Hawa dingin kota Bogor tetap terasa
meskipun hari telah siang. Apalagi jika beberapa hari yang lalu hujan sempat
mengguyur selama 24 jam nonstop. Imbasnya, air tanah yang sebelumnya sudah
dingin menjadi lebih dingin lagi.
Beberapa hari yang lalu aku tak sengaja ada interview
di bilangan Senayan, tepatnya di Jalan Asia-Afrika gedung Panin Tower. Lokasi
rumah dengan tempat wawancara mengharuskanku bangun dan mandi lebih pagi dari
biasanya. Sebenarnya tak ada yang aneh dengan semua itu. Sampai aku masuk ke
kamar mandi dengan membawa air panas mendidih, baru diangkat dari kompor.
Perbandingan air dingin dengan air panas mendidih kira-kira 3:2. 3 untuk air
dingin di bak mandi, 2 untuk air panas hasil rebusan di atas kompor.
Dari pengalamanku sebelum-sebelumnya, perbandingan 3:2 akan
menghasilkan air dengan suhu hangat. Bahkan untuk sebagian kulit badan yang
tipis, air itu masih terasa panas. Tapi naas, perbandingan itu tak berlaku di
sini. Air panas yang aku campurkan di bak mandi, sama sekali tak bekerja. Air
di bak mandi masih sedingin sebelum kucampurkan air panas mendidih. Walhasil,
aku kedinginan.
Masalah hawa dingin tak bisa kupungkiri. Selain itu, bahasa
keseharian yang dipakai juga membuatku menjadi orang gila seutuhnya. Bahasa
Sunda adalah bahasa paling menakjubkan yang pernah aku temui. Dulu, sewaktu di
Sumatra, sedikit banyak aku masih bisa bercengkerama asyik dengan tetangga
sekitar. Tapi di sini, aku hanya menjadi orang yang akan tertawa jika ada
tetangga mengajakku bercengkerama.
Bukan, aku bukan meremehkan atau tak menghargai orang yang bicara. Aku hanya
tak mengerti apa yang dibicarakan. Sama sekali tak mengerti. Selain kosa kata
yang masih asing di telinga, penyampaiannya juga sangat cepat. Sumpah, ini
adalah kali pertama aku merasa menjadi orang gila seutuhnya.
Pernah waktu itu ayah mengajakku bermain badminton. Meskipun
tak terlalu jago, kalau hanya untuk memukul kok, bisalah. Waktu pemanasan, pak
Dayat yang menjadi lawanku, mengajakku mencairkan suasana dengan bertanya
sesuatu padaku. Kukatakan ‘sesuatu’ karena aku tak mengerti apa yang
dibicarakan pak Dayat. Benar, alunan kosa kata bahasa Sunda kelas expert ditunjukkan
oleh pak Dayat yang memang berdarah asli Sunda. Karena aku harus menghormati
orang yang mengajak bicara, akupun menatap dalam mata pak Dayat sembari raket
memukul kok. Terlihat dari mata pak Dayat sebuah kebingungan besar melanda.
Sebuah kebingungan yang terjadi karena aku sama sekali tak menjawab setiap
ucapan yang keluar dari bibir pak Dayat. Bahkan aku hanya tertawa berlagak
paham dengan setiap ucapan beliau. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri untuk
mengaku, “pak Dayat! Maaf ya pak, saya nggak bisa bahasa Sunda. Jadi
tadi saya cuman bisa ketawa.”
Setelah kejadian di lapangan badminton itu, aku kembali
dikagetkan.
Waktu itu, hari Jum’at. Sebagai lelaki yang bertanggung
jawab pada kodrat yang telah diberikan, berangkatlah aku menunaikan shalat
Jum’at. Letak masjid yang tak terlalu jauh dari rumah, kutempuh dengan berjalan
kaki. Tak ada tanda-tanda akan sesuatu yang aneh.
Sesampainya di masjid, ternyata masih belum dimulai. Memang shaf
yang ada telah terisi penuh. Bahkan sampai teras masjid juga sudah terisi
penuh. Untungnya aku bisa duduk di dalam masjid. Sampai di sini belum ada
keanehan. Bahkan aku sempat takjub. Biasanya, tepatnya di masjid yang pernah
aku ikuti prosesi sholat Jum’atnya, tak ada namanya pembacaan shalawat bersama.
Biasanya, orang-orang yang datang, kemudian asyik sendiri dengan ritual-ritual
pendekatan kepada sang Pencipta, di dalam hati, lirih sekali. Tapi ini berbeda,
shalawat yang dikumandangkan di masjid, secara kompak semua jama’ah melantunkannya.
Dari yang duduk di shaf pertama,
sampai yang berangkat shalat hanya ikut-ikutan. Dari yang tua sampai anak-anak
kecil yang berlarian, semua kompak melantunkan shalawat.
Setelah hampir 15 menit, akhirnya rangkaian shalat Jum’at
dimulai. Adzan terdengar dari muadzin, dilanjutkan khotbah oleh khatib.
Sewaktu khotbah berlangsung, di sinilah dimulainya keanehan. Mungkin ini hanya
menurutku. Khotbah dengan bahasa Arab telah biasa kita dengar, meski kita
sendiri tak begitu paham dengan isi khotbah. Tak ubahnya khotib satu
ini, menggunakan bahasa Arab di awal khotbahnya. Namun setelah bahasa Arab, si khotib
dengan suka rela membacakan terjemahan dari bahasa Arab yang dia ucapkan.
Anehnya, bukan terjemahan bahasa Indonesia yang dia gunakan, tapi bahasa Sunda.
Sontak mendengar itu, syaraf tertawaku sedikit tergelitik, aku pun tertawa
kecil. Aku yang memang orang Jawa dengan bahasa Jawa sebagai bahasa keseharian.
Merasa aneh dan lucu dengan penggunaan bahasa Sunda ketika berkhotbah. Memang
tak menjadi masalah, bahasa apapun semua dari sang Pencipta. Hanya memang aku
yang tak terbiasa dan baru pertama kali mendengar khotbah dengan bahasa Sunda.
Kewajiban shalat Jum’at telah selesai. Bubaran jama’ah
terlihat seperti sarang semut tersiram air. Aku berada di tengah sebuah
lingkungan Sunda, yang harus bisa kuadaptasi agar aku tak terlihat aneh.
Banyak kejadian yang membuatku harus membuka mata berkali-kali
agar bisa memahaminya. Kini aku berada di sebuah tempat yang jika aku tak
beradaptasi, aku hanya akan seperti para turis yang berkunjung di sebuah pulau
berpenghuni suku pedalaman. Turis tersebut memandang suku tersebut aneh, karena
dalam penglihatannya, suku tersebut tak sama dengan dirinya. Tapi di lain sisi,
turis tersebut lupa, bahwa dirinya-lah yang berbeda. Lingkungan turis tersebut
adalah rumah bagi suku pedalaman, bukan rumahnya. Adat istiadat serta tata cara
yang diterapkan adalah tata cara suku tersebut. Jika turis tadi tak mau
dianggap aneh, seharusnya dia sedikit beradaptasi. Entah itu dari cara
berpakaian, atau sekedar mengikuti tata cara yang berlaku. Seperti turis itulah
aku. Jika aku menganggap mereka aneh, maka sebenarnya aku sendirilah yang aneh.
Akupun harus beradaptasi, bukan mereka yang harus beradaptasi. Ini adalah rumah
mereka dan aku adalah tamu. Meskipun tamu adalah raja, tapi tamu berkewajiban
menghormati pemilik rumah. Bukankah begitu seharunya? []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang bijak, selalu meninggalkan jejak =))