Kamis, 10 Juli 2014

Pilpres 2014


BERFIKIR DAN PAHAMILAH!
Aku masih ingat betul saat pertama kali menggunakan hak suaraku.

Saat itu adalah pemilihan bupati. Dan saat itu aku masih kelas 2 SMA. SMA ku yang memang luar kota, membuatku harus pulang ke rumah agar hak suaraku bisa digunakan. Tapi sebenarnya aku berniat memilih golput. Dan niatku itu bukan tanpa alasan. Alasan yang pertama, mataku sedikit banyak telah terbuka dengan kondisi politik Negara Indonesia terutama kabupaten Tuban. Yang kedua, karena saat hari pencoblosan aku sedang tak enak badan. Tapi karena paksaan dari keluarga, akupun memaksakan kondisi tubuhku untuk pulang ke rumah.

Setelah di rumah, dalam kondisi badan tak sanggup untuk berjalan. Aku menguatkan badanku setidaknya sampai di TPS yang berada di depan rumah. Hanya harus sedikit menyebrang jalan. Dengan sedikit mengantre, akhirnya giliranku masuk bilik suara. Di dalam bilik suara yang terbuat dari bamboo anyaman itu, penglihatanku mulai tak normal karena panas tubuhku yang sudah meninggi. Dan alhasil, aku mencoblos asal nyoblos saja saat itu. Tak tahu foto siapa yang aku coblos. Dan aku pulang kemudian istirahat total.
Selang beberapa hari setelah pilkada, salah satu anggota keluargaku menanyakan mengenai siapa kemarin yang aku coblos. Apakah sama dengan keluargaku. Karena aku saat itu tidak bisa membedakan jadi aku hanya menganggukkan kepala saja. Toh, anggukkan kepala belum berarti iya.

Hak suaraku terpakai lagi saat pilgub propinsi Jawa Timur. Tapi sayang, saat itu aku sedang dituaskan oleh ponpes tempat aku menghabiskan waktu SMA, untuk mengikuti seminar di Semarang. Alhasil, aku golput saat itu. Kuakui saja.
Dan yang ketiga, hak suaraku terpakai saat pemilihan kepala desa beberapa bulan yang lalu sebelum pileg dilaksanakan. Dan baru saat itulah aku sadar sesadar-sadarnya siapa yang aku pilih. Tanpa ada money politik. Meskipun belakangan diketahui, banyak warga yang mendapatkan “amplop” dari calon kepala desa yang kemarin aku pilih. “Yang penting aku tak ikut menikmati money politic darinya.” Pikirku saat itu.
Kemudian saat pemilu legislatif. Kembali hak suaraku tidak bisa kugunakan karena saat itu aku sedang berada di perantauan. Dan kembali kuakui saat itu aku golput untuk yang kedua kalinya. Tapi mungkin aku memilih jalan yang benar karena golput. Toh, calon-calon di Tuban juga tak kukenal. Masak aku harus memilih orang yang tak aku kenal, tapi dia sok kenal dengan kita.
Dan yang baru saja kita lalui, pemilihan presiden Negara republic Indonesia. Dengan 2 calon yang mengajukan dirinya pantas sebagai pemimpin negeri ini. Dan Alhamdulillah, aku menggunakan hak suaraku dengan bijak dan dengan berbagai pertimbangan datum-datum yang sebelumnya telah aku kumpulkan. Entah itu pilihanku menang atau tidak, yang penting aku memilihnya bukan karena ikut-ikut orang lain. Bukan karena media yang selalu membicarakannya, dan yang jelas bukan karena tokoh-tokoh agama yang saat ceramah seharusnya memberikan tausiyah malah meracuni pandangan politik jama’ahnya.

Aku teringat satu perkataan Soedjiwo Tedjo beberapa waktu yang lalu. Dia mengatakan mengenai mimpinya terhadap pemilu yang ada di Indonesia, khususnya pemilihan presiden. Dalam angan-angan mbah Soedjiwo, dia ingin sekali melihat calon-calon presiden yang ada, Itu mencalonkan diri bukan karena dia merasa mampu, bukan karena tuntutan parpolnya, dan juga bukan karena elektabilitasnya di mata public. Tapi dia mengajukan diri karena memang sudah tak ada lagi yang merasa mampu menjadi calon presiden. Jadi ibaratnya seperti pemilihan ketua RT. Pasti orang-orang pada tak mau untuk jadi ketua RT, karena memang dia merasa tak mampu menjadi ketua. Sehingga masyarakat mendesaknya dan memilihnya untuk mencalonkan bahkan menjadi ketua RT. Simple memang tapi itulah seharusnya pemimpin. Bukan dia merasa bisa memimpin, tapi karena rakyatlah yang menilai kalau dia yang lebih cakap untuk memimpin.
Tapi sekali lagi, pilihanku dalam pilpres 2014 ini, tak terpengaruh oleh siapapun. Aku memilihnya karena datum-datum yang ada, yang jika disimpulkan dialahcalon pilihankuyang memang layak untuk menerima suaraku. Seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))