Seperti biasanya, aku terjaga penuh semalaman. Tak ada rasa
kantuk yang datang, meskipun hanya beberapa menit. Di luaran rumah sudah ramai
dengan anak-anak yang tong-tongklek. Saling kompak dalam menyanyikan lagu
sebisanya. Memukul alat-alat rumah tangga serta kaleng-kaleng bekas dengan
irama yang kadang tak selaras. Ada pula yang menggunakan sound sistem lengkap.
Sehingga harus sedia becak atau gerobak untuk memutarnya keliling kampung. Dan
di balik pintu rumahku, terdapat aku yang masih bergelut dengan laptop acer
aspire pemberian orang tua 2 tahun lalu.
Suara adzan dari salah satu masjid telah berkumandang pukul
3 dini hari. Ini bukan adzan shubuh atau ada orang yang iseng adzan pukul
segitu. Tapi adzan ini adalah adzan untuk membangunkan orang untuk shalat
tahajjut. Begitulah alasan mereka ketika ditanya mengapa mengumandangkan adzan
pukul 3 dini hari.
Jam di dinding telah menunjukan pukul setengah 4. Aku
membangunkan nenek dan bibiku dari mimpi indahnya. “Nek udah setengah 4,” “Bik,
udah setengah 4.” Dan mereka segara ke dapur untuk mempersiapkan santap sahur.
Begitu setiap harinya.
Sementara bibi dan nenek mempersiapkan santap sahur, aku
asyik menonton program televisi sembari menunggu santap sahur siap. Setelah
siap dan telah dihidangkan, kami bertiga sahur dalam suasana kehangatan yang
nikmat.
Kelar sahur, biasanya nenek dan bibiku memejamkan mata
kembali. Sementara aku tetap terjaga menunggu waktu shubuh tiba. Dan seperti
biasanya, usai shalat shubuh barulah giliranku yang tidur. Dan siang harinya baru
terbangun dengan badan lemas.
Adzan shubuh berkumandang. Kuganti semua pakaian yang
kukenakan dengan sarung dan baju koko. Kadang juga aku memakai jaket untuk ikut
shalat shubuh berjama’ah di masjid depan rumah.
Aku berjalan di tengah kumandang adzan yang bersahutan dari
masjid-masjid yang ada di desa. Ada yang sudah kelar adzan, ada yang masih di
lafal hay’alal falah, bahkan sudah ada yang iqomah. Suasana sepi hanya
da beberapa orang tua yang membersihkan halaman rumahnya. Sementara aku
berjalan dengan wajah ngantuk yang sangat.
Aku telah sampai di halaman masjid yang kebetulan samping
masjid adalah sekolah MI. kulangkahkan kakiku dengan sopan dan santai. Tak ada
ketergesa-gesa yang mengiringi. Semua normal pada tempatnya. Sampai aku berada
di tempat wudhu.
Kulepaskan jaket yang aku pakai. Di tempat wudhu aku melihat
pria tua sedang membersihkan kemaluannya setelah kencing tepat di tempat untuk
berwudhu. Dalam benakku, “apa yang dilakukan orang ini? Membasuh alat kelamin
di kran tempat berwudhu. Padahal sudah disediakan sendiri tempat untuk
kencing.” Aku tak habis pikir dengan kelakuan pria setengan baya itu. Yang
lebih aneh lagi, ketika aku masuk di tempat wudhu, pria itu melihatku tapi tak
menghentikan apa yang dilakukannya itu. Dia tetap merampungkan membasuh
kelaminnya di tempat wudhu. Aku berwudhu dengan pikiran pada pira paruh baya
itu.
Kelar berwudhu dan kelar juga shalat jama’ah shubuh pagi
itu. Aku beranjak dari duduk dzikir setelah shalat lebih awal dari para jama’ah
lainnya. Aku berjalan pulang dan kondisi jalan raya masih sepi. Hanya ada
orang-orang yang berangkat mencari ikan yang turun dari arah pasar dengan
sepeda butut mereka.
Aku masuk ke rumah, melepas peci, jaket serta meletakannya
di meja belajarku. Kuganti sarung dengan celana pendek dan aku siap untuk tidur
manja yang panjang. Sebagai pengganti tidur malam yang aku sendiri hampir lupa
rasanya tidur malam.
Pesan moral : jangan pernah melakukan hal seperti di atas.
Kalau sudah ada tempat kencing, ya gunakan sesuai fungsinya. Jangan malah
merubah fungsi sebuah tempat. [] masupik
Bulu, 25 Juli 2014
keren kak, tadi aku nominasiin di Liebster Award. Cek http://www.fikrimaulanaa.com/2015/01/gue-dan-liebster-award.html
BalasHapus