Rabu, 03 Desember 2014

Kelinci[ku] Ucul

Ngubengi kutho..,
Sakteruse, neng ndeso ndeso..
Mergo aku anggolek-i,
Sing tak tresnani, kelinciku ucul..
Lungo mangetan,
Suroboyo, terus nyang bali..
Mangulon lungo nyang bandung ora ketemu..
Terus aku nyang jakarta..
Jebul ora ketemu.,
Aduh klinciku, ojo mbedo aku..
Terus bali nyang semarang,
Klinciku uwus ono kandang..
La jebulane..,
Grusa grusu, keburu nafsu..
Wekasane montang-manting, ragate akeh
Aku dewe kang kebanting..
Jebul ora ketemu.,
Aduh klinciku, ojo mbedo aku..
Terus bali nyang semarang,
Klinciku uwus ono kandang..

Terdengar semilir merdu nada-nada diatonis menggetarkan gendang telinga lembut ini. Terpatrih alunan nada tinggi yang mengiang-iang jauh ke atas. Sedikit nyeri tapi syahdu. Dan itulah ciri khas tembang jawa yang sekarang, tak ada yang memperdulikannya. Apalagi kaum muda. Ada tapi tak banyak dan tak semeriah dulu di jaman keemasannya.

Gue sebenarnya lupa dengan lagu Kelinci Uculnya Ki Napto Sabdo itu. Namun entah kenapa setelah nonton acara budaya di salah satu televisi swasta, sedang memutarkan lagu itu. Bibir gue pun ikut berkomat-kamit tak jelas sedang otak ini berusaha keras mengingat lirik lagu tersebut. Lagu yang pernah membawaku berpetualang mengisi acara on air di sebuah radio di kabupaten Rembang. Dan gue udah 2 kali dipanggil ke radio yang sama bersama tim karawitan SMAN 1 Lasem.

Panggilan pertama waktu itu gue cuma sekedar memukul balungan. Balungan adalah instrumen nada jawa yang terdiri dari Slenthem, Demung, Saron. (Seinget gue). Ya meskipun hanya seorang pemukul balungan tapi rasanya bangga dan penuh pengetahuan yang belum pernah gue alami. Salah satunya ya on air itu sendiri. Kemudian panggilan kedua, gue waktu itu sudah naik pangkat. Bukan jadi pemukul balungan lagi tapi sekarang jadi bowo. Bowo sendiri itu yang menembangkan alunan nada-nada. Simpelnya bowo itu penyanyinya. Pasti kalian nggak bisa bayangin, sosok manusia seperti gue nyanyi! Nyanyi tembang jawa men. Duh rasanya seperti kembali ke jaman penjajahan dulu sewaktu melantunkan bait-bait lagu jawa. Merdu, syahdu, mengalir indah, penuh makna tersurat dan tersirat, dan yang pasti cocok sebagai musik pengantar tidur.

Nah waktu itu lagu yang paling gue suka ya...Klinci Ucul ini. Lagu dengan nada diatonis yang berbeda dari kebanyakan lagu jawa lainnya. Memiliki makna yang dalam sebagai seorang pecinta. Suara klentang-klentingnya balungan yang acak dan tak karuan, adalah ciri lagu Klinci Ucul ini. Berbeda tapi merdunya sama. Kasarnya, amburadul tapi nikmat tak terhingga. Itu baru bicara mengenai musiknya, belum lagi maknanya dan hubungannya dengan kehidupan. Duh, hati jadi tentrem, adem, ayem dah pokoknya.

Selain itu, lagu ini juga mengingaatkan gue pada sosok Angirha. Sosok perempuan jawa tulen dengan perawakan sedang namun yang pasti montok. Anak kedua dari 2 bersaudara yang banyak mengajarkanku arti kehidupan yang sebenarnya. (Kalau yang ini gue lebay). Angirha memiliki tanggal kelahiran yang sama dengan gue, hanya berbeda waktu dan tempat pembrojolannya saja. Dia selalu dapat ranking 1 di kelas, terpilih sebagai wakil dari sekolah dalam ajang olimpiade biologi. Tidak hanya itu, suara merdunya jika dibandingkan dengan penyanyi seriosa (kalau gak salah), sebelas dua belas lah. Indah, merdu, sexy, emmh...gue nggak bisa bayangin kalo pas dia mendesah. Rambut yang lurus rapi khas permakan salon, memahkotai dan melengkapi parasnya. Kalo gue boleh ngasih penilaian, dia itu ibarat es blewah dengan pemanis alami. Seger, manisnya pas, dan yang pasti nikmat dipandang dan dimiliki. Asseeekkkk

Gue dulu pernah berduet tuh ceritanya. Tergabung satu tim karawitan, dan saat itu adalah hari pergantian kepala sekolah kami. Nah tim karawitan yang gue ada di dalamnya, ditunjuk untuk mengisi acara itu. Jadilah gue dan Angirha berduet menyanyikan lagu Klinci Ucul. Alunan Bonang yang selaras bersamaan berirama dengan tabuhan gendang jawa yang tak beraturan tapi asik, ditambah suara menggaungnya gong sebagai pembuka serta penutup setiap tembang jawa. Memenuhi tempat dan otak setiap tamu undangan yang ada. Dan tak lupa suara Angirha yang sayup-sayup basah berkolaborasi dengan suara gue yang seadanya tapi penuh gairah. Komposisi yang pas tapi tak istimewah. Mungkin itulah penilaian saat itu.
*end

Lantunan tembang Klinci Ucul telah usai. Gue tersadar kalau kelinci gue juga ucul (lepas) entah kemana. Kemanapun dia dan dimanapun dia, gue hanya bisa mendoakan semoga yang terbaik yang selalu dia dapatkan. "Duh kelinci, ingin sekali gue bakar dan kupotong seukuran balok dadu agar pas ketika dibakar sebagai sate." Gumamku sendu. [] masupik

2 komentar:

  1. Balasan
    1. Padahal nggak ada niat buat ngeabsurd gan..hehehe.
      thx gan kunjungannya!

      Hapus

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))