Jumat, 02 Januari 2015

Anak Bonusan

Masih perlu belajar lagi, lagi, dan lagi. Seumpama akan ada hari berikutnya kata itulah yang akan terus terulang. Belajar, belajar, dan belajar. Begitu seterusnya. Jika dijadikan kalimat matematika mungkin saja ada kata belajar dalam kurung kemudian berpangkat tak terhingga. Mungkin seperti ini, (BELAJAR)*~, ya seperti itulah rumit dan tak karuan. Namun itulah seni dalam matematika. Satu disiplin ilmu yang sempat membawaku dalam seleksi olimpiade matematika tingkat kabupaten. Dan Alhamdulillah saya tak berhasil.
            Benar sekali, matematika adalah salah satu bidang pelajaran paling tak bisa ku kuasai ketika masih berseragam putih-biru, topi biru, dan masih dalam bentuk celana pendek. Meskipun pelajaran lainnya juga tak luput dari kata tak bisa, tapi untuk matematika tak bisa kuadrat ibarat persamaan. Sewaktu SMP, nilai matematikaku tidak sebagus dengan temannya temanku yang mendapat ranking kelas paling bawah. Yaitu aku sendiri. Tidak pernah menembus angka lima dalam ulangan harian wajar. Wajar dalam artian, apabila dalam rapor terdapat nilai tujuh pada ulangan tadi. Sebut saja ulangan harian kedua, maka nilai itu adalah hasil remedial beberapa kali. Saking berulang-ulang kali itulah Pak Slamet—guru matematika sewaktu SMP—memberikan nilai tujuh padaku. Mungkin karena bosan karena aku terus melakukan remedial.
            Pernah kala itu akan ada ulangan matematika Bab Aljabar. Aljabar adalah salah satu dari sekian banyak bab dalam buku matematika yang tak bisa aku kuasai meskipun kebanyakan memang tak aku kuasai namun setidaknya ada sedikit pemahaman. Spesial untuk Aljabar tak ada pemahaman sedikitpun.
            Hari ulangan telah tiba, kami berlima mendapatkan tempat duduk paling depan. Dengan hanya 5 kursi dan meja yang menjadi satu seperti kursi anak kuliahan. Benar saja, semenjak kelas VII aku sudah masuk kelas unggulan karena nilai ujian Sekolah Dasar yang bagus. Aku masuk kelas VIII F yang merupakan kelas unggulan. Dan keunggulan dari kelas ini adalah bisa memasuki laboratorium bahasa yang angker di pojok, selalu terkunci, penuh dengan headphone lengkap dengan microphone, dan akan terbuka ketika jadwal pelajaran Bahasa Inggris ada, dan itu hanya dua kali dalam seminggu atau delapan kali dalam sebulan, atau 96 kali dalam setahun kalau tidak ada jam kosong dan kalau tiada libur serta ulangan, dan lain-lainnya.
            Aku sudah tahu kalau kursi yang berjumlah lima berbaris rapi di deretan depan kelas VIII F ini pasti aku salah satu dari orang yang sudah tercatat namanya untuk mendudukinya. Bukan kami yang memang pintar lantas kami duduk di depan agar yang pintar dalam tanda kutip tidak menyontek pekerjaan kami. Tapi kami ber-lima-lah yang paling terseok-seok dalam pelajaran matematika. Ya, kami berlima. Sebenarnya bukan berlima tapi berdelapan sebagai siswa yang sering membuat onar ketika hari Sabtu datang. Nanti kuceritakan.
            Lima orang yang sudah dipesankan tempat duduk itu telah menempati singga-sananya. Kala itu soal bukan terpampang di proyektor yang menggantung di atas kepala kami. Tapi dalam selebaran kertas berukuran setengah kertas HVS dengan lima soal mengenai Aljabar. All about Aljabar. Memang aku tetap takut mendapatkan nilai jelek dan aku juga berusaha belajar, malam sebelum pagi ulangan itu. Dengan sungguh-sungguh ku kerjakan soal itu. Kebiasaanku ketika menerima soal dalam bentuk lembaran adalah aku membaca semua soal terlebih dahulu baru kemudian aku membacanya dari awal, baru mengerjakan satu persatu dan itu sampai sekarang.
            Lima soal sudah terbaca semuanya, dan alhasil tiada kemudahan dalam soal itu. Bayangkan, baru membacanya saja sudah susah apalagi mengerjakan dalam tempo dua kali empat puluh lima menit. Soal nomor satu, kubaca dan mencoba mengingat-ingat rumus Aljabar yang bisa atau setidaknya mendekati soal nomor satu ini. Hampir sepuluh menit mencoba mengerjakan soal nomor satu, namun belum tergores kertas putih yang sengaja dijadikan wadah jawaban dari kelima soal itu. Tak mau kehabisan waktu tanpa mengerjakan satu soalpun. Akhirnya aku beralih ke soal nomor dua berharap soal nomor dua ada kaitannya dengan rumus yang semalam aku baca. Namun harapanku masih belum menghasilkan tepuk tangan. Soal nomor dua bahkan tak kumengerti kalau soal seperti ini ada dalam buku pegangan matematika-ku. Mencoba keberuntungan lagi dengan melirik soal nomor tiga dan meninggalkan soal nomor dua dengan tanpa jawaban. Namun empat puluh lima menit pertama aku sama sekali tak menghasilkan goresan tinta dalam kertas jawabanku. Hanya mengingat apa yang aku baca semalam sampai nomor lima.
            Sementara itu kutengok teman yang berada di samping kiriku. Sedikit melirik khas orang yang sedang kebingungan dan mencari jawaban. Ternyata temanku bisa mengerjakan nomor 1. Nomor berikutnya masih tanda tanya. Sadar kalau aku sedang melirik jawabannya, sontak dia membalas lirikanku sinis. Seperti menunjukkan bahwa dia bisa mengerjakan matematika. Njir!
            Tak ada teman yang berada di sisi kananku, yang ada hanya belakang kursi dan itu cewek. Baru mau melirik sedikit jawaban nyaliku sudah ciut. Alhasil kuurungkan niat burukku itu. Waktu tersisa sekitar 35 menit, dan aku belum menggoreskan tinta pulpen sedikitpun dalam lembar jawaban. Hanya nama, nomor absen, dan kelas yang menghiasi sudut kiri pojok atas lembar jawaban itu. Kukerahkan semua ingatanku untuk mengingat tentunya hasil belajarku semalam. Kubaca lagi soal nomor satu, melihat angka yang ada, melihat koefisien yang ada, dan melihat celah dalam soal tersebut dan berharap soal itu salah dan termasuk bonus.
            Setelah berusaha hampir 5 menit. Akhirnya soal nomor satu pun terselesaikan dengan penyelesaian yang bimbang. Tiada kepastian bahwa itulah jawaban yang dibutuhkan untuk mendapatkan kategori benar. Tapi it’s oke, yang penting mengumpulkan jawaban bukan kertas yang tertulis nama, nomor absen dan kelas saja.
            Hanya butuh 20 menit kedepan soal nomor 2 sampai nomor 5 terselesaikan. Sangat luar biasa. Apakah ini termasuk kekuatanku. Kekuatan ketika dalam posisi tersudut otakku baru mengalir. Meskipun jawaban yang kudapat penuh dengan rasa tidak yakin. Tapi jawaban itu sangat memuaskan aku yang memang tidak bisa pelajaran matematika.
            Bel istirahat pertama pun telah berdentang. Teeet… tet… tet…. Dan itu juga pertanda kalau waktu untuk mengerjakan 5 soal itu sudah selesai dan harus segera dikumpulkan. Diberilah waktu 5 menit lagi untuk sekedar mengoreksi jawaban sendiri sebelum benar-benar dikumpulkan. Bagiku waktu 5 menit ini bukan untuk mengoreksi namun lebih tepatnya untuk menyakinkan bahwa itu jawaban dari soal-soal itu.
            Semua jawaban telah terkumpul. Dan kami lekas istirahat untuk melemaskan otot otak kami yang kami kuras dalam ulangan tadi. Dan kebiasaan setelah ulangan adalah, sebagian teman dengan sengaja mengulas kembali jawaban mereka dengan teman yang lain. Memperdebatkan cara dalam menyelesaikan pekerjaan mereka, baru kemudian mencocokkan hasil dari pekerjaan mereka. Bagi mereka mungkin itu baik karena mengulas apa yang mereka kerjakan tadi. Tapi bagiku yang bisa mengerjakan saja sudah cukup puas, bahkan puas sekali, mendengarkan teman sedang mencocokkan pekerjaan mereka membuatku risih dan semakin khawatir kalau jawabanku itu salah. Karena apa, karena cara penyelesaian sampai hasil pekerjaanku tak ada yang sama dengan kebanyakan teman lainnya. Namun optimis kalau jawaban teman juga tak selamanya benar meskipun banyak yang sama.
            Istirahat 20 menit tak terasa sudah harus kembali ke dalam kelas VIII F. kelas unggulan dari SMP negeri yang banyak dari omongan orang SMP itu bagus. Dan menurutku memang bagus, tak diragukan lagi malahan.
            Hari itu jadwal pelajaran matematika hanya 2 jam pelajaran. 2 kali 45 menit, atau sembilan puluh menit. Biasanya di kelas kami jam matematika selalu memenuhi hari-hari terdepan. Lantas bagaimana dengan pelajaran yang lain, pasti tidak mendapatkan jam? Tenang saja kawan, kelas unggulan itu bukan hanya berarti kami diunggulkan dalam segi akademis, tapi kami diunggulkan juga dalam segi jam pembelajaran. Benar sekali, kelas yang lain pulang hari-hari biasanya pukul 13.30 tapi kelas kami hampir pukul 4 sore. Maka dari itu beberapa mata pelajaran mendapatkan jam yang lebih banyak dari mata pelajaran lainnya khususnya matematika.
            Entah kenapa setelah duduk di kursi yang masih tertata seperti saat ulangan tadi, fikiranku mengatakan bahwa matematika belum selesai. Benar kawan, kelas kami bebas menata kursi sesuai keingingan kami. Kadang kami bergerombol, kadang kami berjauhan pada saat ulangan, kadang kami membentuk barisan seperti setengah lingkaran, dan seperti huruf L macam-macamlah pokoknya. Jadi kami tidak merasa bosan dalam posisi tempat duduk. Dan tidak itu pula, warna cat kelas kami bisa kami rubah setiap waktu tanpa harus menunggu isyarat dari kepala sekolah. Kami bebas merenovasi kelas sesuai kehendak hati kami, tak ada yang melarang. Selama kami bisa mendapatkan prestasi akademis yang melebihi kelas lain.
            Dan yang kukhawatirkan ternyata terjadi. Jam matematika hari itu ditambah karena ada salah seorang guru yang memiliki kesibukan dalam jam yang seharusnya jam beliau, sehingga Pak Slamet mengacungkan diri untuk mengisi kelas kami. Meskipun tak mengacungkan diri pasti Pak Slamet juga yang bakal mengisi kelas kami ketika ada jam kosong, karena dia-lah wali kelas kami.
            Dengan membawa kertas jawaban ulangan tadi, kuyakin pasti kertas jawaban itu akan dibagikan dan dikoreksi bersama-sama. Dan fikiranku tepat lagi, tak salah. Kertas itu dibagikan secara acak yang pentik nama yang ada di kertas itu tidak jatuh kepada orangnya.
            Kucocokkan jawaban temanku. Dan kejadian yang kutunggu-tunggu ternyata datang tepat pada saat yang berbahagia. Soal nomor 3 ternyata ada angka yang salah, dan soal nomor 3 bonus. Yang artinya meskipun jawaban salah tetap mendapat nilai. Alhamdulillah sudah benar 1 jawabanku. Dengan menuliskan semua langkah jawaban di whiteboard. Kucocokkan kertas jawaban temanku dengan teliti. Setelah semuanya kucocokkan ternyata dia hanya salah satu pada nomor 4. Dan soal yang tadi dikatakan bonus ternyata dia tidak mengerjakan soal itu.
            Setelah semua jawaban 24 anak dalam kelas unggulan dicocokkan. Maka tibalah saat yang tak ingin didengar oleh teman-teman dan olehku pribadi. Meneriakkan hasil jawaban benar setiap anak berurutan mulai dari nomor absen 1. Abdul Aziz-lah yang menjadi absen nomor 1. Berlatar belakang jebolan olimpiade matematika SMP dia (Abdul Aziz) dari 5 soal hanya salah nomor 3. Dan berhubung nomor 3 bonus maka sempurnalah nilainya. Aku sendiri memegang juru kunci nomor 4 pada urutan absen kelas VIII F. Namun karena teman kami yang mencocokkan absen nomor 2 masih bingung mengoreksi maka majulah dalam daftar panggilan nomor 3.
            “Ahmad Luthfil Hakim.” Namaku dipanggil dengan lengkap oleh Pak Slamet, guru matematika yang tak kalah karya seni menggambarnya.
            “Betul 1 pak.” Sebuah suara mungil dari pojok kiri belakang.
            Dalam hatiku mengira bahwa lima soal tadi dan hanya satu jawaban yang benar. Pastilah itu soal bonus nomor 3 tadi.
            “Luthfil, benar nomor berapa?” tanya Pak Slamet kaget.
            “Soal nomor 3 yang bonus tadi pak!” Jawab dengan lantang suara mungil yang tadi, berbalik menjadi suara yang berat dan besar.
            Hampir satu kelas menertawakan. Tak tahu itu menertawakanku, menertawakan temanku yang bersuara mungil tadi, ataukah menertawakan soal yang benar tadi karena benar bukan soal pengerjaannya tapi benar karena bonus. Semenjak saat itulah nama Ahmad Luthfil Hakim mulai terkenal. Terkenal karena sebagai anak bonusan. [] masupik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))