Masih perlu belajar lagi, lagi, dan lagi. Seumpama akan ada hari
berikutnya kata itulah yang akan terus terulang. Belajar, belajar, dan belajar.
Begitu seterusnya. Jika dijadikan kalimat matematika mungkin saja ada kata
belajar dalam kurung kemudian berpangkat tak terhingga. Mungkin seperti ini,
(BELAJAR)*~, ya seperti itulah rumit dan tak karuan. Namun itulah seni dalam
matematika. Satu disiplin ilmu yang sempat membawaku dalam seleksi olimpiade
matematika tingkat kabupaten. Dan Alhamdulillah saya tak berhasil.
Benar sekali, matematika adalah
salah satu bidang pelajaran paling tak bisa ku kuasai ketika masih berseragam
putih-biru, topi biru, dan masih dalam bentuk celana pendek. Meskipun pelajaran
lainnya juga tak luput dari kata tak bisa, tapi untuk matematika tak bisa
kuadrat ibarat persamaan. Sewaktu SMP, nilai matematikaku tidak sebagus dengan
temannya temanku yang mendapat ranking kelas paling bawah. Yaitu aku sendiri.
Tidak pernah menembus angka lima dalam ulangan harian wajar. Wajar dalam
artian, apabila dalam rapor terdapat nilai tujuh pada ulangan tadi. Sebut saja
ulangan harian kedua, maka nilai itu adalah hasil remedial beberapa kali.
Saking berulang-ulang kali itulah Pak Slamet—guru matematika sewaktu SMP—memberikan
nilai tujuh padaku. Mungkin karena bosan karena aku terus melakukan remedial.
Pernah kala itu akan ada ulangan
matematika Bab Aljabar. Aljabar adalah salah satu dari sekian banyak bab dalam
buku matematika yang tak bisa aku kuasai meskipun kebanyakan memang tak aku
kuasai namun setidaknya ada sedikit pemahaman. Spesial untuk Aljabar tak ada
pemahaman sedikitpun.
Hari ulangan telah tiba, kami
berlima mendapatkan tempat duduk paling depan. Dengan hanya 5 kursi dan meja
yang menjadi satu seperti kursi anak kuliahan. Benar saja, semenjak kelas VII
aku sudah masuk kelas unggulan karena nilai ujian Sekolah Dasar yang bagus. Aku
masuk kelas VIII F yang merupakan kelas unggulan. Dan keunggulan dari kelas ini
adalah bisa memasuki laboratorium bahasa yang angker di pojok, selalu terkunci,
penuh dengan headphone lengkap dengan microphone, dan akan terbuka ketika
jadwal pelajaran Bahasa Inggris ada, dan itu hanya dua kali dalam seminggu atau
delapan kali dalam sebulan, atau 96 kali dalam setahun kalau tidak ada jam
kosong dan kalau tiada libur serta ulangan, dan lain-lainnya.
Aku sudah tahu kalau kursi yang
berjumlah lima berbaris rapi di deretan depan kelas VIII F ini pasti aku salah
satu dari orang yang sudah tercatat namanya untuk mendudukinya. Bukan kami yang
memang pintar lantas kami duduk di depan agar yang pintar dalam tanda kutip
tidak menyontek pekerjaan kami. Tapi kami ber-lima-lah yang paling terseok-seok
dalam pelajaran matematika. Ya, kami berlima. Sebenarnya bukan berlima tapi
berdelapan sebagai siswa yang sering membuat onar ketika hari Sabtu datang.
Nanti kuceritakan.
Lima orang yang sudah dipesankan
tempat duduk itu telah menempati singga-sananya. Kala itu soal bukan terpampang
di proyektor yang menggantung di atas kepala kami. Tapi dalam selebaran kertas
berukuran setengah kertas HVS dengan lima soal mengenai Aljabar. All about
Aljabar. Memang aku tetap takut mendapatkan nilai jelek dan aku juga
berusaha belajar, malam sebelum pagi ulangan itu. Dengan sungguh-sungguh ku
kerjakan soal itu. Kebiasaanku ketika menerima soal dalam bentuk lembaran
adalah aku membaca semua soal terlebih dahulu baru kemudian aku membacanya dari
awal, baru mengerjakan satu persatu dan itu sampai sekarang.
Lima soal sudah terbaca semuanya,
dan alhasil tiada kemudahan dalam soal itu. Bayangkan, baru membacanya saja
sudah susah apalagi mengerjakan dalam tempo dua kali empat puluh lima menit.
Soal nomor satu, kubaca dan mencoba mengingat-ingat rumus Aljabar yang bisa
atau setidaknya mendekati soal nomor satu ini. Hampir sepuluh menit mencoba
mengerjakan soal nomor satu, namun belum tergores kertas putih yang sengaja
dijadikan wadah jawaban dari kelima soal itu. Tak mau kehabisan waktu tanpa
mengerjakan satu soalpun. Akhirnya aku beralih ke soal nomor dua berharap soal
nomor dua ada kaitannya dengan rumus yang semalam aku baca. Namun harapanku
masih belum menghasilkan tepuk tangan. Soal nomor dua bahkan tak kumengerti
kalau soal seperti ini ada dalam buku pegangan matematika-ku. Mencoba
keberuntungan lagi dengan melirik soal nomor tiga dan meninggalkan soal nomor
dua dengan tanpa jawaban. Namun empat puluh lima menit pertama aku sama sekali
tak menghasilkan goresan tinta dalam kertas jawabanku. Hanya mengingat apa yang
aku baca semalam sampai nomor lima.
Sementara itu kutengok teman yang
berada di samping kiriku. Sedikit melirik khas orang yang sedang kebingungan
dan mencari jawaban. Ternyata temanku bisa mengerjakan nomor 1. Nomor
berikutnya masih tanda tanya. Sadar kalau aku sedang melirik jawabannya, sontak
dia membalas lirikanku sinis. Seperti menunjukkan bahwa dia bisa mengerjakan
matematika. Njir!
Tak ada teman yang berada di sisi
kananku, yang ada hanya belakang kursi dan itu cewek. Baru mau melirik sedikit
jawaban nyaliku sudah ciut. Alhasil kuurungkan niat burukku itu. Waktu tersisa
sekitar 35 menit, dan aku belum menggoreskan tinta pulpen sedikitpun dalam
lembar jawaban. Hanya nama, nomor absen, dan kelas yang menghiasi sudut kiri
pojok atas lembar jawaban itu. Kukerahkan semua ingatanku untuk mengingat
tentunya hasil belajarku semalam. Kubaca lagi soal nomor satu, melihat angka
yang ada, melihat koefisien yang ada, dan melihat celah dalam soal tersebut dan
berharap soal itu salah dan termasuk bonus.
Setelah berusaha hampir 5 menit.
Akhirnya soal nomor satu pun terselesaikan dengan penyelesaian yang bimbang.
Tiada kepastian bahwa itulah jawaban yang dibutuhkan untuk mendapatkan kategori
benar. Tapi it’s oke, yang penting mengumpulkan jawaban bukan kertas
yang tertulis nama, nomor absen dan kelas saja.
Hanya butuh 20 menit kedepan soal nomor
2 sampai nomor 5 terselesaikan. Sangat luar biasa. Apakah ini termasuk
kekuatanku. Kekuatan ketika dalam posisi tersudut otakku baru mengalir.
Meskipun jawaban yang kudapat penuh dengan rasa tidak yakin. Tapi jawaban itu
sangat memuaskan aku yang memang tidak bisa pelajaran matematika.
Bel istirahat pertama pun telah
berdentang. Teeet… tet… tet…. Dan itu juga pertanda kalau waktu untuk
mengerjakan 5 soal itu sudah selesai dan harus segera dikumpulkan. Diberilah
waktu 5 menit lagi untuk sekedar mengoreksi jawaban sendiri sebelum benar-benar
dikumpulkan. Bagiku waktu 5 menit ini bukan untuk mengoreksi namun lebih
tepatnya untuk menyakinkan bahwa itu jawaban dari soal-soal itu.
Semua jawaban telah terkumpul. Dan
kami lekas istirahat untuk melemaskan otot otak kami yang kami kuras dalam
ulangan tadi. Dan kebiasaan setelah ulangan adalah, sebagian teman dengan
sengaja mengulas kembali jawaban mereka dengan teman yang lain. Memperdebatkan
cara dalam menyelesaikan pekerjaan mereka, baru kemudian mencocokkan hasil dari
pekerjaan mereka. Bagi mereka mungkin itu baik karena mengulas apa yang mereka
kerjakan tadi. Tapi bagiku yang bisa mengerjakan saja sudah cukup puas, bahkan
puas sekali, mendengarkan teman sedang mencocokkan pekerjaan mereka membuatku
risih dan semakin khawatir kalau jawabanku itu salah. Karena apa, karena cara
penyelesaian sampai hasil pekerjaanku tak ada yang sama dengan kebanyakan teman
lainnya. Namun optimis kalau jawaban teman juga tak selamanya benar meskipun
banyak yang sama.
Istirahat 20 menit tak terasa sudah
harus kembali ke dalam kelas VIII F. kelas unggulan dari SMP negeri yang banyak
dari omongan orang SMP itu bagus. Dan menurutku memang bagus, tak diragukan
lagi malahan.
Hari itu jadwal pelajaran matematika
hanya 2 jam pelajaran. 2 kali 45 menit, atau sembilan puluh menit. Biasanya di
kelas kami jam matematika selalu memenuhi hari-hari terdepan. Lantas bagaimana
dengan pelajaran yang lain, pasti tidak mendapatkan jam? Tenang saja kawan,
kelas unggulan itu bukan hanya berarti kami diunggulkan dalam segi akademis,
tapi kami diunggulkan juga dalam segi jam pembelajaran. Benar sekali, kelas
yang lain pulang hari-hari biasanya pukul 13.30 tapi kelas kami hampir pukul 4
sore. Maka dari itu beberapa mata pelajaran mendapatkan jam yang lebih banyak
dari mata pelajaran lainnya khususnya matematika.
Entah kenapa setelah duduk di kursi
yang masih tertata seperti saat ulangan tadi, fikiranku mengatakan bahwa
matematika belum selesai. Benar kawan, kelas kami bebas menata kursi sesuai
keingingan kami. Kadang kami bergerombol, kadang kami berjauhan pada saat
ulangan, kadang kami membentuk barisan seperti setengah lingkaran, dan seperti
huruf L macam-macamlah pokoknya. Jadi kami tidak merasa bosan dalam posisi
tempat duduk. Dan tidak itu pula, warna cat kelas kami bisa kami rubah setiap
waktu tanpa harus menunggu isyarat dari kepala sekolah. Kami bebas merenovasi
kelas sesuai kehendak hati kami, tak ada yang melarang. Selama kami bisa
mendapatkan prestasi akademis yang melebihi kelas lain.
Dan yang kukhawatirkan ternyata
terjadi. Jam matematika hari itu ditambah karena ada salah seorang guru yang
memiliki kesibukan dalam jam yang seharusnya jam beliau, sehingga Pak Slamet
mengacungkan diri untuk mengisi kelas kami. Meskipun tak mengacungkan diri
pasti Pak Slamet juga yang bakal mengisi kelas kami ketika ada jam kosong,
karena dia-lah wali kelas kami.
Dengan membawa kertas jawaban
ulangan tadi, kuyakin pasti kertas jawaban itu akan dibagikan dan dikoreksi
bersama-sama. Dan fikiranku tepat lagi, tak salah. Kertas itu dibagikan secara
acak yang pentik nama yang ada di kertas itu tidak jatuh kepada orangnya.
Kucocokkan jawaban temanku. Dan
kejadian yang kutunggu-tunggu ternyata datang tepat pada saat yang berbahagia.
Soal nomor 3 ternyata ada angka yang salah, dan soal nomor 3 bonus. Yang
artinya meskipun jawaban salah tetap mendapat nilai. Alhamdulillah sudah benar
1 jawabanku. Dengan menuliskan semua langkah jawaban di whiteboard. Kucocokkan
kertas jawaban temanku dengan teliti. Setelah semuanya kucocokkan ternyata dia
hanya salah satu pada nomor 4. Dan soal yang tadi dikatakan bonus ternyata dia
tidak mengerjakan soal itu.
Setelah semua jawaban 24 anak dalam
kelas unggulan dicocokkan. Maka tibalah saat yang tak ingin didengar oleh
teman-teman dan olehku pribadi. Meneriakkan hasil jawaban benar setiap anak
berurutan mulai dari nomor absen 1. Abdul Aziz-lah yang menjadi absen nomor 1.
Berlatar belakang jebolan olimpiade matematika SMP dia (Abdul Aziz) dari 5 soal
hanya salah nomor 3. Dan berhubung nomor 3 bonus maka sempurnalah nilainya. Aku
sendiri memegang juru kunci nomor 4 pada urutan absen kelas VIII F. Namun
karena teman kami yang mencocokkan absen nomor 2 masih bingung mengoreksi maka
majulah dalam daftar panggilan nomor 3.
“Ahmad Luthfil Hakim.” Namaku
dipanggil dengan lengkap oleh Pak Slamet, guru matematika yang tak kalah karya
seni menggambarnya.
“Betul 1 pak.” Sebuah suara mungil
dari pojok kiri belakang.
Dalam hatiku mengira bahwa lima soal
tadi dan hanya satu jawaban yang benar. Pastilah itu soal bonus nomor 3 tadi.
“Luthfil, benar nomor berapa?” tanya
Pak Slamet kaget.
“Soal nomor 3 yang bonus tadi pak!”
Jawab dengan lantang suara mungil yang tadi, berbalik menjadi suara yang berat
dan besar.
Hampir satu kelas menertawakan. Tak
tahu itu menertawakanku, menertawakan temanku yang bersuara mungil tadi,
ataukah menertawakan soal yang benar tadi karena benar bukan soal pengerjaannya
tapi benar karena bonus. Semenjak saat itulah nama Ahmad Luthfil Hakim mulai
terkenal. Terkenal karena sebagai anak bonusan. [] masupik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))