Selasa, 23 Desember 2014

Sama-Sama Sudah Besar


Apa yang ada di otak kalian ketika kalian tanpa disengaja sedang berbicara dengan orang yang bisanya hanya membicarakan mengenai seks? Kalian merasa jijik, merasa kalau orang tersebut tak pantas disandingkan dengan kita, atau kalian merasa bahwa orang seperti ini seharusnya tak perlu ada di kehidupan? Itu terserah kalian mau berfikir seperti apa jika bertemu dengan orang yang seperti itu. Tapi bagi kita yang masih belajar dan kita telah dewasa, seharusnya bisa berfikir matang terhadap sesuatu hal. Bukan malah menilainya hanya dari apa yang bisa kalian lihat dengan pendidikan yang ada di otak kalian. Mungkin itu saranku.

Kembali lagi aku membawa sahabatku Zaenal dalam monolog kali ini. Tapi semisal dia tak kuikutkan, aku akan merasa bersalah, soalnya saat kejadian aku memang bersama dia, dan sebenarnya dialah yang banyak memberikan inspirasi untukku. Jadi jangan bosan-bosan kalau aku juga membawa Zaenal dalam setiap monologku.

Seperti biasa, aku bersama Zen ditempat tongkrongan pinggir sawah. Kupesan 2 cangkir kopi hitam untuk menemani kami berdua. Serta sebagai pelumas untuk tenggorokkan ketika kering kerontang.
“Zen, namamu kutulis sebagai salah satu judul monologku.” Aku memulai obrolan malam itu.
“Ah, kamu bercanda kan Pik?”
“Beneran! Kalau gak percaya nanti mampir rumahku, lihat sendiri di laptopku.”
“Kamu ada-ada saja Pik.” Zaenal masih bersih kukuh tak percaya dengan apa yang aku katakana, kalau namanya kupakai sebagai judul monologku. “Aku ini siapa kok kamu jadiin judul itu?”
“Lho kamu kan sahabatku. Hampir selama ramadhan, setiap malam aku nongkrong sama kamu. Ibaratnya hidup mati sama kamu.” Kataku.
“HAHAHA.” Zaenal dan aku tertawa setan setelah aku ngomong seperti itu.
“Mbledus,  PIk.” Zen masih tidak percaya dengan ucapanku.
“Pokoknya nanti lihat sendiri di laptop.” Karena membicarakan laptop, aku jadi teringat dengan flashdisk yang pernah dipinjam oleh Zen untuk meng-copy film. “Zen, gimana flashdisk nya?”
“Film di flashdisk kamu malah ditonton sama masku Pik!” katanya menjelaskan keberadaan flashdisk ku.
“Ya bagus kalau gitu.”
“Lha, salah satu film yang kamu copy kan ada adegan mesum Pik. malah dikira istrinya masku, aku lagi nonton film porno.” Cerita Zaenal padaku.
“Lantas gimana Zen?”
“Ya, gak apa-apa. Istrinya masku memaklumi. Dia dulu pernah muda seperti kita. Dia tahu kalau aku cowok normal, jadinya ya biasa saja.”
“Enak Zen kalau kayak gitu!” sahutku.
“Lha kemarin pas pertama kali aku pulang dari Jakarta. Bangun tidur aku lihat maskusambil menunjuk masnya yang lainsedang pesta minuman keras Pik. Aku bangun tidur masih belum sadar kan? Eh, malah ditawari minum. Ya akhirnya pesta minuman keras berdua.” Zen melanjutkan, “sudah pada sadar Pik. aku cowok dia cowok.”
“Itu yang susah Zen.” Ucapku mengagetkan Zen.
“Susah gimana Pik?”
“Susah, soalnya gak semua orang berfikir demikian Zen.” Aku memulai penjelasanku. “Masih banyak orang yang berfikiran kalau sesuatu yang berbau seks, porno, dan teman-temannya itu masih dianggap tabu, tak pantas dibicarakan ke muka umum, bahkan mungkin tak seharusnya orang lain mengetahui.”
“Memang semua orang itu memiliki cara berfikir dan cara pandang beda-beda Pik, gak bisa disama ratakan.” Sahut Zen.
“Aku bukan mau menyama ratakan pemikiran seseorang Zen. Kalau aku berniat menyama ratakan, aku sangat berdosa dan sangat tak pantas.”Aku berhenti sejenak meminum kopi hangat yang sepertinya kami anggurkan dari tadi. “Aku hanya ingin kalau kita semua itu tidak ada kemunafikan. Semua bicara dengan bebas dan tak dianggap tabu lagi ketika semisal membicarakan mengenai seks di muka umum. Meskipun dalam membicarakannya tetap harus mengikuti norma yang ada. Toh, kita juga butuh pendidikan seks kan?” tambahku.
Zen hanya menerawang ke atas langit. Mungkin mencari pemahaman mengenai apa yang aku katakana barusan. Belum sempat Zen mengutarakan ucapannya aku sudah menambahkan obrolanku. “Apalagi kalau yang membicarakan seks itu seorang perempuan. Pasti di otak masyarakat langsung menjudge kalau perempuan itu bukan perempuan baik-baik. Toh, bisa saja si perempuan itu belajar di perkuliahannya seperti itu. Atau dia belajar dari sumber lainnya. Lagian jaman sekarang akses untuk mencari sesuatu yang belum kita ketahui kan mudah sekali. tinggal buka internet ketik “google.com” sudah beres.” Tutupku.
“Tapi gak tahu juga Pik.” jawab Zen singkat.
“Padahal, banyak perempuan yang tidak tahu kalau dia sebenarnya memiliki 3 lobang Zen!”
“Lobang apa saja Pik?” Zen kembali bersemangat setelah mendengar kata lobang.
“Semangat banget Zen, hahaha.”
“Lho namanya juga cowok normal Pik. Hahaha.”
“Jadi banyak yang tak tahu kalau sebenarnya perempuan itu memiliki 3 lobang. 1. Lobang kemaluan, 2. Lobang anus, dan 3. Lobang anal. Untuk penjelasannya lain waktu saja Zen.” Kataku menggoda Zen.
“HAHAHA.” Keheningan pinggir sawah terpecah belah dengan tawa kami berdua.
“Tapi semisal aku mengatakan hal ini di depan perempuan, pastinya mereka (perempuan) mengira pikiranku kotor, jorok, hina, semuanya yang jelek-jelek pasti ditempelkan padaku. Padahal aku hanya memberi informasi.” Ucapku dengan nada menggebu-gebu.
“Tapi kalau kamu ngomonginnya di hadapan orang banyak, ya jelas salah toh Pik. mereka (perempuan) ya malu. Kamu ini kok aneh!”
“Maksudku ya gak di hadapan orang banyak Zen. Kamu ini lebay malahan.”
“HAHAHA.” Suasana kembali cair dengan helak tawa kami.

Pembicaraan mengenai persoalan tabu yang selama ini melekat erat di masyarakat dan merupakan sudah menjadi rahasia umum, tak terselesaikan malam ini. Kami harus kembali pulang, karena besok Zen harus bekerja. Dan aku harus kembali terjaga sampai shubuh seperti biasanya.

Pesan moral : memang persoalan pendidikan seks yang ada sekarang belum bisa merakyat. Apalagi di kalangan masyarakat desa yang kental dengan adat serta peradaban nenek moyang. Tapi jangan pernah berfikir dangkal. Jangan pernah berfikir kalau orang yang mengatakan mengenai seks, lantas dia langsung dicap sebagai orang yang pernah melakukannya. Analoginya seperti ini. Ketika seorang pemuka agama memberikan tausiyah mengenai neraka dan seluk beluknya, lantas apakah seorang pemuka agama tersebut harus merasakan terlebih dahulu suasana neraka? Tentu tidak bukan. Maka dari itu, seseorang yang membicarakan seks apalagi perempuan. Dia juga tidak harus dan belum tentu kalau dia pernah melakukannya. Lagian, kita sudah sama-sama besar. Harusnya kalian mengerti hal itu. Dan menerimanya sebagai pelajaran, bukan malah memberikan cap yang salah. *buka “.3gp”, HAHAHA*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))