sampai yang berangkat shalat hanya ikut-ikutan. Dari yang tua sampai anak-anak kecil yang berlarian, semua kompak melantunkan shalawat.
Setelah hampir 15 menit, akhirnya rangkaian shalat Jum’at dimulai. Adzan terdengar dari muadzin, dilanjutkan khotbah oleh khatib. Sewaktu khotbah berlangsung, di sinilah dimulainya keanehan. Mungkin ini hanya menurutku. Khotbah dengan bahasa Arab telah biasa kita dengar, meski kita sendiri tak begitu paham dengan isi khotbah. Tak ubahnya khotib satu ini, menggunakan bahasa Arab di awal khotbahnya. Namun setelah bahasa Arab, si khotib dengan suka rela membacakan terjemahan dari bahasa Arab yang dia ucapkan. Anehnya, bukan terjemahan bahasa Indonesia yang dia gunakan, tapi bahasa Sunda. Sontak mendengar itu, syaraf tertawaku sedikit tergelitik, aku pun tertawa kecil. Aku yang memang orang Jawa dengan bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian. Merasa aneh dan lucu dengan penggunaan bahasa Sunda ketika berkhotbah. Memang tak menjadi masalah, bahasa apapun semua dari sang Pencipta. Hanya memang aku yang tak terbiasa dan baru pertama kali mendengar khotbah dengan bahasa Sunda.
Kewajiban shalat Jum’at telah selesai. Bubaran jama’ah terlihat seperti sarang semut tersiram air. Aku berada di tengah sebuah lingkungan Sunda, yang harus bisa kuadaptasi agar aku tak terlihat aneh.

Banyak kejadian yang membuatku harus membuka mata berkali-kali agar bisa memahaminya. Kini aku berada di sebuah tempat yang jika aku tak beradaptasi, aku hanya akan seperti para turis yang berkunjung di sebuah pulau berpenghuni suku pedalaman. Turis tersebut memandang suku tersebut aneh, karena dalam penglihatannya, suku tersebut tak sama dengan dirinya. Tapi di lain sisi, turis tersebut lupa, bahwa dirinya-lah yang berbeda. Lingkungan turis tersebut adalah rumah bagi suku pedalaman, bukan rumahnya. Adat istiadat serta tata cara yang diterapkan adalah tata cara suku tersebut. Jika turis tadi tak mau dianggap aneh, seharusnya dia sedikit beradaptasi. Entah itu dari cara berpakaian, atau sekedar mengikuti tata cara yang berlaku. Seperti turis itulah aku. Jika aku menganggap mereka aneh, maka sebenarnya aku sendirilah yang aneh. Akupun harus beradaptasi, bukan mereka yang harus beradaptasi. Ini adalah rumah mereka dan aku adalah tamu. Meskipun tamu adalah raja, tapi tamu berkewajiban menghormati pemilik rumah. Bukankah begitu seharunya? []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))