Rabu, 19 November 2014

Sentuhan Basah

"Kangen...kangen...kangen...." Sapaan awal dari sosok wanita temen deket gue lewat salah saru jejaring sosial.

Tak ada yang aneh memang dengan sapaan barusan. Hanya saja karena sapaan itu aku teringat kembali ke masa lalu gue saat masih berpacaran dengan salah seorang cewek yang tengah menyelesaikan pendidikan bidannya.

Sinta panggil saja demikian, dan panggil gue Rama. Hehehe. Tenang ini bukan cerita tentang pewayangan yang menceritakan kisah cinta yang menjadi bibit-bibit cinta di masa sekarang, di jaman yang katanya serba modern. Atau mungkin sebaliknya, serba kuno; jadul; antik? Ah...sudahlah, kita bahas lain waktu saja.

Gue teringat ketika Sinta mengucapkan kata "kangen" dengan penuh manja, penuh hasrat tepat di samping gue. Duh, rasanya leleh, lumer, mengembun badan gue waktu itu. Ditambah pelukan hangatnya dan kecupan mesranya di bibir gue, this is heaven you know? Sebenarnya perasaan gue waktu itu nggak bisa diucapkan, dituliskan, dan diungkapkan hanya dengan rangkaian kata-kata indah bak penyair, tapi mau gimana lagi, namanya tulisan yang memang penuh kata-kata. So, jadi demikianlah perasaan gue waktu itu, seperti yang udah lo baca barusan.

Dihiasi pemandangan desiran ombak, pasir putih yang agak kotor, dan pantai yang tak terlalu cantik pemandangannya, kami menikmati setiap detik jarum jam berlalu. Kami menghayati setiap kepakan burung yang terlihat sedang melintas waktu itu. Kami mencoba memahami arti dari setiap tatapan mata yang kami buang satu sama lain secara bergantian. Waktu seolah bergerak lambat. Kepiting yang baru saja keluar dari sarangnya untuk mencari secercah rizki Tuhannya pun bergerak melambat seperti adegan di film "Matrix". Melambat tak bersua, namun kami berdua tak terpengaruh dengan kajian waktu di sekitar kami. Kami tetap bercengkerama mesra, kami tetap saling menghangatkan dengan canda tawa, kamipun tetap tersadar di tengah mabuknya fikiran ini akan sebuah hasrat.

Waktu telah menua, sinar mentari hangat yang tadi kami nikmati, kini berbalik menyerang dengan pancaran radiasinya yang panas. Meski jarak puluhan bahkan ratusan juta kilometer memisahkan bumi dengan sumber kehidupan tersebut, panasnya tetap tegar dan tegak menyinari bumi yang hijau lebat indah ini. Gue tak pandai merayu kala itu dan sampai sekarang masih sama. Namun gue tahu apa yang dibutuhkan Sinta di tengah hawa panas nan kering ini. Pelukan? Bukan, bukan itu yang dia butuhkan saat itu. Lantas apa? Yang dibutuhkannya adalah sentuhan basah yang menenangkan hatinya dan kembali menyegarkan setiap langkah kecilnya. Apa itu sentuhan basah yang kau maksud? Soal apa sentuhan basah itu, sepertinya tak senonoh jika aku tuliskan dalam bentuk kalimat tunggal maupun ganda. Bahkan sajak percintaan yang telah ada jauh sebelum kami berdua kenal pun tak bisa mengungkapkan dan mendefinisikan apa itu sentuhan basah. Sudahlah, kalau lo pada tahu ntar malah lo praktekin.

Hari semakin menua dan menua. Senja di ufuk barat menandakan ini waktunya burung kembali ke sangkar. Entah apa yang telah diperbuat oleh si burung ketika di luar sangkar, sangkar tak peduli. Yang terpenting, saat si empunya burung melihat isi sangkar, burung-burung sudah menghiasi sangkar yang memang dibuat untuk kenyamanan dan rasa aman si burung, begitulah. Kami berdua pun pulang. Diiringi pelukan hangatnya, gue berbisik untuk diri gue sendiri "terima kasih senja" dan gue pun tersenyum manis memandang Sinta yang tengah mencoba melawan pancaran sang senja dengan bersembunyi di belakang punggung gue. Dan tetap, pelukan hangatnya tak mampu menandingi hangatnya mentari meski telah senja. *end

Hari itu di sebuah pantai, kami meninggalkan jejak berupa cerita yang akan gue ingat. Tak tahu entah sampai kapan gue harus mengingatnya. Kalau semesta adalah milikMu, maka aku adalah milikmu yang kau ciptakan untuknya. [] masupik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))