Minggu, 04 Januari 2015

Jangan Pernah Lakukan Itu



Seperti biasanya, aku terjaga penuh semalaman. Tak ada rasa kantuk yang datang, meskipun hanya beberapa menit. Di luaran rumah sudah ramai dengan anak-anak yang tong-tongklek. Saling kompak dalam menyanyikan lagu sebisanya. Memukul alat-alat rumah tangga serta kaleng-kaleng bekas dengan irama yang kadang tak selaras. Ada pula yang menggunakan sound sistem lengkap. Sehingga harus sedia becak atau gerobak untuk memutarnya keliling kampung. Dan di balik pintu rumahku, terdapat aku yang masih bergelut dengan laptop acer aspire pemberian orang tua 2 tahun lalu.

Suara adzan dari salah satu masjid telah berkumandang pukul 3 dini hari. Ini bukan adzan shubuh atau ada orang yang iseng adzan pukul segitu. Tapi adzan ini adalah adzan untuk membangunkan orang untuk shalat tahajjut. Begitulah alasan mereka ketika ditanya mengapa mengumandangkan adzan pukul 3 dini hari.


Jam di dinding telah menunjukan pukul setengah 4. Aku membangunkan nenek dan bibiku dari mimpi indahnya. “Nek udah setengah 4,” “Bik, udah setengah 4.” Dan mereka segara ke dapur untuk mempersiapkan santap sahur. Begitu setiap harinya.

Sementara bibi dan nenek mempersiapkan santap sahur, aku asyik menonton program televisi sembari menunggu santap sahur siap. Setelah siap dan telah dihidangkan, kami bertiga sahur dalam suasana kehangatan yang nikmat.

Kelar sahur, biasanya nenek dan bibiku memejamkan mata kembali. Sementara aku tetap terjaga menunggu waktu shubuh tiba. Dan seperti biasanya, usai shalat shubuh barulah giliranku yang tidur. Dan siang harinya baru terbangun dengan badan lemas.

Adzan shubuh berkumandang. Kuganti semua pakaian yang kukenakan dengan sarung dan baju koko. Kadang juga aku memakai jaket untuk ikut shalat shubuh berjama’ah di masjid depan rumah.

Aku berjalan di tengah kumandang adzan yang bersahutan dari masjid-masjid yang ada di desa. Ada yang sudah kelar adzan, ada yang masih di lafal hay’alal falah, bahkan sudah ada yang iqomah. Suasana sepi hanya da beberapa orang tua yang membersihkan halaman rumahnya. Sementara aku berjalan dengan wajah ngantuk yang sangat.


Aku telah sampai di halaman masjid yang kebetulan samping masjid adalah sekolah MI. kulangkahkan kakiku dengan sopan dan santai. Tak ada ketergesa-gesa yang mengiringi. Semua normal pada tempatnya. Sampai aku berada di tempat wudhu.

Kulepaskan jaket yang aku pakai. Di tempat wudhu aku melihat pria tua sedang membersihkan kemaluannya setelah kencing tepat di tempat untuk berwudhu. Dalam benakku, “apa yang dilakukan orang ini? Membasuh alat kelamin di kran tempat berwudhu. Padahal sudah disediakan sendiri tempat untuk kencing.” Aku tak habis pikir dengan kelakuan pria setengan baya itu. Yang lebih aneh lagi, ketika aku masuk di tempat wudhu, pria itu melihatku tapi tak menghentikan apa yang dilakukannya itu. Dia tetap merampungkan membasuh kelaminnya di tempat wudhu. Aku berwudhu dengan pikiran pada pira paruh baya itu.

Kelar berwudhu dan kelar juga shalat jama’ah shubuh pagi itu. Aku beranjak dari duduk dzikir setelah shalat lebih awal dari para jama’ah lainnya. Aku berjalan pulang dan kondisi jalan raya masih sepi. Hanya ada orang-orang yang berangkat mencari ikan yang turun dari arah pasar dengan sepeda butut mereka.

Aku masuk ke rumah, melepas peci, jaket serta meletakannya di meja belajarku. Kuganti sarung dengan celana pendek dan aku siap untuk tidur manja yang panjang. Sebagai pengganti tidur malam yang aku sendiri hampir lupa rasanya tidur malam.


Pesan moral : jangan pernah melakukan hal seperti di atas. Kalau sudah ada tempat kencing, ya gunakan sesuai fungsinya. Jangan malah merubah fungsi sebuah tempat. [] masupik


Bulu, 25 Juli 2014

1 komentar:

  1. keren kak, tadi aku nominasiin di Liebster Award. Cek http://www.fikrimaulanaa.com/2015/01/gue-dan-liebster-award.html

    BalasHapus

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))