Kata orang perpisahan adalah awal pertemuan. Namun kita
berpisah bukan atas kehendak hati nurani. Perpisahan yang terjadi saat itu
adalah rencana kemarahan. Itu terjadi karena ego mencapai puncaknya. Tak ada
lagi kita bersama, hanya ada aku adalah aku, kamu bukanlah aku.
Kita sama-sama mengerti, lautan samudra terhampar luas
membentang. Langit dengan segala awan mendungnya. Gunung dengan keperkasaannya
menantang langit. Tapi kita buta, rabun dengan sosok yang ada di depan kita.
Kita pikun dengannya yang telah rela meng-kamu-kan dirimu. Ada selembar ruang
hampa yang terselip di batas penglihatan normal kita. Ada sedikit celah, untuk
membiarkan ego berkeliaran semena-mena dengan perasaan kita. Semua itu terjadi
sekali waktu. Berjalan normal kemudian meledak-ledak, dan diakhiri dengan
tangis sendu olehmu.
Lantas waktu kembali memisahkan kembali ego kita.
Merancangnya, merenovasi sehingga sedemikian rupa menawan tampan. Waktu kembali
menaruh jarak antara kau dan aku. Kembali asyik bermain dengan segala sesuatu
sebelum terbentuknya kita. Kembali bereksperimen dengan semua hal sebelum
adanya kata sayang. Kita kembali menari merenggangkan segala sesuatunya kembali
seperti sedia kala. Tertawa, merangkak, mencoba berjalan, sampai akhirnya
berhasil berlari meski kadang batu dengan sengaja kita terjang tanpa alasan.
Aku tak tahu selama ini apa yang telah kau perbuat dengan
dimensi-mu. Aku juga tak mengerti apa yang terjadi pada paradigma kritismu.
Namun kau sendiri juga tak mungkin bisa mengetahui hasil kreasi dari egoku.
Kita kembali menjadi sebuah angka bilangan biner. Bukan angka 1, tapi angka 0.
Keberadaan kita kembali tiada. Kita kembali ke dasar sebuah peristiwa acak
Darwinisme. Kita kembali mempertaruhkan keinginan kita pada ketidak sengajaan,
kebetulan. Kita, ah makudnya kamu, kembali berteori mati. Aku kembali
berhipotesis. Teori acak, serba kebetulan, dan tak terduga itu juga kan yang
mempertemukan kita? Sampai akhirnya naskah Tuhan kembali memisahkan kita dengan
sebuah kisah.
Kita kembali ke pangkuan nasib licik yang kita sendiri tak
mengerti jalan pikirnya. Kita hanya berusaha merencanakan tetapi selalu gagal, fail.
Tapi sadar atau tidak, kita kembali ke tahap awal sebelum adanya pertemuan. Aku
tak berharap siklus busuk itu kembali terulang. Aku hanya berusaha berjalan,
meskipun pincang. Merelakan semesta mengambil alih apapun yang kurencanakan.
Dirimu juga kan? [] masupik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))