Selamat pagi hari kedua di tahun 2015. Semoga setiap harinya
membawa berkah dan selalu memberikan kepositifan bagi kita. Dari berfikir,
bertindak, serta berbicara semoga selalu menimbulkan efek serta resiko yang
baik. Anggaplah ini sebagai prolog, yang tak ada sangkut pautnya dengan isi
dari tulisan ini. Sehingga kalian ketika kelar membaca tulisan ini tak terlalu
terkejut.
Apa yang ada di otak kalian ketika kuucapkan kata “film porno”?
Seks, ranjang, Mrs V, Mr P, kondom, sex toys, trisum, naked, atau salah
satu judul film porno yang pernah kalian lihat dengan ekstensi file “.3gp”?
semua itu bisa saja, tergantung siapa yang ditanya. Jawabannya pun akan sangat
berbeda satu dengan yang lain. Bilamana si A adalah maniak film porno, maka
segala macam mengenai film porno pasti mengerti dan lanyah. Ibaratnya dalam
dunia game dia adalah seorang expert. Namun tak menutup kemungkinan,
meskipun segala macam mengenai film porno dia hafal di luar kepala. Belum tentu
dia seorang maniak film porno. Toh, segala macam informasi bisa dengan sangat
mudah kita dapatkan sekali membuka Google.
Lebih meruncing lagi. Bagi para expert, mana yang
kalian pilih, film porno berdurasi 30 menit atau 3 menit? Atau bagi mereka yang
memiliki akses dan akun di sebuah situs film porno berbayar, mereka pastinya telah
terbiasa melihat film porno dengan durasi waktu lebih dari 2 jam. Atau bagi
mereka yang baru mencoba-coba menonton film porno karena ajakan teman, durasi 3
menit bagi mereka sudah sangat lama. Bahkan lebih parah lagi, belum kelar film
porno itu diputar, bisa-bisa mereka sudah ejakulasi. Pasti dan kebanyakan dari
mereka memilih film porno dengan durasi lama—di sini maksudnya 30 menit. Anggap
saja ini premis pertama.
Lantas bagaimana jika premis pertama kubalik. Mana yang
lebih kalian pilih, antara membaca tulisan/artikel selama 3 menit dan artikel
yang sekali baca bisa menghabiskan waktu 30 menit? Diasumsikan para pembaca
adalah mereka yang membacanya hanya ketika ada pengawasnya. Pastinya atau
mungkin mereka akan memilih artikel dengan durasi membacanya hanya membutuhkan
waktu 3 menit. Itupun belum tentu mereka lahap semua kata yang ada sampai
selesai. Bisa jadi di tengah jalan cerita, mereka langsung melirik kalimat
terakhir dan selesai. Dan ditambah lagi, yang mereka baca bukanlah cerita seks
yang penuh imajinasi liar, tetapi sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Premis kedua.
Ini adalah sebuah rahasia umum jika peminat film porno
menyentuh angka mayoritas ketimbang mereka yang membaca sebuah artikel. Sialnya
lagi, para petinggi kita, orang yang mengaku sebagai wakil rakyat malah lebih
asyik nonton film porno ketika sidang ketimbang membaca berkas proposal yang rakyat
titipkan pada mereka—untuk ini tergantung siapa wakil rakyat tersebut.
Tak ada yang salah karena aku sendiri tak berani menyalahkan
pihak terkait. Bahkan lebih parah lagi, semua ini telah menjadi sebuah
peradaban baru yang berhasil diciptakan. Sebuah peradaban abad 21, yang
merupakan abad dengan kemudahan untuk mengakses segala sesuatunya tanpa harus
ada “uluk salam” terlebih dahulu. Abad dengan semua ke-modern-itasnya yang
mereka agung-agungkan sebagai hal menakjubkan yang berhasil diciptakan oleh
manusia.
Memang semuanya kembali lagi pada siapa yang melakoninya. Namun
itu juga tidak bisa dijadikan acuan teori pasti yang menghasilkan hal yang
pasti pula. Semua serba “mungkin terjadi”. Dia yang setiap harinya memakai
sarung, kita juga tak tahu kalau sebenarnya dia adalah expert. Namun tidak
semua yang memakai sarung lantas kita cap sebagai expert. “Hanya karena 1
manusia, kita ‘bisa atau tidak bisa’ dicap sebagai anggota dari manusia
tersebut.”
Aku sendiri bukan termasuk ke dalam golongan yang
mengharamkan film porno. Bahkan aku bisa menyebut diriku sebagai penikmat. Tapi
di sini yang hendak kutekankan adalah mengapa kita betah 30 menit dengan film
porno, tetapi hanya 3 menit saja membaca kita—seperti—sudah memberontak? Entahlah
dan sudahlah. Mungkin setiap individu memiliki jawaban tersendiri sebagai alasan
yang mereka anggap benar. Itu sah dan aku tak berhak untuk ikut campur. Hanya,
marilah kita budayakan membaca (apapun itu) selama 3 menit dalam sehari. Hanya 3
menit. Kita memiliki waktu 24 jam, kalau hanya 3 menit itu hal yang sangat
singkat. Bahkan bagi para expert, waktu 3 menit itu belum bisa menggugah
birahi. Lebih kasar lagi, 3 menit bagi expert belum bisa membangunkan Mr
P yang sudah terlatih. So, kalau bukan dari diri sendiri yang berusaha
melakukan 1 hal baik, lantas siapa lagi? [] masupik
Jonggol, 2 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))