Kamis, 15 September 2016

Tulisan Yang Tak Pernah Selesai



Beberapa tahun belakangan ini aku jadi suka menulis. Bukan menulis menggunakan pulpen sebagai alat tulis dan kertas sebagai media menulis. lebih tepatnya mengetik. Entah apa yang membuatku menjadi suka menulis. Padahal dulu sewaktu masih sekolah, kegiatan tulis menulis selalu kujauhi karena membosankan dan tak keren.

Pernah kala itu aku ikut lomba menulis cerpen. Tak tahu ada niat apa, saat itu aku mengacungkan tanganku untuk mendaftar sebagai peserta. Atau mungkin karena saat itu aku anak kos yang kehabisan uang, mendengar hadiah yang ditawarkan dari lomba cerpen tadi sehingga aku berani mengajukan diriku untuk menulis. entahlah, mungkin alasan kedua lebih masuk akal. “Cuma menulis, masak nggak bisa?”

Tulisan pertamaku sebanyak 3 lembar kertas A4 selesai dalam waktu 3 jam. Dari jam 9 sampai jam 12. Itupun harus pinjam laptop teman. Kelar menulis, kubaca lagi hasil tulisanku. “Ternyata bagus!” dalam benakku dengan percaya diri, kuanggap tulisan cerpenku itu bagus. Meskipun latar cerita yang kubuat meniru salah satu cerpen dari buku. Hanya latar cerita. Selebihnya seperti tema, tokoh, juga alurnya harus kupikir sendiri.

Paginya setelah dari rental komputer untuk mencetak hasil tulisanku. Langsung kuberikan pada guru bahasa Indonesia yang kala itu membawa kabar tentang lomba cerpen. Selesai. Aku tak memikirkan hasilnya. Meskipun dalam hati semoga menang dan dapat uang. Rasa percaya diriku bukan semata-mata datang. Aku semakin percaya kalau cerpenku bisa menang setelah si guru memberi tahu, cerpenku itu bagus. Sampai-sampai dia mengira, tulisanku itu hasil menyalin karya orang lain. “Kalau tak percaya, bu Dina—nama guru bahasa Indonesia—bisa tanya langsung dengan teman sekamar,” bantahku kala itu.

Sesuatu yang terlalu diinginkan jika tak tercapai, hasilnya hanya kekecewaan. Itulah yang kurasakan. Setelah hari di mana cerpenku dibilang bagus, tak ada kabar lagi. Seperti menguap begitu saja. Pergi begitu saja tanpa jejak. Seakan-akan lomba cerpen itu tak pernah ada. Kecewa. Kecewa. Kecewa tak dapat uang juara.

Sejak saat itu aku suka menulis. Meskipun tak menghasilkan tulisan, tapi minat membacaku tumbuh. Tentunya juga ada rasa bosan yang menyelinap masuk kemudian beranak pinak dan akhirnya enggan. Apalagi naik kelas 3 SMA dan harus dihadapkan dengan ujian akhir. Tak sempat membaca. Try out dan try out setiap harinya. Meskipun membaca, yang kubaca adalah buku-buku pelajaran yang tak imajinatif sama sekali. Saat itu aku kembali jauh dari menulis.


Sempat merasakan kuliah, aku kembali tertarik menulis. kadang juga mencari lomba-lomba cerpen di internet, novel, pokoknya lomba tentang tulis menulis. meskipun sering mengirim untuk lomba, satu hasilpun tak pernah kudapat. Mungkin sainganku adalah penulis-penulis hebat yang iseng ikut lomba untuk menghilangkan penatnya, pikirku. Tak hanya ikut lomba, aku masih menulis untuk menuruti keinginan saja. Sekedar menulis cerita sehari-hari. Kadang juga cerpen, kadang juga ceramah tak jelas dan berbelit-belit. Akhirnya, banyak sekali folder tulisanku di laptop. Tapi ada satu kesamaan dalam tulisanku, aku selalu mengulang kata-kata. Tak memiliki referensi kata adalah kelemahanku.

Banyak pula tulisan yang tak pernah kuselesaikan. Muncul ide brilian, buka laptop, mengetik barang setengah jam atau lebih kadang juga kurang, kemudian njeglek, buntu, dan hanya mengulang-ulang kalimat. Tak selesai, pencet tombol silang dipojok layar, save dan akhirnya tersimpan begitu saja. Hari setelahnya, berniat untuk melanjutkan tulisan yang tak selesai, sudah malas dan tak tahu jalan ceritanya. Pada akhirnya menumpuk. Apalagi di laptop ada beberapa koleksi film dewasa. Niat awalnya menulis, entah karena dorongan nafsu yang besar, ujung-ujungnya nonton film dewasa sampai berjam-jam. Mata pedih, mau menulis lagi sudah ogah. Padahal yang terketik baru judul. Tekan tombol silang dipojok, save dan akhirnya tersimpan begitu saja judulnya tanpa ada isinya.


Sejak suka dengan menulis itulah, aku jadi sering membeli buku bacaan. Entah itu novel, cerpen, bahkan buku filsafat. Entahlah, apa ada kegunaannya atau tidak. Yang penting aku beli. Untuk beberapa buku yang kuanggap menarik, biasanya akan kubaca sampai selesai. Bahkan membaca dua tiga kali lagi. Dan tak sedikit buku yang hanya separuh baca sudah malas melanjutkan. Entah aku yang malas, entah memang buku itu tak menarik bagiku.

Sampai-sampai karena menulis tadi, aku jadi ingin menjadi penulis. Membuat novel, menerbitkannya, mendapat royalty, ah jalan cerita yang diidam-idamkan banyak orang sepertinya. Bahkan kelak setelah aku menikah, aku ingin ada meja komputer di mana itu sebagai tempat meulisku, juga tempat menghilangkan penat dan memuntahkan semua perasaan ganjal setelah seharian bekerja. Keinginan yang sepertinya harus direalisasikan kelak. Dan saking sibuknya aku menulis, dari belakang istriku memelukku erat, mencium pipiku sambil berkata, “kapan bikin anaknya, kalau tiap malam menulis melulu?” []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))