Bagaimana mengungkapkan cinta tanpa kemarahan?
Sebuah kontradiksi terpampang jelas. Adalah tentang
bagaimana cara menikmati siklus percintaan normal dan apa adanya. Bagaimana
bisa seorang dengan jabatan tinggi menikmati kenikmatan bercinta tanpa harus diganggu
antek-anteknya? Jangan bayangkan, coba lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Aku
tak mengajakmu untuk bercinta di depan umum. Paling tidak, manusia memiliki
nalar dan rasa malu. Mengapa tak kau renungkan?
Ini semua hanya persoalan siapa dan apa dirimu itu. tak
muluk-muluk dengan segala pujian dan penghargaan bintang lima. Tak terbang
tinggi dengan apa yang dimiliki. Ini hanya sebuah masalah pribadi yang sengaja
terekspresi. Entahlah, mengapa semua ini terjadi tanpa kita sadari. Hanya
waktu, cinta, dan manusia yang bisa menjawab. Ini semua hanya rangkaian mimpi
pagi hari. Penuh misteri dengan akhir yang sering kali tak mau kompromi.
Cinta adalah gelombang. Kecepatannya masih jauh di bawah
kecepatan cahaya. Cinta bukan gelombang statis. Tapi jika dikatakan dinamis,
mengapa banyak peluh bercucuran sia-sia? Atau hanya sebuah definisi fana yang
sering kali kita agung-agungkan sebagai dasar berfikir? Entahlah. Untuk kedua
kalinya semua berada di tangan entahlah. Bukankah jawaban adalah hal tak pasti.
Mereka berkembang. Setiap pikiran mampu mengembangkan setiap jawaban. Namun
kenapa masih sering terjadi deskriminasi antara benar dan salah? Apakah
kebenaran hanya untuk sebagian orang? Ataukah kita benar-benar salah di mata
seseorang? Kekasih, maafkan diriku yang sering kali mengucap kata maaf atas
perbuatan dunguku.
Selama ini kata maaf selalu menjadi ujung dari peristiwa.
Sebagai kalimat mujarab. Penuh keyakinan dan mitos bak iman. Kata maaf hanya
alibi keparat. Diucapkan ketika terdesak, dilantunkan saat terinjak keras. Maaf
hanya berguna saat saling sadar. Sadar atas sebuah perbuatan yang telah menjadi
sejarah. Siapa saja yang sadar, pasti akrab dengan kata maaf. Sementara mereka
dengan argument yang tangguh, najis jika maaf adalah ujung dari pergolakan.
Aku tak menuntut maafmu terucap. Kau dan aku ini sama.
Sering canggung dan sesekali tampak gila. Itu semua wajar. Aku mengaku, kau
memaafkan. Kau bertutur, aku memaklumi. Terus seperti itu, pemakluman adalah
teman kita. Saat penyesalan masih bisa berteman akrab dengan nasib yang sudah
memadukan kita dalam satu cinta.
Kekasih, bagaimana caraku mengungkapkan cinta tanpa
kemarahan? [] masupik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))