Kamis, 28 Maret 2019

Sarapan Pagiku Cukup Nasi Pecel Nenekku

Nenekku atau ibu dari ibu, saya memanggilnya Mbah Buk. Karena ini untuk tulisan saja, biar enak saya menggunakan kata nenek.

Nenek saya sudah tua. Setiap harinya dia berjualan nasi pecel di warung samping rumah yang dibuat oleh almarhum kakek tahun 2002 lalu. Saya masih ingat tahunnya, karena di kayu genteng tertulis tanggalnya. Dan yang masih bisa terbaca hanya tahunnya. 2002 waktu itu saya masih berseragam merah putih, tepat kelas 2.

Buka setiap jam 6.30 juga kadang jam 7. Setiap hari nenek bangun jam 2.30 pagi. Tak ada alarm atau dibangunkan anaknya yang bungsu, nenek sudah terbiasa bangun. Patokkannya hanya adzan. Di desaku, beberapa tahun terakhir setiap dini hari selain adzan subuh ada adzan pukul 2.30. Entah adzan apa namanya saya tidak tahu. Kalau orang-orang kampung bilang, itu adzannya jamaah kompor. Entah jamaah apa, selama tidak bersimpangan dengan hal yang sudah paten dalam beragama tidak masalah. Meskipum awal-awal banyak yang menganggap itu aliran sesat. Tapi lambat laun, semua biasa saja menanggapinya.

Ketika mendengar adzan itu, nenek langsung bangun. Seperti kebanyakan orang islam lainnya, dia melaksanakan sholat malam 2 rakaat terlebih dahulu. Sembari menghilangkan kantuk yang masih tersisa. Setelah 2 rakaat kelar, nenek langsung berkecimpung dengan kompor dan panci. Dulu, dulu sekali ketika kakek masih ada, kakek yang menemani nenek bangun jam segitu. Apalagi kakek juga menjabat sebagai moden (salah satu perangkat desa) juga sebagai imam di salah satu masjid. Sepeninggalan kakek, nenek sendirian di dapur. Aku? Jelas masih tidur nyenyak.

Jam 6 masakan sudah matang semua. Paling tinggal tempe dan bakwan yang menyusul nanti digoreng bu lek. Nenek mandi lantas standby di warung menunggu langganannya sarapan.

Dulu sekali ketika saya masih bersekolah. Saya heran dengan pecel buatan nenek, yang tergolong pedas dibandingkan dengan warung-warung pecel lainnya. Bahkan saya lebih nikmat makan pecel di warung luar ketimbang makan pecel di warung sendiri. Itu dulu. Sekarang, saya yang jauh dari nenek rindu dengan pecel buatan nenek yang tidak ada di warung pecel lainnya. Saya yakin itu. Pendapatku tentang rasa pecel nenek yang memang khas dan berbeda dengan lainnya juga dibenarkan oleh sahabatku sedari TK. Sahabatku yang kebetulan anak orang kaya, yang setiap pagi ibunya jarang masak selalu beli di warung nenek. Ketika itu kami bertemu dan ngopi bareng, dia berkata kalau pecel buatan nenek memang khas sedari dulu. Tidak berubah. Hanya kuantitasnya yang berubah. Dulu sekali, sehari jualan bisa menghabiskan 50 kg beras kini hanya 5 kg. Tidak ada yang salah, jaman sudah berkembang. Semua orang butuh uang dan semua orang berhak membuat warung pecel. Tak apa, tak perlu bersedih.

Kemarin, saya pulang ke rumah. Sengaja pulang pagi hanya ingin sarapan pecel buatan nenekku. Bahkan saking pengennya, malam hari sebelum saya pulang, saya menelpon nenek. Saya memberi kabar kalau mau pulang. Dan juga saya memesan kalau saya sampai rumah agak siang dan warung sudah tutup, saya meminta agar disisakan satu porsi pecel. Nenek mengiyakan. Saya bahagia.

Sampai di rumah dan warung masih buka. Saya langsung sarapan pecel buatan nenek. Nikmat, pedas dan kekenyangan. Karena sebelum pulang saya sudah sarapan. []

Sabtu, 02 Maret 2019

Lupa dan Lena

Sesekali saya ingin merasakan dinginnya hujan. Saat perjalanan jauh, turun hujan. Berteduh seakan tak melawan hujan. Biasanya saya akan berhenti kemudian mengeluarkan jas hujan dan melanjutkan perjalanan. Tapi saat ini saya ingin merasakan kering di saat hujan. Berteduh. Mematikan mesin dan menunggu. Akhir-akhir ini orang-orang lebih sering melawan ketimbang menunggu. Lebih sering ngomong dulu ketimbang berfikir jernih. Minta dihormati tapi tak mau menghargai. Ah biarkan saja.

Akhir-akhir ini pula saya ingin menikmati luka. Ya biasanya saya secepat mungkin mengobati bahkan menutup dengan rapat luka. Tapi entah kenapa saya ingin menikmatinya sekarang. Ingin merasakan sakit yang sebenarnya tidak ada. Juga rasa perih. Orang-orang sering lupa. Apa yang dimiliki sekarang sebenarnya tidak ada sama sekali. Mereka lupa setiap yang berawal pasti memiliki akhir. Orang-orang sibuk dengan awal mereka tapi tidak mau juga menolak semuanya berakhir. Dan mereka berfikir, ketika semua berakhir harus ada alasan untuk membuat seseorang menjadi tempat kesalahan. Mencaci-lah mereka. Menyalahkan orang lain. Sampai lupa mereka juga akan berakhir dengan sendirinya.

Saya ingat suatu hal. Saya memiliki seekor kucing di rumah. Saya sepakat menamakannya Woodwood panggilannya Wooda. Kucing saya di rumah berwarna putih, bermata biru dan tidak doyan Whiskas. Aneh memang. Kucing saya selalu sendirian. Kadang dia berlari-lari mengejar kelinci tetangga untuk sekedar diajak main. Setiap jam 5 pagi, dia selalu menunggu untuk dibukakan pintu agar bisa masuk ke rumah. Juga setiap pukul 9 malam, dia harus tidur di luar rumah tapi masih di halaman rumah. Orang-orang lupa itu semua, mereka hanya sendirian. Kemudian berkomunikasi dan memiliki teman. Ada yang hilang dan harus ada yang dipertahankan dalam berteman. Dan mereka takut untuk sendiri lagi. Mereka lena dan lupa. Kesendirian adalah teman sejati yang sudah dibawa sedari ada. Mereka harus menunggu agar bisa kembali masuk ke rumah. Waktunya berbeda untuk setiap manusia. Ada yang lama ada yang baru selesai makan langsung bisa masuk ke rumah.

Orang-orang banyak lupanya dan lena. Sedikit sekali yang ingat bahwa mereka sedang menunggu tapi tak mau menunggu. []

Jumat, 04 Januari 2019

Kamu Tak Seceria Biasanya

Ada semacam sisa duri ikan tuna yang mengganjal di gigi, bedanya duri itu ada di hatimu. Padahal, kamu belum sempat makan ikan tuna hari itu.

Hari itu Jum'at. Sepertinya hari Jumat bukan hari keberuntunganku juga kamu. Meski sesekali hari Jumat menawarkan juga memberi kebahagiaan. Tapi tetap saja aku suka Rabu.

Tadi pagi hujan kecil. Sedikit malas untuk beranjak dari kasur. Tapi aku tahu, ini hari jumat dan aku harus bekerja. Mandi, sarapan, dan bekerja. Tapi suntuk dan akhirnya malas. Tak ada kasur.

Kamu sejak semalam lupa untuk tersenyum. Meski senyummu biasa saja juga aku kira senyum semua orang juga biasa. Tapi kamu tetap belum tersenyum. Pagi ini hujan kecil. Mungkin hujan ini akan berhenti saat kamu tersenyum. Tapi tidak.

Kamu tak seceria biasanya. Perdebatan hebat semalam membuatmu kehilangangan senyuman. Rasa bersalah tentu saja ada. Aku jadi malas. Dan aku menyalahkan hujan juga membela kasur. Padahal aku sendiri yang malas.

Kamu masih tak seceria biasanya.[]