Senin, 09 Februari 2015

Ini Tentang Dika dan Dita Nun Jauh Di Sana



Hari-hari berseragam putih – biru, aku habiskan di salah satu SMP ternama di kecamatan Jatirogo. Meskipun berada di kota kecamatan, namun SMP 1 Jatirogo adalah SMP favorit di wilayah kabupaten Tuban barat. Berbagai macam dan ragam piala pun telah berhasil dibawa pulang dan dipajang di etalase khusus piala di ruang kepala sekolah. Di SMP inilah, aku diperkenalkan dengan berbagai macam teman yang sebelumnya sama sekali tak terfikirkan. Andini Desi Sawitri, Arfani Ihtazza, Darsikin, David Prasetyo, Erlanda Rosi Hidayat, Syaifuddin, Adisty Nurul Husna, Lingga Hageng Kurnia Santosa dan banyak lagi yang aku yakin jika kusebutkan, berlembar-lembar kertas digital akan tersaji nama-nama mereka.

Namun ini bukan tentang mereka. Ini tentang 2 orang teman yang sempat kukenal, tak begitu akrab, hanya sebatas aku mengenalnya dia mengenalku saja. Ini tentang Dika dan Dita.
 
Bukan, mereka bukan bersaudara atau sedarah daging bahkan aku pastikan mereka tak memiliki silsilah yang akhirnya bertemu di peradaban yang lain. Mereka adalah 2 orang teman yang sama sekali tak pernah menorehkan cerita di kehidupanku. Bahkan mereka adalah teman yang sering kali aku menggerutu sinis jika melihat tingkahnya. Mereka juga bukan sosok yang sering dieluh-eluhkan, sehingga aku sering kali iri melihatnya.

Baiklah, kuperkenalkan kalian dengan mereka berdua. Dika, cowok dari keluarga berada, berparas tampan, tinggi tak terlalu menjulang, tak begitu berprestasi di akademik, lihai bermain basket, dan yang membuatku iri adalah cewek yang sempat keluar masuk dalam daftar gebetannya pasti cantik mampus. Itulah yang sering membuatku iri. Dan satu lagi, segala sesuatu yang dia miliki, sebut saja tas, selalu barang branded.

Sempat kala itu, ceweknya adalah teman sekelasku, Adisty Nurul Husna. Disti, panggilan akrabnya, adalah anak pindahan. Cewek cantik, berhijab, tak bisa bahasa Jawa, dan mungkin memiliki nafsu yang besar. Sosok cewek yang sempurna. Saat itu Dika ceritanya sedang kencan. Kencan mereka dilakukan di kelasku. Di dalam kelas, bukan tak ada anak-anak yang lain, tapi semua anak IX F berada di kelas. Bahkan seingatku, itu dilakukan saat jam kosong. Ya, setidaknya menunggu pulang kan bisa! Bukan malah di dalam kelas. Jujur, aku iri melihatnya. Iri tak bisa melakukan seperti itu.

Dika sosok pemain basket yang menjadi primadona bagi pelatih kami, mas Yudha. Aku tak sengaja tergabung dalam pengembangan diri basket. Pengembangan diri sendiri adalah mata pelajaran praktek. Basket, karawitan, menggambar, tata boga adalah pengembangan diri yang dijadwalkan hari Sabtu. Sepak bola, bola voli, hadroh jadwalnya tergantung pelatih masing-masing. Setiap hari Sabtu itulah, aku selalu bertemu Dika. Permainan basket mumpuni, cantik, sering kali dia perlihatkan. Itulah yang membuat pelatih basket kami memilihnya sehingga tergabung dalam tim basket utama. Sedangkan aku, dengan permainan ala kadarnya, hanya sekedar ikut-ikutan, hanya sebagai penggenap absen saja.

Itu adalah sosok Dika. Lantas, siapa Dita? Apakah saudara perempuan Dita? Atau mungkin dia adalah kekasihmu?

Bukan semua. Angapan itu salah besar. Dita tak memiliki hubungan darah apapun dengan Dika, hanya pernah 1 SD dengan Dika. Dia juga bukan kekasihku, amit-amit jabang bayi jika aku sampai berpacaran dengannya.

Dita adalah cewek dengan badan lumayan subur. Dia adalah anak perempuan dengan nilai ujian Sekolah Dasar paling tinggi sewaktu kami semua mendaftar. Dia adalah teman akrab Bintari. Dita adalah anak perempuan tak cantik tapi sok cantik, sedikit kasar, hyperactive, dan yang pasti bagiku dia menjengkelkan.
Aku yang tak sengaja sekelas dengannya saat kelas VII A dan VIII F, tak begitu suka dengan sosoknya. Meskipun nilai ujian Sekolah Dasar yang dia dapatkan adalah yang tertinggi, tapi dia tak begitu mencolok ketika pelajaran. Entah dia mendapatkan nilai dari mana, yang jelas dia tak terlihat pintar. Dia adalah sosok paling cerewet menurutku.

Pernah saat itu kelas VIII. Hari Rabu dan Kamis seragam yang kami gunakan atasan kotak-kotak, sedangkan bawahannya putih. Dita juga berhijab, tapi hijabnya tak menutupi tingkah lakunya. Waktu itu, hari sudah terlampau siang. Mata pelajaran Matematika masih berlangsung. Tiba-tiba dari kursi belakang, ada teriakan. Kalian pasti sudah menduganya. Benar, itu teriakan Dita. Saat itu, pembalut yang digunakan Dita sudah tak mampu menampung darah mens yang keluar. Alhasil, karena memakai rok panjang putih, terlihat jelas warna merah kehitam-hitaman pas di bagian belakang. Kami sekelas sontak kaget, apa yang terjadi dengannya. Aku yang tak terlalu memperhatikan, hanya melihat dia berjalan keluar sembari membawa tas yang digunakan menutupi rok belakangnya. Setelah sadar, ternyata Dita menutupi darah mens yang mengalir deras.

Aku dengan Dita tak pernah begitu akrab, meskipun sekelas, berbincang dengannya pun jarang terjadi. Hanya beberapa kali saja, itupun karena aku pernah mengencani Bintari, sahabatnya. Selebihnya sikap acuh terlihat antara kami berdua.

Namun sekarang, sosok mereka berdua telah hilang. Bukan sekedar hilang terpisah karena jarak, karena tak lagi satu sekolah. Mereka benar-benar hilang. Mereka telah terkubur. Mereka telah mendahului untuk berpulang. Mereka telah mendahului tanpa ucapan selamat tinggal. Mereka pulang di masa muda. Mereka belum merasakan kesuksesan yang diimpi-impikan. Mereka berdua telah meninggalkan aku dan kami semua yang pernah mengenalnya. Jasad mereka telah kembali ke pangkuan bumi.

Kabar tentang berpulangnya Dika aku terima sewaktu berada di Sumatra. Penyakit tumor perut yang dideritanya ternyata lebih ganas ketimbang dia sewaktu berada di lapangan basket. Penyakit mahalnya tak mampu tersembuhkan oleh keberadaan orang tuanya di mata masyarakat. Penyakit itu telah merenggut sosok yang membuatku iri. Merenggut keberadaan Dika yang sebenarnya aku tak tahu dimana dia.

Sementara Dita, sosok anak perempuan yang paling sering membuatku kesal. Kini juga telah berpulang. Meninggalkan Bintari sahabatnya. Meninggalkan aku yang membencinya. Meninggalkan kami semua teman SMP nya. Demam berdarah berhasil membawanya kembali pulang. Terlalu mendadak dan tak terduga oleh kami semua. Aku pertama kali mendengarnya, kukira hanya sebuah lelucon belaka. Bahkan aku sempat tertawa mendengarnya telah tiada. Tapi kepastian yang dijelaskan temanku, membuatku percaya dan membuatku menyesal karena telah tertawa.

Kini jasad mereka telah bersatu dengan bumi. Jasad mereka telah pergi jauh selamanya dan kami tak akan pernah bertemu dengannya. Tapi kenangan dan ingatan terhadap mereka masih tetap ada. Tetap berdiri meski tak akan tumbuh dengan kenangan baru. Ini adalah kenangan lama yang tak akan pernah hilang dari ingatan. 2 orang anak manusia yang bertarung melawan dunia. Teruntuk Dika dan Dita, semoga kalian bahagia di sana. Maafkan aku yang dulu sempat membenci kalian. Semoga di sana, kelak kita akan bertemu dalam keadaan bahagia.
 
Salam dari temanmu nun jauh di bumi.


Apa yang lebih menyedihkan dari kematian? Aku belum tahu dan semoga aku tidak akan hidup untuk merasakan hal yang lebih menyedihkan dari kematian.” [] masupik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))