Senin, 17 November 2014

Ego Tuhan

"..."

"Hmmm...." Hembusan nafas keputus asaan yang mendalam.

"Sudahlah, pasti ada jalan untuk itu semua." Aku mencoba menghibur. "Ya, memang rasanya sakit, tapi kalau kau tetap seperti ini akan lebih sakit lagi!" Tambahku.

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir manis bergincu miliknya. Tapi aku yakin, dia akan menamparku setelah ini. Paling tidak beberapa detik kemudian akan ada air mata membasahi pipi lesung dengan make up yang tertata cantik miliknya. Tinggal menunggu saja sampai ada isakan ingus dari mancungnya hidung semampai yang menambah cantik parasnya. Atau dalam hitungan menit pasti akan ada banyak tissue tercecer berserakan menghiasi lantai di sekitar kaki mungilnya yang sering dihiasi oleh sepatu balet kecil yang menawan.

Aku beranjak dari berdiriku yang sedari tadi memunggungi dia ke arah tempat duduk yang ada di samping kirinya. Aku berjalan di depannya dengan sedikit berat dan sewaktu badanku teapt berada di depannya, dengan tangan kanannya yang panjang, dia menghentikan aku. Seperti tangannya berbicara "sudah, jangan mencoba menghiburku. Aku hanya ingin memikirkan apa yang barusan terjadi. Kamu diam saja di sana." Akupun menurut bak anjing yang sedang menunggu majikan memberi aba-aba selanjutnya.

Akhirnya aku tetap berdiri namun kali ini aku berdiri tepat di depan hadapannya. Masih belum ada kata yang keluar dari bibirnya yang mulai mengernyit. Aku rasa inilah saatnya air mata yang telah aku prediksi sebelumnya akan keluar deras. Sebentar lagi, tunggu saja!

"Kau bisa belikan aku air minum?" Pintanya lirih.

Suaranya mulai terasa bergetar, intonasi yang keluar dari tangga nada suaranya tak seperti biasanya. "Kamu mau atau tidak?" Dia mengulangi permintaannya.

"Oke, aku akan ke sana dan kembali membawakan kamu minum. Tapi janji kamu jangan melakukan hal yang membahayakan nyawamu!" Pintaku.

"Terserah Tuhan akan menggerakkan anggota badanku seperti apa. Bukannya itu yang acap kali kamu suarakan dengan lantang ketika bahagia?" Celotehnya mengagetkanku.

Dahiku mengernyit dalam. Otakku terus berfikir mencoba menerka apa yang dia maksud dan apa yang akan dia rencanakan setelah ini. "Tunggu sebentar, aku segera kembali!"

"Oke. Tapi ingat aku tak mempunyai satu janji apapun denganmu."

Aku tak peduli dengan ucapannya. Aku hanya akan pergi membeli air minum agar bisa membasahi tenggorokkanmu. Tunggu saja.

"Minumlah! Kau akan segera kuantar pulang." Kusodorkan air minum yang berhasil aku beli dari sebuah toko yang kebetulan tak jauh dengan posisiku.

Dengan tangan cuek, dia mengambil air minum yang kusodorkan padanya. Diteguklah air itu sampai hampir setengah dari kondisi penuh. "Terima kasih." Katanya.

"Ayo bergegas, akan kuantar pulang." Ajakku. "Aku tak mau dicap sebagai orang yang tak bertanggung jawab. Aku yang meminta ijin pada orang tuamu untuk kuajak keluar dan mereka mengijinkan. Dan sekarang aku harus mengembalikan putrinya kembali ke rumah dengan selamat seperti sebelum kuajak kau keluar."

"Kau bilang tak mau dicap sebagai orang yang tak bertanggung jawab? Cuih." Dia meludah dengan ekspresi tak sependapat denganku. "Kalau kau memang bertanggung jawab, seharunya kau meyakinkan orang tuamu bukan malah menuruti ego mereka."

"Aku sudah berusaha tapi kau tahu kan bagaimana hubungan orang tuaku dengan keluargamu?" Aku mencoba membela diriku sendiri.

"Itu salahmu! Kenapa kau memberi tahu siapa sebenarnya aku pada mereka. Kau yang bodoh!" Nada kasarnya mulai memenuhi ucapannya.

"Kau bilang itu salahku? Sekarang lihat dirimu sendiri, apa kau berani bilang dengan orang tuamu tentang keluargaku? Tak pernah bahkan mungkin tak akan pernah terjadi." Aku mengambil nafas panjang dan mencoba tak terpengaruh dengan emosinya. "Mari kuantar kau pulang. Ada banyak orang, jangan di sini kalau kau mau menamparku. Bukan aku malu, tapi tak baik dilihat orang banyak. Mari!"

Dia menurut begitu saja, sekarang dia yang menjadi anjing dan aku majikan.

Di perjalanan pulang, hanya pelukan erat yang berbicara dari dirinya dan aku hanya berusaha menjaga fokusku mengendarai motor yang telah memberikan berjuta kenangan selama bersamanya. Bersama dia yang tetap kucintai meski Tuhan menjodohkannya dengan yang lain.

***

Malam itu, saat bulan tak menampakkan dirinya sebagai cahaya di malam hari. Dan saat itu saat dimana banyak manusia yang menikmati kemerdekaannya setelah terbelenggu dengan ego Tuhannya. Saat itulah kejadian itu terjadi dan aku hanya bisa mencoba menghapus air matanya saat ini, saat terakhir aku bisa bertemu dengannya. [] masupik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))