Kamis, 30 Oktober 2014

Merk, Selera, dan Komitmen

Selamat pagi, selamat menjalani pagi yang sejuk bagi mereka yang merayakannya, dan juga selamat menikmati jam-jam dilematis untuk lanjut tidur atau siap-siap untuk bekerja. Pagi yang sejuk ini paling seger kalau ditemani sepasang kekasih, eh maksudnya sepasang kopi hangat dengan camilan renyah. Tapi kalau tak ada keduanya, ijinkan admin untuk menemani para pembaca semua dengan blog sederhana ini.

"Merk, selera, dan komitmen", judul yang membawa kita akan kondisi untuk berfikir serius sampai menahan nafas dan kentut. Mungkin itu yang ada di fikiran para pembaca yang budiman (kalau nggak demikian juga tak apa). Tenang saja, memang judulnya sudah mengerikan isinya juga gak kalah mengerikan kok. Nggak-nggak cuman becanda doang. Tulisan ini hanya mengenai masalah rokok dan aku saat kemarin membeli rokok.

Jadi ceritanya begini, karena bangun dari tidur yang terlalu siang dari kebanyakan orang normal lainnya, alhasil aku kerap kali kehilangan momen pagi hari. Bahkan juga nggak jarang, momen siang dan sore juga turut hilang dalam kehidupanku. Biasanya setiap bangun tidur, yang pertama kali kulakukan adalah membuka mata (please deh! *emot cemberut*), yang pertama kali kulakukan setelah membuka mata adalah mencari rokok untuk kujadikan obat nyamuk, eh maksudnya untuk kuhisap. Dan kemarin, entah kenapa pas sekali stok rokokku habis ludes tanpa jejak, hilang secara misterius, dan tak pernah kembali. Menyadari hal itu, akupun berencana mengunjungi seekor tokoh kelontong yang letaknya tak jauh dari rumah. Paling sekitar 100 meter bersih. Kejadian unik terjadi setelah ini.

Akan membeli rokok, akupun mencari dompet dan tak perlu waktu lama, dompet telah kuraih dengan erat dan seksama. Kubuka dompet berumur 7 tahun itu dan naas, aku hanya melihat sosok 5 ribu dan beberapa receh yang menggumpal dompet kere[n]ku itu. Aku sempat menangis dan kaget bukan kepalang melihat kondisi dompet, tapi di lain sisi aku harus memenuhi kebutuhan akan pengasapan (baca : rokok). Setelah berbagai pertimbangan dan usulan dari kepribadianku yang lain, akhirnya kami berhasil memutuskan hasil musyawarah mufakat yang alot dengan keputusan sebagai berikut :
1. Melihat kondisi keuangan yang tidak terlalu baik akhir-akhir ini, maka setiap kali hendak membeli rokok (di sini dalam artian membeli satu bungkus) harus memperhatikan uang yang ada. Jika memang uang yang ada cukup untuk membeli rokok sesuai selera, maka belilah;
2. Jika kondisi keuangan memang tidak mencukupi selera, maka lihatlah merk rokok tersebut. Uang 10 ribu, maka merk rokok yang tepat adalah : sukun, mlindjo, geo mild, dan beberapa rokok dengan harga di bawah 10 ribu;
3. Jika kondisi keuangan memang sedang kritis dan memasukin detik-detik akhir, maka yang paling ditekankan adalah komitmenku untuk merokok. Bahwa ketika fikiran kosong dan memang sulit mendapatkan ide yang biasanya aku mengakalinya dengan merokok, maka rokok apa sajalah. Yang terpenting bibir bisa mengeluarkan asap. Merk, harga, dan selera hilang seketika itu juga. Dengan ketiga hasil perundingan tersebut, jadilah rokok sukun yang aku beli.

Namun petaka baru datang. Tak biasa membeli rokok sukun, akupun merasa gengsi. Hampir 6 kali aku keluar masuk rumah untuk memastikan kalau rokok sukunlah yang harus aku beli. Aku berlatih mengucapkan akad dalam membeli "mbak, beli rokok sukun" agar tak kagok dan stroke ketika sampai di toko. Kulatih bibirku berulang-ulang, sampai akhirnya tekadku bulat penuh tanpa lubang. Akupun meyakinkan diriku kalau rokok sukun yang harus aku beli untuk memenuhi kebutuhan rokokku.

Sampai di toko, aku langsung berhadapan dengan si mbak yang berjaga di kasir. Dengan sekali nafas kucapkan akad yang sudah aku latih sebelumnya. "Mbak rokok sukun satu bungkus", ucapku jelas dan berwibawa. Si mbaknya tanpa banyak bertanya langsung mengambilkan sebungkus rokok sukun. Tapi yang membuat mentalku anjlok, ketika tatapan si mbaknya setelah mengambil rokok pesananku. Si mbak melihat wajah gantengku dan kemudian membuang wajahnya ke arah rokok sukun. Entah apa yang ada di dalam benak si mbaknya. Aku tak berani berasumsi, aku hanya diam sembari menyodorkan uang yang berhasil aku kumpulkan dari sisa-sisa uang di dompet. Dan akhirnya rokok sukun membakar bibirku. Sungguh perjuangan yang berat dan melelahkan. Penuh pertaruhan harga diri dan gengsi. Hanya untuk sebuah komitmen, harta diriku kutukarkan dengan rokok sukun. Semoga Tuhan mengerti maksud dan tujuan muliaku. Amin. [] masupik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))