Selasa, 08 Juli 2014

Ramadhan ke-9


BERFIKIR DAN PAHAMILAH!
Terlihat beberapa orang mengendarai sepeda onthelnya. Meluncur dari tempat tinggi menuju pantai atau penitipan sepeda, atau lebih tepatnya tempat milik pemilik perahu.

Waktu masih menunjukkan temaram. Dan ini adalah ramadhan ke - 9 tahun ini. Seusai makan sahur dengan menu masakan rumah, aku menunggu waktu shubuh datang.
Aku keluar dari rumah yang umurnya melebihi umurku di dunia ini. Terbuka pintu coklat dengan plitur yang sudah tak tercium lagi bau menyengatnya. Kulangkahkan kaki kecil ini. Kecil dalam arti sebenarnya karena tak pernah aku berolah raga agar tubuh ini ideal. Dengan berbalut sarung warna coklat, baju batik, serta kuslempangkan sajadah merah di pundak, aku berangkat meninggalkan rumah menuju masjid yang letaknya tak terlalu jauh di depan rumah.

Aku melintasi jalan aspal pedesaan yang kotor, sepi, dan rata. Dari arah jauh aku melihat sosok pria dengan sepedahnya. Dari arah atas pria itu tak menaiki sepedanya seperti pria-pria lain yang berprofesi sama dengannya. Tapi setelah jalan sedikit landai, barulah sepeda tua itu dia kayuh menyusul teman- temannya yang sudah jauh.
Aku terus berjalan menuju arah azan shubuh berkumandang pagi itu. dan akhirnya langkah kecilku sampai di masjid yang tak terlalu ramai itu. padahal ini bulan puasa, harusnya banyak orang yang bangun untuk sahur, kenapa tidak sekalian menahan kantuk sedikit lagi untuk melaksanakan shalat shubuh di masjid.
Bisa dibayangkan, bulan puasa saja hanya 4 baris yang terisi penuh. Meskipun terkadang juga sampai 5-6 baris di belakang, tapi itu karena sebelum-sebelumnya mereka begadang karena pertandingan bola. Halaman sebelah masjid memang sering digunakan untuk ‘nonton bareng’ seluruh pertandingan piala dunia 2014. Jadi mau tak mau mereka yang ikut nobar juga ikut jama’ah shubuh. Mungkin seperti itu.
Aku segera mengambil air wudhu dan setelahnya kukerjakan 2 rakaat sunnah sebelum shubuh. Itung-itung cari pahala tambahan.
Imam telah datang, iqomah telah dikumandangakan setelah sebelumnya puji-pujian memenuhi ruangan masjid 2 (dua) lantai itu. Dan shalat shubuh kini kami kerjakan.

2 rakaat salam shalat shubuh telah selesai. Berdiam diri sejenak untuk melantunkan dzikir-dzikir lirih dari setiap mulut jama’ah yang ada, termasuk aku. kulantunkan dzikir sebisaku, seingatku, dan sekuatku sebelum kantuk ini meraja.
Aku sudah 9 hari ini tidak pernah tidur malam. Setiap malam kugunakan untuk mengedit beberapa tulisanku. Kadang juga terjaga karena nonton bola. Bahkan kadang sudah kupaksa tidur, dan aku sudah terlentang di kamar yang gelap, tapi masih saja mataku sulit untuk terpejam. Dan baru bisa kupejamkan setelah shubuh. Sebenarnya rasa kantuk sudah terasa ketika mendekati waktu shubuh, tapi aku paksakan agar shubuh terlebih dahulu baru tidur. Takut kalau tidak melaksanakan shalat.
Lantunan dzikir telah kuselesaikan seadanya, dan sebisanya. Aku beranjak dari dudukku. Berjalan membelakangi imam yang masih komat-kamit melantunkan dzikirnya. Kulangkahkan kaki menuju alas kaki yang telah siap menerima berat tubuhku.
Aku berjalan gontai mencoba tidak terjatuh dalam perjalanan pulang dari masjid karena kantuk. Dan aku telah berada di depan pintu coklat tadi. Aku masuk dengan salam lirih. Ruangan gelap menerimaku dengan tanpa jawaban salam dariku. Kubuka kancing baju batik yang kukenakan setelah sebelumnya kuletakkan sjadah merah di atas meja yang setiap harinya kugunakan untuk belajar. Batik telah terbuka disusul sarung coklat telah aku lepaskan dari tubuhku. Kuganti dengan celana pendek dan kaos. Akupun siap untuk tidur sampai adzan dzuhur berkumandang 6 jam berikutnya.
~~~
Satu pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita di atas adalah mengenai perkembangan zaman yang sudah sangat pesat dan tanpa kita sadari, tapi kita rasakan akibatnya.
Lihat saja beberapa tahun ke belakang. Biasanya, masjid-masjid selama ramadhan penuh dengan jama’ah. Baik itu shubuh maupun isya’. Tapi kini sepi dan hanya beberapa orang saja yang mau mengisi shaf shalat itu. Ditambah lagi aku hidup di desa dan biasanya kehidupan desa masih sangat kental dengan yang namanya agama. Masyarakatnya masih berpegang teguh dengan agama Tuhan. Tapi kini agama hanya sebagai alasan agar bisa mengikuti hari raya. Serta agar tidak dikucilkan dari masyarakat. Mungkin seperti itu.
Setidaknya kita bisa belajar, belajar agar peradaban yang sudah baik ini tidak hanya akan menjadi sejarah yang hanya dijadikan sebagai cerita sebelum tidur, bahkan mungkin hanya dilabeli oleh masyarakat setelah kita sebagai mitos. Semoga saja tidak demikian. [] masupik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))