Senin, 16 Februari 2015

Bagaimana Mengungkapkan Cinta Tanpa Kemarahan?



Bagaimana mengungkapkan cinta tanpa kemarahan?

Sebuah kontradiksi terpampang jelas. Adalah tentang bagaimana cara menikmati siklus percintaan normal dan apa adanya. Bagaimana bisa seorang dengan jabatan tinggi menikmati kenikmatan bercinta tanpa harus diganggu antek-anteknya? Jangan bayangkan, coba lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Aku tak mengajakmu untuk bercinta di depan umum. Paling tidak, manusia memiliki nalar dan rasa malu. Mengapa tak kau renungkan?

Ini semua hanya persoalan siapa dan apa dirimu itu. tak muluk-muluk dengan segala pujian dan penghargaan bintang lima. Tak terbang tinggi dengan apa yang dimiliki. Ini hanya sebuah masalah pribadi yang sengaja terekspresi. Entahlah, mengapa semua ini terjadi tanpa kita sadari. Hanya waktu, cinta, dan manusia yang bisa menjawab. Ini semua hanya rangkaian mimpi pagi hari. Penuh misteri dengan akhir yang sering kali tak mau kompromi.

Cinta adalah gelombang. Kecepatannya masih jauh di bawah kecepatan cahaya. Cinta bukan gelombang statis. Tapi jika dikatakan dinamis, mengapa banyak peluh bercucuran sia-sia? Atau hanya sebuah definisi fana yang sering kali kita agung-agungkan sebagai dasar berfikir? Entahlah. Untuk kedua kalinya semua berada di tangan entahlah. Bukankah jawaban adalah hal tak pasti. Mereka berkembang. Setiap pikiran mampu mengembangkan setiap jawaban. Namun kenapa masih sering terjadi deskriminasi antara benar dan salah? Apakah kebenaran hanya untuk sebagian orang? Ataukah kita benar-benar salah di mata seseorang? Kekasih, maafkan diriku yang sering kali mengucap kata maaf atas perbuatan dunguku.

Selama ini kata maaf selalu menjadi ujung dari peristiwa. Sebagai kalimat mujarab. Penuh keyakinan dan mitos bak iman. Kata maaf hanya alibi keparat. Diucapkan ketika terdesak, dilantunkan saat terinjak keras. Maaf hanya berguna saat saling sadar. Sadar atas sebuah perbuatan yang telah menjadi sejarah. Siapa saja yang sadar, pasti akrab dengan kata maaf. Sementara mereka dengan argument yang tangguh, najis jika maaf adalah ujung dari pergolakan.

Aku tak menuntut maafmu terucap. Kau dan aku ini sama. Sering canggung dan sesekali tampak gila. Itu semua wajar. Aku mengaku, kau memaafkan. Kau bertutur, aku memaklumi. Terus seperti itu, pemakluman adalah teman kita. Saat penyesalan masih bisa berteman akrab dengan nasib yang sudah memadukan kita dalam satu cinta.

Kekasih, bagaimana caraku mengungkapkan cinta tanpa kemarahan? [] masupik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))