Sabtu, 27 Desember 2014

Namanya Cinta



Tak ada yang pernah mengerti akan kehendak waktu. Tak ada yang pernah memahami apa yang sebenarnya direncanakan oleh waktu. Mengerucut lagi, tak ada yang pernah melihat waktu akan kemana dia membawa setiap manusia di alam semesta ini. Dan saat ini waktu telah membawaku kembali ke pangkuan rahim ibu, yang telah lama kutinggalkan.


Perjalananku menuju Bogor, tempat dimana kedua orang tuaku mendirikan rumah dan telah menjadi tempat tinggal mereka. Sementara aku masih bergelut dengan hal-hal menarik di desa dimana aku besar sampai 21 tahun sekarang ini. Namun kembali lagi waktu mengantarkanku kembali pada mereka. Kembali berkumpul dengan keluarga besar. Kembali bertemu dengan adik-adik yang masih mengenalku meskipun aku tak pernah bersama mereka. Mungkin hanya setahun sekali bisa bertemu. Dan hari itu, Sabtu siang dengan suasana basah menghiasi kota Lasem, aku kembali berangkat menuju Bogor.

Sebelum keberangkatanku, datang seorang perempuan yang telah lama kukenal. 2 tahun yang lalu sebelum aku meninggalkan Lasem, sosok Laili Indana Zulfa telah kukenal sebagai tenaga pengajar di salah satu SD swasta di Lasem. Seorang perempuan berperawakan mini, cantik, manis, dan yang tak bisa dihilangkan dari sosoknya adalah dia belum menikah untuk saat ini.

Kedekatanku dengannya terjadi saat aku menjadi salah satu staf di SD tempat dia mengajar. Aku, bukan sebagai tenaga pengajar hanya sebagai tata usaha. Seperti kebanyakan orang dan memang wajar, pertama kali bertemu hanya sepata dua kata yang terlintas di bibir masing-masing. Aku yang notabene dikenal pendiam, memang jarang bicara apalagi untuk orang yang baru dikenal. Dan kukira setiap orang juga demikian. Seiring berjalannya waktu, aku pun masih sedikit bahkan banyak canggung ketika harus bertatap muka dengan Bu Leli (panggilan yang sering aku dan guru yang lain gunakan). Entah kenapa aku sendiri juga tak tahu. Padahal dengan guru yang lainnya aku merasa biasa saja. Bincang-bincang bahkan bercanda juga sudah luwes. Hanya dengan satu mahkluk dari golongan hawa ini saja yang aku sadari aku masih canggung untuk sekedar bercengkerama hangat.

Kembali lagi aku membicarakan waktu dan mengkambing hitamkan waktu. Waktu telah membuatku dan Bu Leli semakin akrab. Ya, meskipun hanya sekedar lewat jejaring sosial, kami sering menceritakan kejadian yang kami alami. Mungkin juga hanya lewat jejaring sosial-lah aku berani bercengkerama hangat dengannya. Kalaupun harus bertatap muka, saat itu aku masih belum memiliki keberanian. Sampai suatu waktu, aku mencapai puncak keberanianku. Bercengkerama dengannya secara langsung. Tapi tetap saja sering kali aku memalingkan wajah karena malu.


Dan kembali lagi waktu mempertemukanku dengannya. Bahkan kali ini lebih ekstrem lagi. Kuajak Bu Leli keluar dari suasana hangat rumah sekedar untuk menepati janji yang pernah aku buat padanya, makan bersama. Oke, malam itu dengan keadaan sudah akrab, aku berhasil untuk ke-3 kalinya bermain ke kediaman orang tuanya. Dan berhasil mengajaknya keluar.

Diperjalanan mencari tempat makan untuk menebus janjiku, sedikit bercanda dan tawa keluar dari bibirnya. Suaranya yang kecil dan tak terlalu merdu serta memang dianya yang pemalu [mungkin], suasana malam itu sedikit horror. Hampir semua tempat makan yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumahnya telah tertutup rapat. Ya, aku tahu waktu itu jam di Hp sudah menunjukkan pukul 20.30 yang artinya aku terlalu malam untuk mengajak keluar seorang perempuan yang di mataku sebagai perempuan yang baik. Jadilah kami harus menempuh jarak yang lumayan jauh bahkan mungkin memang jauh hanya sekedar mencari tempat makan. Sisi positifnya, aku pun bisa sedikit lebih lama bercengkerama dengannya tanpa harus memandangnya. Waktu itu kami naik motor dan Bu Leli otomatis harus manatap punggungku.

30 menit, akhirnya aku memilih warung sate ayam yang dulu sewaktu pulang kuliah sering kuhampiri dengan seseorang. Kali ini warung sate itu kembali kuhampiri dengan Bu Leli. Cukup adil. Aku pun memesan 2 porsi sate dengan nasi. Makanlah kami berdua. – skip –


Peristiwa itu menjadi titik balik perasaanku padanya. Bahkan setiap kami bercengkerama via WhatsApp, kami sering mengutarakan perasaan masing-masing. Meskipun sebelumnya harus ada obrolan ringan terlebih dahulu.

Masalah umur yang terbentuk antara dia dan aku, sebenarnya tak begitu kuperdulikan. Bahkan Bu Leli dengan ukuran tubuhnya yang mungil, sama sekali tak menandakan kalau dia sebenarnya lebih tua ketimbang aku. Hanya masalah klasik yang pernah aku alami sebelumnya. Bahkan masalah klasik yang sering terjadi, jarak. Aku sekarang berada di Bogor sedangkan dia di Lasem. Dan harus kuakui, aku pernah gagal ketika harus berhubungan jika ada jarak yang terbentuk. Pertemuan terakhir yang terjadi adalah saat dia mengantar keberangkatanku. Ada kejadian dimana aku memegang tangannya cukup lama.

Bus yang akan membawaku menuju Bogor telah datang. Saat itu, secara teori ketika ada seseorang yang ikut mengantar keberangkatan, kita harus berpamitan dengannya dan mengatakan terima kasih. Dan itulah yang kulakukan saat itu. Tapi bukan aku kalau melakukan hal itu tanpa pikir panjang. Jauh sebelumnya aku berfikir, apakah harus kulakukan atau tidak. Kata apa yang harus kuucapkan. Pokoknya aku berfikir. Bahkan aku merangkai kata demi kata yang hendak kuucapkan padanya. Sumpah, ini terjadi padaku waktu itu. Finally, kujabat tangan kecilnya agak lama dan kukatakan terima kasih yang banyak bahkan hampir mendekati alay. Meskipun sesekali cengengesanku keluar dan mataku sesekali memandang ke arahnya dengan tatapan kosong. Tapi itu kulakukan. Aku pun meninggalkannya seorang diri di tengah suasana Lasem yang basah dan tergenang air selepas hujan sesaat sebelumnya. *end


Dari semua yang terjadi padaku, sejak aku masih di Lasem sampai aku harus kembali ke pangkuan orang tuaku. Semua sikap dan tingkah laku yang aku alami, akupun bisa menyimpulkannya. Bahwa yang sebenarnya terjadi adalah cinta. [] masupik

Jonggol,  27 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))