Minggu, 04 Januari 2015

30 Menit atau 3 Menit



Selamat pagi hari kedua di tahun 2015. Semoga setiap harinya membawa berkah dan selalu memberikan kepositifan bagi kita. Dari berfikir, bertindak, serta berbicara semoga selalu menimbulkan efek serta resiko yang baik. Anggaplah ini sebagai prolog, yang tak ada sangkut pautnya dengan isi dari tulisan ini. Sehingga kalian ketika kelar membaca tulisan ini tak terlalu terkejut.

Apa yang ada di otak kalian ketika kuucapkan kata “film porno”? Seks, ranjang, Mrs V, Mr P, kondom, sex toys, trisum, naked, atau salah satu judul film porno yang pernah kalian lihat dengan ekstensi file “.3gp”? semua itu bisa saja, tergantung siapa yang ditanya. Jawabannya pun akan sangat berbeda satu dengan yang lain. Bilamana si A adalah maniak film porno, maka segala macam mengenai film porno pasti mengerti dan lanyah. Ibaratnya dalam dunia game dia adalah seorang expert. Namun tak menutup kemungkinan, meskipun segala macam mengenai film porno dia hafal di luar kepala. Belum tentu dia seorang maniak film porno. Toh, segala macam informasi bisa dengan sangat mudah kita dapatkan sekali membuka Google.

Lebih meruncing lagi. Bagi para expert, mana yang kalian pilih, film porno berdurasi 30 menit atau 3 menit? Atau bagi mereka yang memiliki akses dan akun di sebuah situs film porno berbayar, mereka pastinya telah terbiasa melihat film porno dengan durasi waktu lebih dari 2 jam. Atau bagi mereka yang baru mencoba-coba menonton film porno karena ajakan teman, durasi 3 menit bagi mereka sudah sangat lama. Bahkan lebih parah lagi, belum kelar film porno itu diputar, bisa-bisa mereka sudah ejakulasi. Pasti dan kebanyakan dari mereka memilih film porno dengan durasi lama—di sini maksudnya 30 menit. Anggap saja ini premis pertama.

Lantas bagaimana jika premis pertama kubalik. Mana yang lebih kalian pilih, antara membaca tulisan/artikel selama 3 menit dan artikel yang sekali baca bisa menghabiskan waktu 30 menit? Diasumsikan para pembaca adalah mereka yang membacanya hanya ketika ada pengawasnya. Pastinya atau mungkin mereka akan memilih artikel dengan durasi membacanya hanya membutuhkan waktu 3 menit. Itupun belum tentu mereka lahap semua kata yang ada sampai selesai. Bisa jadi di tengah jalan cerita, mereka langsung melirik kalimat terakhir dan selesai. Dan ditambah lagi, yang mereka baca bukanlah cerita seks yang penuh imajinasi liar, tetapi sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Premis kedua.

Ini adalah sebuah rahasia umum jika peminat film porno menyentuh angka mayoritas ketimbang mereka yang membaca sebuah artikel. Sialnya lagi, para petinggi kita, orang yang mengaku sebagai wakil rakyat malah lebih asyik nonton film porno ketika sidang ketimbang membaca berkas proposal yang rakyat titipkan pada mereka—untuk ini tergantung siapa wakil rakyat tersebut.

Tak ada yang salah karena aku sendiri tak berani menyalahkan pihak terkait. Bahkan lebih parah lagi, semua ini telah menjadi sebuah peradaban baru yang berhasil diciptakan. Sebuah peradaban abad 21, yang merupakan abad dengan kemudahan untuk mengakses segala sesuatunya tanpa harus ada “uluk salam” terlebih dahulu. Abad dengan semua ke-modern-itasnya yang mereka agung-agungkan sebagai hal menakjubkan yang berhasil diciptakan oleh manusia.


Memang semuanya kembali lagi pada siapa yang melakoninya. Namun itu juga tidak bisa dijadikan acuan teori pasti yang menghasilkan hal yang pasti pula. Semua serba “mungkin terjadi”. Dia yang setiap harinya memakai sarung, kita juga tak tahu kalau sebenarnya dia adalah expert. Namun tidak semua yang memakai sarung lantas kita cap sebagai expert. “Hanya karena 1 manusia, kita ‘bisa atau tidak bisa’ dicap sebagai anggota dari manusia tersebut.”

Aku sendiri bukan termasuk ke dalam golongan yang mengharamkan film porno. Bahkan aku bisa menyebut diriku sebagai penikmat. Tapi di sini yang hendak kutekankan adalah mengapa kita betah 30 menit dengan film porno, tetapi hanya 3 menit saja membaca kita—seperti—sudah memberontak? Entahlah dan sudahlah. Mungkin setiap individu memiliki jawaban tersendiri sebagai alasan yang mereka anggap benar. Itu sah dan aku tak berhak untuk ikut campur. Hanya, marilah kita budayakan membaca (apapun itu) selama 3 menit dalam sehari. Hanya 3 menit. Kita memiliki waktu 24 jam, kalau hanya 3 menit itu hal yang sangat singkat. Bahkan bagi para expert, waktu 3 menit itu belum bisa menggugah birahi. Lebih kasar lagi, 3 menit bagi expert belum bisa membangunkan Mr P yang sudah terlatih. So, kalau bukan dari diri sendiri yang berusaha melakukan 1 hal baik, lantas siapa lagi? [] masupik


Jonggol, 2 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))