Beberapa tahun belakangan ini aku jadi suka menulis. Bukan menulis
menggunakan pulpen sebagai alat tulis dan kertas sebagai media menulis. lebih
tepatnya mengetik. Entah apa yang membuatku menjadi suka menulis. Padahal dulu
sewaktu masih sekolah, kegiatan tulis menulis selalu kujauhi karena membosankan
dan tak keren.
Pernah kala itu aku ikut lomba menulis cerpen. Tak tahu ada
niat apa, saat itu aku mengacungkan tanganku untuk mendaftar sebagai peserta. Atau
mungkin karena saat itu aku anak kos yang kehabisan uang, mendengar hadiah yang
ditawarkan dari lomba cerpen tadi sehingga aku berani mengajukan diriku untuk
menulis. entahlah, mungkin alasan kedua lebih masuk akal. “Cuma menulis, masak nggak
bisa?”
Tulisan pertamaku sebanyak 3 lembar kertas A4 selesai dalam
waktu 3 jam. Dari jam 9 sampai jam 12. Itupun harus pinjam laptop teman. Kelar
menulis, kubaca lagi hasil tulisanku. “Ternyata bagus!” dalam benakku dengan
percaya diri, kuanggap tulisan cerpenku itu bagus. Meskipun latar cerita yang
kubuat meniru salah satu cerpen dari buku. Hanya latar cerita. Selebihnya seperti
tema, tokoh, juga alurnya harus kupikir sendiri.
Paginya setelah dari rental komputer untuk mencetak hasil
tulisanku. Langsung kuberikan pada guru bahasa Indonesia yang kala itu membawa
kabar tentang lomba cerpen. Selesai. Aku tak memikirkan hasilnya. Meskipun dalam
hati semoga menang dan dapat uang. Rasa percaya diriku bukan semata-mata
datang. Aku semakin percaya kalau cerpenku bisa menang setelah si guru memberi
tahu, cerpenku itu bagus. Sampai-sampai dia mengira, tulisanku itu hasil
menyalin karya orang lain. “Kalau tak percaya, bu Dina—nama guru bahasa
Indonesia—bisa tanya langsung dengan teman sekamar,” bantahku kala itu.
Sesuatu yang terlalu diinginkan jika tak tercapai, hasilnya
hanya kekecewaan. Itulah yang kurasakan. Setelah hari di mana cerpenku dibilang
bagus, tak ada kabar lagi. Seperti menguap begitu saja. Pergi begitu saja tanpa
jejak. Seakan-akan lomba cerpen itu tak pernah ada. Kecewa. Kecewa. Kecewa tak
dapat uang juara.
Sejak saat itu aku suka menulis. Meskipun tak menghasilkan
tulisan, tapi minat membacaku tumbuh. Tentunya juga ada rasa bosan yang
menyelinap masuk kemudian beranak pinak dan akhirnya enggan. Apalagi naik kelas
3 SMA dan harus dihadapkan dengan ujian akhir. Tak sempat membaca. Try out dan
try out setiap harinya. Meskipun membaca, yang kubaca adalah buku-buku
pelajaran yang tak imajinatif sama sekali. Saat itu aku kembali jauh dari
menulis.
Sempat merasakan kuliah, aku kembali tertarik menulis. kadang
juga mencari lomba-lomba cerpen di internet, novel, pokoknya lomba tentang
tulis menulis. meskipun sering mengirim untuk lomba, satu hasilpun tak pernah
kudapat. Mungkin sainganku adalah penulis-penulis hebat yang iseng ikut lomba
untuk menghilangkan penatnya, pikirku. Tak hanya ikut lomba, aku masih menulis
untuk menuruti keinginan saja. Sekedar menulis cerita sehari-hari. Kadang juga
cerpen, kadang juga ceramah tak jelas dan berbelit-belit. Akhirnya, banyak sekali
folder tulisanku di laptop. Tapi ada satu kesamaan dalam tulisanku, aku selalu
mengulang kata-kata. Tak memiliki referensi kata adalah kelemahanku.
Banyak pula tulisan yang tak pernah kuselesaikan. Muncul ide
brilian, buka laptop, mengetik barang setengah jam atau lebih kadang juga
kurang, kemudian njeglek, buntu, dan hanya mengulang-ulang kalimat. Tak selesai,
pencet tombol silang dipojok layar, save dan akhirnya tersimpan begitu saja. Hari
setelahnya, berniat untuk melanjutkan tulisan yang tak selesai, sudah malas dan
tak tahu jalan ceritanya. Pada akhirnya menumpuk. Apalagi di laptop ada
beberapa koleksi film dewasa. Niat awalnya menulis, entah karena dorongan nafsu
yang besar, ujung-ujungnya nonton film dewasa sampai berjam-jam. Mata pedih,
mau menulis lagi sudah ogah. Padahal yang terketik baru judul. Tekan tombol
silang dipojok, save dan akhirnya tersimpan begitu saja judulnya tanpa ada
isinya.
Sejak suka dengan menulis itulah, aku jadi sering membeli
buku bacaan. Entah itu novel, cerpen, bahkan buku filsafat. Entahlah, apa ada
kegunaannya atau tidak. Yang penting aku beli. Untuk beberapa buku yang
kuanggap menarik, biasanya akan kubaca sampai selesai. Bahkan membaca dua tiga
kali lagi. Dan tak sedikit buku yang hanya separuh baca sudah malas melanjutkan.
Entah aku yang malas, entah memang buku itu tak menarik bagiku.
Sampai-sampai karena menulis tadi, aku jadi ingin menjadi
penulis. Membuat novel, menerbitkannya, mendapat royalty, ah jalan cerita yang
diidam-idamkan banyak orang sepertinya. Bahkan kelak setelah aku menikah, aku
ingin ada meja komputer di mana itu sebagai tempat meulisku, juga tempat
menghilangkan penat dan memuntahkan semua perasaan ganjal setelah seharian
bekerja. Keinginan yang sepertinya harus direalisasikan kelak. Dan saking
sibuknya aku menulis, dari belakang istriku memelukku erat, mencium pipiku sambil
berkata, “kapan bikin anaknya, kalau tiap malam menulis melulu?” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))