Tak ada yang pernah mengerti akan
kehendak waktu. Tak ada yang pernah memahami apa yang sebenarnya direncanakan
oleh waktu. Mengerucut lagi, tak ada yang pernah melihat waktu akan kemana dia
membawa setiap manusia di alam semesta ini. Dan saat ini waktu telah membawaku
kembali ke pangkuan rahim ibu, yang telah lama kutinggalkan.
Perjalananku menuju Bogor, tempat
dimana kedua orang tuaku mendirikan rumah dan telah menjadi tempat tinggal
mereka. Sementara aku masih bergelut dengan hal-hal menarik di desa dimana aku
besar sampai 21 tahun sekarang ini. Namun kembali lagi waktu mengantarkanku
kembali pada mereka. Kembali berkumpul dengan keluarga besar. Kembali bertemu
dengan adik-adik yang masih mengenalku meskipun aku tak pernah bersama mereka.
Mungkin hanya setahun sekali bisa bertemu. Dan hari itu, Sabtu siang dengan
suasana basah menghiasi kota Lasem, aku kembali berangkat menuju Bogor.
Sebelum keberangkatanku, datang
seorang perempuan yang telah lama kukenal. 2 tahun yang lalu sebelum aku
meninggalkan Lasem, sosok Laili Indana Zulfa telah kukenal sebagai tenaga
pengajar di salah satu SD swasta di Lasem. Seorang perempuan berperawakan mini,
cantik, manis, dan yang tak bisa dihilangkan dari sosoknya adalah dia belum
menikah untuk saat ini.
Kedekatanku dengannya terjadi saat
aku menjadi salah satu staf di SD tempat dia mengajar. Aku, bukan sebagai
tenaga pengajar hanya sebagai tata usaha. Seperti kebanyakan orang dan memang
wajar, pertama kali bertemu hanya sepata dua kata yang terlintas di bibir
masing-masing. Aku yang notabene dikenal pendiam, memang jarang bicara apalagi
untuk orang yang baru dikenal. Dan kukira setiap orang juga demikian. Seiring berjalannya
waktu, aku pun masih sedikit bahkan banyak canggung ketika harus bertatap muka
dengan Bu Leli (panggilan yang sering aku dan guru yang lain gunakan). Entah
kenapa aku sendiri juga tak tahu. Padahal dengan guru yang lainnya aku merasa
biasa saja. Bincang-bincang bahkan bercanda juga sudah luwes. Hanya dengan satu
mahkluk dari golongan hawa ini saja yang aku sadari aku masih canggung untuk
sekedar bercengkerama hangat.
Kembali lagi aku membicarakan waktu
dan mengkambing hitamkan waktu. Waktu telah membuatku dan Bu Leli semakin
akrab. Ya, meskipun hanya sekedar lewat jejaring sosial, kami sering menceritakan
kejadian yang kami alami. Mungkin juga hanya lewat jejaring sosial-lah aku
berani bercengkerama hangat dengannya. Kalaupun harus bertatap muka, saat itu
aku masih belum memiliki keberanian. Sampai suatu waktu, aku mencapai puncak
keberanianku. Bercengkerama dengannya secara langsung. Tapi tetap saja sering
kali aku memalingkan wajah karena malu.
Dan kembali lagi waktu
mempertemukanku dengannya. Bahkan kali ini lebih ekstrem lagi. Kuajak Bu Leli keluar
dari suasana hangat rumah sekedar untuk menepati janji yang pernah aku buat
padanya, makan bersama. Oke, malam itu dengan keadaan sudah akrab, aku berhasil
untuk ke-3 kalinya bermain ke kediaman orang tuanya. Dan berhasil mengajaknya
keluar.
Diperjalanan mencari tempat makan
untuk menebus janjiku, sedikit bercanda dan tawa keluar dari bibirnya. Suaranya
yang kecil dan tak terlalu merdu serta memang dianya yang pemalu [mungkin],
suasana malam itu sedikit horror. Hampir semua tempat makan yang jaraknya tak
terlalu jauh dari rumahnya telah tertutup rapat. Ya, aku tahu waktu itu jam di
Hp sudah menunjukkan pukul 20.30 yang artinya aku terlalu malam untuk mengajak
keluar seorang perempuan yang di mataku sebagai perempuan yang baik. Jadilah kami
harus menempuh jarak yang lumayan jauh bahkan mungkin memang jauh hanya sekedar
mencari tempat makan. Sisi positifnya, aku pun bisa sedikit lebih lama
bercengkerama dengannya tanpa harus memandangnya. Waktu itu kami naik motor dan
Bu Leli otomatis harus manatap punggungku.
30 menit, akhirnya aku memilih
warung sate ayam yang dulu sewaktu pulang kuliah sering kuhampiri dengan
seseorang. Kali ini warung sate itu kembali kuhampiri dengan Bu Leli. Cukup adil.
Aku pun memesan 2 porsi sate dengan nasi. Makanlah kami berdua. – skip –
Peristiwa itu menjadi titik balik perasaanku
padanya. Bahkan setiap kami bercengkerama via WhatsApp, kami sering
mengutarakan perasaan masing-masing. Meskipun sebelumnya harus ada obrolan
ringan terlebih dahulu.
Masalah umur yang terbentuk antara
dia dan aku, sebenarnya tak begitu kuperdulikan. Bahkan Bu Leli dengan ukuran
tubuhnya yang mungil, sama sekali tak menandakan kalau dia sebenarnya lebih tua
ketimbang aku. Hanya masalah klasik yang pernah aku alami sebelumnya. Bahkan masalah
klasik yang sering terjadi, jarak. Aku sekarang berada di Bogor sedangkan dia
di Lasem. Dan harus kuakui, aku pernah gagal ketika harus berhubungan jika ada
jarak yang terbentuk. Pertemuan terakhir yang terjadi adalah saat dia mengantar
keberangkatanku. Ada kejadian dimana aku memegang tangannya cukup lama.
Bus yang akan membawaku menuju Bogor
telah datang. Saat itu, secara teori ketika ada seseorang yang ikut mengantar
keberangkatan, kita harus berpamitan dengannya dan mengatakan terima kasih. Dan
itulah yang kulakukan saat itu. Tapi bukan aku kalau melakukan hal itu tanpa
pikir panjang. Jauh sebelumnya aku berfikir, apakah harus kulakukan atau tidak.
Kata apa yang harus kuucapkan. Pokoknya aku berfikir. Bahkan aku merangkai kata
demi kata yang hendak kuucapkan padanya. Sumpah, ini terjadi padaku waktu itu. Finally,
kujabat tangan kecilnya agak lama dan kukatakan terima kasih yang banyak bahkan
hampir mendekati alay. Meskipun sesekali cengengesanku keluar dan mataku
sesekali memandang ke arahnya dengan tatapan kosong. Tapi itu kulakukan. Aku pun
meninggalkannya seorang diri di tengah suasana Lasem yang basah dan tergenang
air selepas hujan sesaat sebelumnya. *end
Dari semua yang terjadi padaku, sejak
aku masih di Lasem sampai aku harus kembali ke pangkuan orang tuaku. Semua sikap
dan tingkah laku yang aku alami, akupun bisa menyimpulkannya. Bahwa yang
sebenarnya terjadi adalah cinta. [] masupik
Jonggol, 27 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))