Malam itu aku sengaja pulang lebih cepat dari biasanya. Besok
hari Senin. Rutinitas kerja harus kujalani seperti hari-hari biasa. Jika aku di
rumah, paling tidak aku harus berangkat pukul 6 pagi. Ya, benar! Jarak rumahku
dengan tempatku bekerja kira-kira 60 kilometer. Dan biasanya setiap hari Sabtu
sore selepas bekerja aku pulang ke rumah.
Rumah tua nenekku tampak gelap. Lampu-lampu telah mati. Paling
hanya lampu ruang tengah yang kebetulan difungsikan sebagai ruang keluarga yang
masih menyala. Juga kamar-kamar yang lampunya masih menyala. Kamar nenek,
sepupu dan ibunya, juga sesekali kamarku. Biasanya kalau aku pulang, di rumah
hanya ada kami berempat. Jika suami dari bibiku pulang, jadi berlima. Tapi malam
itu beda. Ada ibuku dan adik paling bungsu tengah terlelap di ruang tengah.
Aku melihat ibuku tengah terlelap. Juga Amak, adikku. Tampak
wajah-wajah lelah terlihat. Seketika itu juga aku berhenti. Tak masuk kamar. Aku
duduk tepat di hadapan ibuku yang mungkin tengah bermimpi dagangan di rumahnya
laris manis. Atau juga mimpi hari itu dia dapat arisan. Atau hutang-hutang
pulsa dari tetangga samping rumahnya dilunasi semua. Kebahagiaan kecil yang
bisa dirasakan ibuku yang tinggal jauh di Bogor sedangkan nenenkku atau ibunya,
tinggal di desa.
Hampir 10 menit aku duduk memandang raut wajah ibuku. Kerutan
di wajahnya tak bisa disembunyikan bahwa dia semakin tua. Besar badannya tak
bisa dipungkiri lagi. Untuk seorang ibu rumah tangga biasa, sudah punya 4 anak,
pastinya badannya tak seindah dulu sewaktu ibu masih kuliah atau saat malam
pertama. Aku tak ingat, saat aku masih digendong olehnya dulu. Ingatanku tentang
masa kecil seperti hilang begitu saja.
Ibu hanya kepala rumah tangga. Setiap harinya selalu
melakukan hal-hal itu saja. Bangun tidur, ke pasar, masak, nunggu sales, bayar
hutang, nagih hutang, kirim pulsa, minta saldo, ngomel, tertidur di depan tv,
ngomel lagi, masak sambil ngomel, bertengkar dengan ayah, teriak-teriak
khawatir, masak, nyetrika, nyuci, jemur baju, ngomel, ngomel sambil jemur baju,
marah-marah sendiri sama ayam yang masuk ke rumah, marahin sales yang telat ngirim
dagangan, marah sama sales karena datang terlalu cepat, marah sama sales karena
datang terlambat, ah ibu….ibu.
Dunia ini memang kejam. Kini umur ibuku sudah kepala empat. Artinya
apa, artinya dia telah tua. Meskipun di rambutnya belum terlihat uban seperti
ayah. Meskipun ingatannya belum pikun dan masih lihai mengingat-ingat perkakas
tukang milik ayah. Matanya pun masih tajam untuk perihal nonton sinetron. Kadang
kala aku melihat ibu memakai kacamata ketika membaca.
Ibuku tak punya akun Facebook, Path, Instagram, atau
streaming Youtube. Meskipun, belakangan ini, dia aktif dengan Whatsapp-nya. Smartphone
pemberian adikku, Ubab sepertinya tengah dia pelajari. Tapi namanya ibu-ibu,
ada pemberitahuan sedikit, sudah bawel, sudah ribut sendiri. Dulu, sewaktu dia
melihat berita, yang kebetulan isi berita itu tentang seseorang yang ditangkap
polisi karena menghina orang terhormat lewat akun Facebook. Ibuku bilang, “kalau
ibu punya Facebook, mungkin ibu juga akan ditangkap seperti orang itu.” Ibu
orangnya ceplas-ceplos. Gak bisa basa-basi kalau ada yang membuat hatinya tak
berkenan. Seketika itu juga, aku berjanji pada diriku sendiri, tak akan dan tak
pernah mengajari ibu bagaimana cara Facebook-an.
Ibuku hanya orang desa yang kebetulan tinggal di Bogor. Di Bogor
pun bukan di kotanya, tapi di desanya juga. Pendidikannya sampai tingkat S1 tak
membuat nasibnya bagus. Jadi guru PNS, pengusaha, atau apapun lah yang
sekiranya bisa membuat anak-anaknya ketika butuh uang sekali minta langsung
mengiyakan. Tapi tidak, ibu akan dengan bingung dan berkata, “Minggu depan ibu
usahakan.” Hahaha. Sampai hafal apa yang akan dikatakan ibu ketika aku hendak
meminta uang kuliah. Tapi ibuku demokratis dan terbuka juga keren. Hanya pergi
ke pasar saja dia memakai kacamata selebar kacamata kuda. Naik sepeda motor,
gak pakai helm karena panas katanya, sambil membawa sekarung besar belanjaan
yang dia ikat di jok belakang motor. Jempol pokoknya.
Aku menguap, aku ngantuk, aku harus tidur. Tapi aku masih
duduk di hadapan ibu yang terjaga dalam lelah. Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan. Aku tak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan sayang pada ibu. Dengan
bilang aku sayang ibu? Ah tak mungkin, aku bukan orang seperti itu. yang bisa
dengan santai dan lepas bilang aku sayang ibu kemudian berpelukan. Aku termangun
dan tahu apa yang bisa kulakukan malam itu. Antara lakukan dan tidak. Kukecup kening
ibuku yang berkerut. Saat itu pula semuanya seakan terucapkan. Terima kasih
ibu, maafkan anakmu ini, ibu cantik meskipun gemuk, ibu keren, ibu
menjengkelkan, ibu jahat, ibu hebat, semua yang ingi kusampaikan padanya telah
kuwakilkan dengan kecupan di keningnya. Mencium kening ibuku baru pertama kali
itu kulakukan. Selebihnya aku hanya menahan perasaan. Seolah ingin terlihat
tegar.
Terima kasih ibu. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))