Selasa, 13 Januari 2015

Tentang Dimas Yang Ku Tahu


Ini bukan tentang kata-kata kotor mana yang paling ampuh antara “jancuk”,” asu”, atau “bajingan”. Bukan perkara siapa yang lebih berjerawat, paling telat masuk kuliah, atau pacar siapakah yang servicenya lebih memuaskan ketika ngedate. Bukan pula soal merk rokok apa yang paling irit jika uang mulai sedikit. Tapi ini perkara kau dan aku yang mengarungi waktu dengan semua kata kotor yang biasa kita lontarkan satu sama lain. Karena memang sudah tak ada istilah lain yang bisa melampiaskan keresahan. Ini adalah kita berdua yang sering kali sengaja masuk kelas perkuliahan 10 menit terakhir. Kita pun selalu menjadwalkan bersama jadwal ngedate. Kau dengan kekasih pelarianmu, dan aku dengan kekasih keduaku. Tapi yang jelas, kau yang lebih berjerawat. Dan yang pasti, rokok kita adalah semua rokok yang sejatinya selalu bisa kita dapatkan dengan kondisi perekonomian yang tak memadai.

Pagi itu aku sengaja mengirim pesan singkat padamu. Kukatakan sengaja karena aku tahu pasti, saat itu kau masih terlena dengan mimpi basahmu. Selain itu, malamnya, kita juga telah membicarakan ini. Kalau pagi hari kita ada kencan tak terduga. Sebuah kencan dengan kekasihmu, dan aku adalah seksi pengasapan, meskipun kekasihmu telah menyediakan lawan jenis.

Malam itu kau bilang, hp murahan yang biasa kau gunakan sengaja dibawa oleh kekasihmu yang sebenarnya kuanggap kekasih super galak. Tapi paginya, aku yang sudah tak sabar bertemu dengan asap betina yang dibawa oleh kekasihmu, sengaja mengirimkan pesan. Ya, itung-itung memberi sinyal siap untuk ngedate colongan. Kalau asap lawan jenis itu mau ditambah aku berani memulai. Alhasil, kita pun berangkat menuju sebuah wihara tua di pucuk sebuah gunung. Tapi sayang, kita hanya bisa sampai di depan gerbang. Tak apa, paling tidak, ketika aku boncengin asap lawan jenis aku bisa merasakan gundukan dada yang menurutku ukurannya 30a. Bahkan lebih kecil. Hanya parasnya yang di atas rata-rata.



Dimas “Dhe” Dahyu, seonggok nama keren yang kau sendiri tak tahu artinya. Ketika kutanyakan padamu apa arti namamu, kau hanya menjawab asal, sesuka nafas busukmu. Tak apa, bukankah di antara kita, nama telah hilang tergantikan dengan panggilan mesra kita berdua, “Dhe”.

Apakah kau ingat saat itu kita masih berseragam “dinas” perkuliahan. Tak ada tujuan yang jelas. Kita hanya mengitari kota Lasem tak tentu arah. Berjuang menghabiskan waktu dengan segala aktivitas tak berguna, penuh keringat, dan yang pasti penuh omong kosong yang bisa kita ucapkan. Dari warung kopi sampai masjid besar. Dari pinggir jalan sampai akhirnya semesta membenci kita dan membawa pada sebuah kandang penuh kotoran, belatung, cacing, dan sapi. Naasnya lagi, kau dan aku mengambil ranting kayu lapuk sekedar mencari cacing dari tumpukan kotoran untuk “bangi”.

Sebelumnya, kau merencanakan pergi ke tambak di pinggiran pantai untuk memancing. Bermodalkan 2000 perak, kau membeli segala perlengkapan bak pemancing profesional yang sekali memancing, 2, 3 ikan terkail. Aku hanya memandangmu diam dengan sedikit menampakkan gigi kuningku. Dengan sedikit gemerutu takjub, “seorang anak dengan imajinasi luar biasa gila kini tengah membukakan pintu lain dari kehidupan untukku.” Setelah kelar, kini giliranmu yang harus memacu motor butut, rongsokan, penuh dengan suara dokar menuju tempat pemancingan illegal.

Aku tahu tempat yang kau tuju, hanya saja kenapa kau turun, mematikan mesin lantas mengajakku bermain kotoran sapi? Apa kau mau wajahmu yang sudah tak rata penuh dengan lobang bekas jerawat yang kau buat sendiri karena keusilan tanganmu, lantas ku ratakan dengan tai sapi ini? Sementara kau asyik dengan ranting serta cacing seukuran normalnya. Tiba-tiba ada 2 anak kecil sengaja menghampiri kita, sesekali tertawa mengejek. “Mas lagi lahpo je?”


Sialnya, kau hanya diam tak peduli dengan kehadiran sperma berbentuk daging yang kini tengah mempermalukan kita. Sebenarnya aku ingin juga melempar anak itu dengan kotoran sapi, tapi sepertinya mereka bisa dialih fungsikan sebagai ranting. Alhasil, tangan-tangan lembek mereka yang kini sedang mengais cacing dari tumpukan kotoran sapi. Sementara aku hanya melihat takjub kelihaian mereka, sepertinya mereka memang telah ditakdirkan untuk memporak-porandakan kotoran sapi demi sehelai cacing.

Kiranya cukup cacing yang telah terkumpul. Berkat bantuan budak-budak kecil, waktu kami tak terbuang lama ditumpukan kotoran sapi. Kini, kami siap menjadi pemancing handal.



Semenjak hari itu, berulang kali kau menunjukkan keganjilan otak, tingkah laku, serta beberapa kehidupanmu. Entah itu yang aku lihat, atau memang itu semua adalah kenyataan hidup yang baru aku lihat dari tampang najismu.

Dimas adalah peranakan siluman kacang panjang yang tak sengaja mengeluarkan spermanya pada remote tv. Dimas adalah sosok pria dengan segala keanehan yang belum pernah aku dan mungkin kalian temukan. Bagiku dan lebih tepatnya bagi penglihatan mata normalku. Sampai seabad ke depan, mungkin dan bisa saja, sosok dirinya tak akan pernah terlahir kembali. Satu siklus peradaban hanya akan ada satu sosok seperti dirinya; ganjil, aneh, berjerawat, autis, dan menyenangkan. Namun, selama dia menjadi manusia, tentunya dia memiliki kelemahan seperti pada umumnya. Satu yang jelas dengan kelemahannya adalah dia tak pandai bergaul. Akibatnya hanya beberapa teman saja yang dia miliki. Sifatnya yang terlampau tak peduli dengan hal di luar kesenangannya, tak akan dia lirik. Meskipun aku sodorkan 2 bintang bokep telanjang di depannya, kalau itu tak menyentuh impuls syaraf kesenangannya, dia tak akan bergeming dari keasyikannya.

Katakanlah saat itu dia pernah bercerita padaku. Satu hari dia sedang menggeletakkan badan kurusnya di sebuah rumah yang kini dia dan beberapa karyawan lainnya tinggali. Saat dia sedang enak merebahkan tubuhnya, tiba-tiba ada 2 perempuan sedang membuka bajunya. Tepat di hadapan Dimas, kedua perempuan itu mengganti pakaian. BH dengan ukuran payudara normal terpampang jelas. Coba tebak apa yang terjadi selanjutnya? Dimas tak bergeming. Bukan hanya dia yang acuh dengan hal itu, tapi alat kelaminnya saja tak bergeming tetap tenang, tunduk, dan tak terangsang sedikitpun. Mungkin kalian akan menganggap Dimas tak wajar, homo, bodoh, tolol, bego, begitu juga denganku. Saat aku mendengar ceritanya sampai kelar, satu kalimat yang keluar dari bibir sensualku, “Dhe, mengko ndang koe homo!” Jika aku atau kalian para lelaki hidung belang yang ada di posisi Dimas, pasti sudah memanfaatkan kesempatan langkah itu. Dua pasang BH terpampang begitu saja.



Kembali lagi dengan sifat acuhnya. Memang itu akan membuat dirinya tak memiliki teman sama sekali. Tetapi ketika kita berteman dengan seseorang, apakah kita harus memaksa seseorang tersebut agar sejalan, sepemikiran, sesifat, bahkan setipe dengan kita? Tidak kan! Mungkin itulah yang selama ini diterima oleh Dimas. Dia selalu dipandang aneh, tak seperti kebanyakan cowok pada umumnya. Tapi kalau Dimas bisa bangga dengan dirinya yang aneh, autis, ganjil, kenapa kalian harus menjadi orang lain ketika mencari teman? Jadi sebenarnya bukan Dimas yang tak bisa memiliki teman, tapi merekalah yang tak bisa berteman. Toh, kalau kalian sudah mengenal Dimas, kalian akan merasakan kesenangan serta keterkejutan tak terduga, tak terhingga ketika berteman dengannya. Itu menurutku yang sudah hampir 2 tahun bersamanya.

Satu kalimat indah yang kudapatkan dari film Cars II, “Kalau dia sahabatmu, kenapa kau memaksanya untuk menjadi orang lain?” 


Dimas adalah manusia dengan segala keganjilan, autis, dan keanehan yang pernah aku temukan di dunia ini. Sosok manusia dengan segala kemalasannya. Sebongkah daging berjalan dengan nyawa yang pernah dilahirkan dari seorang ibu yang ia cintai. Cinta yang dia berikan padanya amatlah berbeda. Seperti kucing dan anjing. Selalu bertengkar ketika bertemu, selalu meributkan suatu hal, selalu memperdebatkan masalah. Tapi jika kucing tak ada, maka cerita dongeng-dongeng yang melibatkan seekor kucing tak akan pernah terbentuk adanya. Begitu juga dengan Dimas. Jika tak ada ibunya saat ini, dia tak akan pernah dilahirkan ke dunia, dan dia juga tak akan lahir dari bongkahan kotoran sapi. Cinta pada ibunya begitu tulus, berbeda, genuine, asli, tegas. Dan cinta pada ibunya itu, pernah dia tunjukan padaku saat aku tak sengaja terkapar di rumahnya.

Dimas adalah sosok penciptaan gagal yang pernah ada di muka bumi. Sosok terkutuk yang menjelma sebagai manusia. Sosok bajingan tengik yang seharusnya dipenjarakan bahkan dihukum mati. Dia adalah sosok bangkai dengan segala bau busuknya. Dia adalah sosok manusia yang pernah membuatku meneteskan air liur deras. Aku kagum dengan sifat peduli sesama yang pernah dia ajarkan padaku. Mengenai sebuah sedotan sebagai alat pembantu kita untuk minum. Seusai minuman kita kelar, kau membakar, melobangi dengan bara rokokmu. Aku tak habis pikir, bagiku itu sia-sia dan hanya menghabiskan waktu serta buang-buang asap rokok. Tapi apa jawabanmu saat itu, kau bilang “ben sedotan iki gak dienggo wong iki maneh. Kan ketoro wes tau kanggo!” Aku terkejut bukan kepalang. Sosokmu yang hampir tak peduli apapun, ternyata menyimpan kepedulian luas yang orang mungkin tak akan sempat memikirkannya.

Dimas adalah sebatang lidi gosong yang terbuang, diinjak-injak, tergores tai. Dia adalah transformasi dari kumpulan belatung bangkai burung hantu. Tapi dia adalah sosok sahabat yang akan tetap tertawa meskipun aku dengan lantang mengatakan semua kebodohannya. Sosok sahabat yang penuh pertanyaan mengenai agamanya, sampai aku sendiri kagok dan hampir tak percaya. Sebuah najis hidup menanyakan kesucian hidup menjadi manusia.

Dia adalah Dimas Dewangga Dahyu, seorang sahabat yang mungkin tak akan pernah kutemukan lagi keberadaannya di dunia ini. Meskipun teknologi cloning telah ramai, tapi dia (teknologi) tak akan pernah bisa mencetak ulang arti persahabatan yang ia pernah berikan. [] masupik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))